~Author POV On~
Beberapa hari sebelum natal…
.
.
.
.
.
Seorang pria yang sedang tertidur di sebuah ranjang king size menggeliat pelan saat merasakan cahaya matahari yang mulai mengenai wajahnya. Dengan malas, ia membuka kedua matanya dan menatap ke arah jam digital yang ada di nakas samping ranjang yang ia tempati.
"Pukul 8 pagi?" Ia bangkit dari posisi tidurnya. Ia mengucek matanya pelan. "Siang sekali saya bangunnya." Ia turun dari ranjang king size itu dan segera merapikannya.
"Kalau daddy tau, aku pasti sudah di guyur air." Ujarnya sebelum memasuki kamar mandi untuk menyelesaikan rutinitas paginya.
~Skip~
Pria itu. Pria yang baru saja selesai menyisir surai hitamnya. Pria yang menjadi tokoh utama di sini, Andrew. Bersiul bangga. "Sipp… Udah tampan. Tinggal godain my honey sweetie baby." Ia melayangkan flying kiss pada pantulan dirinya di cermin. "Hey, baby. Apa sarapan pagi ini?" Tanyanya dengan wajah dibuat sekeren mungkin.
"Mana ada…" Ia mengibas ngibaskan tangannya di depan wajahnya sembari tertawa garing. "Gak cocok sama sekali dengan image saya…" Ia menggedikkan bahunya pelan sebelum berjalan keluar kamar dengan santai. Di temani dengan siulan tidak jelasnya.
Dan tak lama, ia menemukan seseorang yang sedang dicarinya sedang asik berkutat pada masakkannya. Ia berjalan santai mendekati seseorang itu dan melingkarkan kedua tangannya pada perut seseorang itu.
"Andre??"
"Pagi, honey." Sapa Andrew dengan ceria. "Kau masak apa?" Tanyanya sembari mengamati apa yang sedang di masak oleh orang yang ada di pelukkannya.
Orang yang sedang di peluk pria itu, Amanda, tersenyum. "Paella (hidangan nasi khas dari Vallencia, Spanyol)." Jawabnya. "Apa tidak masalah kau memakan ini, Andre?" Tanyanya sembari sedikit melirik pria itu.
"Aku suka apapun yang kau masak." Jawab Andrew. "Dan aku menyukai apapun yang ada pada dirimu." Ujarnya santai sebelum beringsut menjauh dan mendudukkan dirinya di bangku yang ada di meja makan.
Amanda hanya tertawa mendengar gombalan pagi itu. "Ya ya, dan aku juga sangat mencintaimu." Balasnya tanpa berbalik dan melanjutkan kegiatannya. Tak berselang lama kemudian, Amanda berjalan menuju meja makan dengan dua porsi makanan ditangannya.
"Silahkan dicoba tuan hantu." Amanda mengedipkan matanya dengan genit, namun didetik berikutnya tawa meledak keluar dari mulutnya.
Andrew yang melihat godaan dari Amanda hanya tersenyum kecil sambil menyendok sesuap nasi kedalam mulutnya dan bergumam. "Yah, ini sangat enak. Memang buatan istri tuan hantu ini tidak pernah mengecewakan ya." Andrew menatap Amanda dengan seringainya.
"Ah, really? Jika kau memang menyukainya," Amanda menggantung perkataannya seraya berjalan kearah dapur, kemudian kembali sambil membawa beberapa porsi makanan yang berbeda. "Cicipi ini juga yah, soalnya mayat yang sudah bangkit itu perlu banyak asupan yang banyak." Senyum Amanda terkembang.
Sementara Andrew menatap semua makanan itu dengan mata membelak. "A-Amy…. Kau tidak serius kan? Apa kau ingin membunuhku?" Tanya Andrew dengan gugup.
"Ah sayangku, bagaimana kau bisa menyimpulkan hal itu? Aku hanya prihatin dengan tubuh kurus itu." Amanda berseru dengan senyum manisnya. Andrew yang melihat itu hanya bisa tertunduk pasrah dan mulai memakan sarapan(*baca: gabungan sarapan dan makan siang plus makan malam).
Amanda yang mendudukkan dirinya didepan Andrew dan melihatnya makan dengan wajah berat itu tersenyum lebar dan bahkan hampir tertawa, sebelum tidak lama kemudian bel pintu rumah mereka berbunyi.
"Ah! Tamu istimewa kita sudah datang!! Amanda berseru senang dan segera bergegas membuka pintu. Meninggalkan Andrew yang menatap Amanda dengan bingung.
"Eh? Tamu?" Andrew bergumam bingung, tapi saat Amanda memasuki ruang makan bersama sosok pria paruh baya yang digandengnya matanya langsung membelak kaget dan bahkan ia langsung berdiri
"D-daddy!? Apa yang Daddy lakukan disini!?" Andrew berteriak kaget. Namun didetik berikutnya ia merasakan pukulan keras mengenai bahunya.
"Jangan berteriak tidak sopan seperti itu bodoh!" Amanda tersenyum menyeramkan. Andrew yang melihat itu hanya tertunduk dan bergumam pelan.
"Maaf."
Edward yang melihat interaksi keduanya hanya dapat tertawa pelan. "Apa salah jika seorang ayah datang berkunjung untuk menemui keluarga baru putranya yang sudah menikah?" Edward berkata pelan kemudian duduk dimeja makan.
"Tidak! Daddy boleh datang kapan saja!!" Andrew berseru cepat. Seolah tidak ingin ayahnya salah paham dengan kelakuannya.
"Alright. Sekarang kau duduklah dan mari kita mulai makan bersama." Amanda tersenyum lembut dan duduk disamping Andrew. Mereka kemudian mulai menyantap makanan itu dengan diselimuti kehangatan keluarga.
Edward kadang akan bercerita bahwa interaksi keduanya mengingatkan dirinya tentang ibu Andrew dan dirinya dulu dan akhirnya mereka membahas tentang kenangan-kenangan yang membahagiakan itu bersama dengan senyum lebar diwajah mereka.
Yah pernikahan yang terjadi sebulan yang lalu memang membawa kebahagiaan bagi mereka.
*Flashback*
Dua sosok pasangan, berdiri diatas altar dan mulai mengucapkan janji pernikahan mereka didepan semua orang. Acara itu kemudian dilanjutkan dengan pertukaran cincin dan diakhiri dengan adegan mempelai pria mencium kening mempelai perempuan.
Namun siapa yang menyangka mempelai wanita begitu agresif dan menarik kerah mempelai pria dan kemudian mencium bibirnya.
Semua orang yang menghadiri pernikahan itu hanya dapat bertepuk tangan dan berseru senang atas kebahagiaan mereka.
"Aku mencintaimu, Andre." Amanda tersenyum lembut setelah melepaskan ciumannya itu. Sementara kini wajah Andrew memerah sempurna. Ia pun menutup matanya dan mencium bibir Amanda singkat dan ikut tersenyum.
"Aku sangat mencintaimu, Amy."
*Flashback end*
.
.
.
.
.
*In Other's Side*
Seorang wanita bersurai blonde sedang menatap datar pemandangan di hadapannya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jas lab yang ia kenakan, untuk menghalau rasa dingin yang disebabkan karena musim dingin. Tak lama, seorang pria mendekatinya.
"Profesor Gardner, apa yang Anda lakukan di sini?" Tanya pria itu pada wanita bernama Olivia Gardner itu. "Jika Anda ingin merokok, bukankah ruangan khusus untuk itu di dalam. Kenapa tidak di dalam saja? Di sini dingin. Anda bisa sakit dan kedinginan jika terus berada di sini, Profesor." Ujarnya panjang lebar.
Olivia menatap datar ke arah pria yang baru saja sedikit menceramahinya itu. "Ada apa dengan observateriumnya?" Tanyanya sembari kembali menatap pemanndangan di hadapannya.
Pria itu menghela nafasnya sejenak. Ia tau, kalimat pertamanya itu akan diabaikan oleh wanita itu. "Tidak ada apa apa, Profesor. Semuanya baik baik saja." Jawabnya. "Ah. Banyak pihak yang mendukung krionik dan ingin jasad keluarganya di simpan di dalam preservasi krionik." Lanjutnya.
"Perbandingannya?" Tanya Olivia tanpa menatap lawan bicaranya itu.
"50:50, Profesor." Jawab pria itu lagi. "Perbandingan antara pendukung pembangkitan mayat dan yang menolaknya, 50:50." Ulangnya.
Olivia mengangguk. "Kembalilah duluan. Aku akan menyusul nanti." Ujarnya santai.
Pria itu mengangguk patuh dan segera melaksanakan perintah wanita itu. Meninggalkan wanita dingin itu sendirian di rooftop bangunan itu.
Olivia menghela nafasnya panjang. Ia merogoh saku jas lab yang ia kenakan dan mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam sana. Ia menatap sebungkus rokok itu dengan berbagai macam tatapan. Selanjutnya, ia meremas kuat benda itu sebelum melemparkannya ke dalam tong sampah terdekat.
Ia kembali menghela nafas panjang. Ia semakin mendekati tepi rooftop itu. Dengan sebelah tangannya, ia mencengkram pagar besi pembatas rooftop itu. Bahkan dingin dari salju pun tidak ia pedulikan lagi.
"Are you going to Scarborough fair…?" Olivia kembali memasukkan tangannya ke dalam saku jas lab yang ia gunakan. "Parsley, sage, rosemary, and thyme…" Ia bernyanyi pelan. Sangat pelan. Seakan berbisik dan merintih bersama dengan lagu itu.
"Remember me to one who lives there…" Ia menghela nafas panjang sebelum melanjutkan klaimat terakhir dalam bait pertama lirik lagu itu. "He once was a true love of mine…" Ia memejamkan kedua matanya sejenak, untuk meredam rasa sakit yang ditimbulkan oleh lagu itu.
Dengan cepat, kedua matanya terbuka lebar saat menyadari ada sosok lain yang ada di rooftop itu. Tangan kiri yang yang sedari tadi menggenggam scalpel yang berada dalam saku jas labnya, langsung ia keluarkan bersama dengan alat bedah itu. Ia membalikkan tubuhnya cepat dan mengarahkan scalpel itu pada objek di belakangnya.
Kedua matanya membulat begitu melihat sosok yang ada di belakangnya. Seorang pria bersurai blonde pudar, bahkan nyaris putih, sedang menatapnya sendu dengan iris coklat miliknya.
"Anak nakal yang suka berbohong sepertimu, seharusnya tidak di datangi oleh santa." Pria itu memegang tangan kiri Olivia yang masih mengarahkan scalpel itu padanya dan menurunkannya secara perlahan. "Tapi santamu yang ini, tidak dapat mengabaikanmu begitu saja." Ia semakin mendekat ke arah wanita bersurai blonde yang tengah menatapnya dengan berbagai macam tatapan itu.
"Aku kembali, Olive." Ujar pria itu sembari mengulurkan tangannya untuk menangkup sebelah pipi Olivia. Namun, sebelum berhasil untuk menyentuhnya, wanita itu lebih dulu memalingkan wajahnya menolak sentuhan pria itu. Dan membiarkan tangan pria itu menggantung bebas di udara.
"Apa yang kau lakukan di sini-" Olivia menggenggam tangannya erat hingga buku buku jarinya memutih. "Carla Gardner?" Ia menatap tajam pria itu.
Pria bersurai blonde pucat itu, Carla Gardner, tersenyum miris. "Kembali padamu." Ujarnya sembari mengulurkan tangannya untuk menyentuh puncak kepala Olivia. "Aku kembali padamu." Ulangnya.
"Apa kau tidak menyukainya?" Tanyanya sembari menyusuri surai blonde milik Olive dan berhenti pada sisi belakang kepala wanita itu.
"Ya. Aku tidak menyukainya. Aku sangat tidak menyukainya." Air mata mulai muncul di sudut mata Olivia dan mengalir pelan menyusuri wajah pucatnya. "Mengingat caramu menolak semua hasil kerja kerasku selama ini aku-" Ia mengginggit bibir bawahnya untuk meredam isakkan yang akan keluar dari mulutnya.
"Kenapa-" Cicit Olivia. "Kenapa kau kembali, Carla Gardner? Kenapa kau kembali untukku?" Sepertinya percuma ia menahan isakkan itu. Karena pada akhirnya, isakkan dan air mata yang selama ini di tahannya lolos begitu saja.
"Karena aku ingin kembali bersamamu, Olive." Carla menyeka air mata Olivia yang mengalir deras dengan jempolnya. "Karena aku ingin kembali bersamamu. Apa alasan yang kuberikan itu masih tidak dapat kau terima?" Ia menatap wanita yang ada di hadapannya ini dengan tatapan sendu.
"Kau pikir, alasan bodoh seperti itu dapat ku terima??" Teriak Olivia.
"Kalau begitu, kenapa aku kembali itu karena-" Carla mendongakkan wajah Olivia sehingga tepat menatapnya. "Aku mencintaimu." Setelah mengatakannya, ia menempelkan bibirnya pada bibir wanita itu. Melumatnya pelan. Dan menyalurkan segala perasaannya lewat ciuman itu.
Perlahan, air mata melelh dari sudut mata Carla yang sedang terpejam. Ia menarik pelan tubuh Olivia agar semakin mendekat dan merapat padanya.
Tak lama, Carla melepaskan ciumannya. Ia menempelkan dahinya pada dahi Olivia. "Bodoh." Umpat wanita itu.
Carla yang mendengarnya hanya tersenyum. "Aku tau itu." Ujarnya. "Kalau begitu maukah kau memberi kesempatan pria bodoh ini? Ah, bukan." Ia menjauhkan wajahnya dari Olivia.
"Maksudku," Ia merogoh saku jas yang ia kenakan dan mengeluarkan sebuah cincin dari dalam sana. "Jadilah milikku, Olive." Ujarnya dengan mantap sembari menyodorkan cincin itu tepat di depan wajah Olivia.
Olivia mengerjapkan kedua matanya sejenak. Ia mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Carla yang sedang menyodorkan sebuah cincin padanya. "Apa yang kau bicarakan?" Ia menatap pria di hadpaannya dengan datar, sebelum sedikit memiringkan kepalanya dan tersenyum tipis. "Bukankah dari awal aku ini milikmu?" Ujarnya.
Carla yang mendengarnya tersenyum tulus. Ia menarik Olivia ke dalam dekapannya sebelum berbisik tepat di telinga wanita itu.
"Terima kasih. Aku mencintaimu."
.
.
.
.
.
.
Disebuah ruangan keluarga, sekelompok orang tampak sangat kacau. Seorang pria dengan surai hitam terlihat berjongkok dan meraba sekitarnya seolah mencari sesuatu.
"Amy! Aku menjatuhkan salah satu baut penyangga kamera tanpa sengaja dan belum menemukannya dimanapun!" Andrew berteriak frustasi. Sosok wanita yang berdiri tidak jauh darinya yang juga tampak sibuk dengan gaunnya berkata dengan nada lelah.
"Bagaimana bisa kau menghilangkan itu Andre? Tsk, gaun ini terlalu mengganggu, coba lihat dibawah sofa. Aku akan mengangkatnya dan kau cari." Amanda berjalan mendekat dan mengangkat sofa itu dengan susah payah.
"Ah! Aku menemukannya! Bagus!" Andrew yang melihat baut yang selama ini dia cari akhirnya berseru senang dan mengambil nya.
Sementara itu disudut lain ruangan, sosok pria bersurai blonde pucat tampak tengah membujuk seorang wanita.
"Ayolah Olive, kenakan gaun ini untuk kali ini saja." Pria itu menatap Olivia dengan tatapan memohon.
"Tidak. Kau lihat Amy disana, dia benar-benar tampak risih dengan gaun itu. Aku tidak akan pernah mencobanya Carla." Olivia menatap Carla dengan datar.
"Oh, come on babe, kali ini saja oke?" Carla menatap Olivia dengan puppy eyes nya. Olivia yang melihat itu hanya dapat menghela nafas panjang dan mengangguk singkat.
"Yes! Sekarang kenakanlah gaun ini!" Carla berseru senang. Olivia hanya bergumam pelan dan berjalan kearah kamarnya.
Tidak lama kemudian ia keluar dengan gaun itu ditubuhnya. Bersamaan dengan itu Edward datang bersama seorang pria yang tampaknya ada juru kamera yang akan memfoto mereka.
Mereka kemudian mulai berdiri merapat, ketiga pria berdiri dibelakang kedua wanita yang duduk diatas kursi didepan dengan Edward yang berdiri ditengah.
Juru kamera dadakan itu, tidak lain dan tidak bukan adalah Leon yang mendapatkan cuti.
"Katakan 'Die' "
"Die"
Cekrek
"Yap! Sekarang gaya bebas!"
Cekrek
Setelahnya pemandangan itu berubah menjadi sebuah potret besar yang dipajang disebuah ruangan yang disekelilingnya terdapat banyak foto lainnya.
Tamat
Eh, Epilog nya masih ada. Jadi tungguin yak! Jangan lupa dukungannya!!!!