ดาวน์โหลดแอป
40% You Belongs To Me / Chapter 6: Chapter 5

บท 6: Chapter 5

~Andrew POV On~

Perlahan kubuka kedua mataku. Dan pemandangan pertama yang kulihat adalah kelambu berwarna putih gading.

"Eh? Aku di mana?''

Perlahan aku mendudukkan diriku. "Ah! Aku di rumah, Olivia.'' Kupegang dahiku perlahan.

Tok... Tokk... Tokkk...

"Ma- masuk.'' Jawabku ragu. Tentu saja aku ragu. Hey, aku sadar diri ya kalau aku ini Cuma hantu.

Tak lama, seorang pria paruh baya memasuki kamar ini. Ya, dia adalah butler keluarga Gardner. Edward.

Pria itu menunduk hormat padaku sejenak sebelum berjalan menuju ke arah jendela. "Apa Anda keberatan jika saya membuka jendelanya, tuan Andrew?'' Tanya sopan padaku.

"A- ah tidak.'' Jawabku sembari memperhatikan gerak geriknya.

"Baiklah, kalau begitu. Saya akan membuka jendelanya.'' Ujarnya sebelum membuka tirai yang berwarna senada dengan warna interior di kamar ini. Putih gading.

"Tu- tuan Edward.'' Panggilku.

Pria itu membalikkan tubuhnya. "Apa ada yang Anda perlukan, tuan Andrew?'' Tanyanya sembari menyunggingkan senyum sopan miliknya.

"Emm... Bolehkah aku bertanya sesuatu?''

"Tentu saja, tuan Andrew.''

"Ke- kenapa kau melayaniku seperti manusia yang masih hidup?'' Tanyaku penasaran.

Pria itu tersenyum lembut. "Karena Anda adalah seorang tamu, tuan Andrew.'' Jawabnya.

"Ta- tapi, aku ini hanya arwah penasaran saja. Maksudku, seharusnya yang kau layani itu manusia kan.'' Aku menggaruk belakang kepalaku. "Yah, kau tau maksudku. Hantu tidak membutuhkan pelayanan apa pun kan?'' Ujarku.

"Bolehkah saya menjawab perkataan Anda, tuan Andrew?'' Tanya Edward sopan.

"Ye- yeah. Kau- kau dapat menjawabnya.'' Balasku sedikit tidak nyaman dengan seluruh kesopanannya itu.

"Secara pribadi, saya tidak terlalu memedulikan jenis Anda ini. Hanya saja,''

"Hanya saja?''

"Baru pertama kali ini, Lady kedatangan tamu yang sampai repot repot untuk menginap di rumah. Jadi, sebenarnya, saya sangat senang.'' Pria itu tersenyum lembut. Dengan langkah pasti, ia mendekati. "Jadi, izinkan saya melayani Anda, tuan Andrew.'' Pintanya.

~Andrew POV Off~

~Author POV On~

"Edward.'' Panggil Andrew sesaat setelah dirinya mendudukkan dirinya di sofa panjang yang ada di ruang keluarga itu.

"Ya, tuan.'' Edward mendekati Andrew. "Apa ada yang Anda butuhkan, tuan?'' Tanyanya.

Andrew menggeleng pelan. "Bolehkan aku bertanya tentang matamu?'' Tanyanya.

"Tentang mata saya, tuan?'' Edward menyentuh bagian bawah kelopak matanya. "Kalau begitu apa yang ingin Anda tau, tuan Andrew?'' Ia tersenyum lembut.

"Ke- kenapa bisa warnanya berbeda?''

"Sebenarnya, kedua mata saya sudah tidak dapat melihat.''

"Eh?''

"Lalu, Lady Olivia yang membuat saya melakukan operasi itu. Namun, hanya bertahan beberapa saat saja sampai mata kiri saya kembali tidak bisa melihat.''

"Kalau begitu, kenapa kau tidak melakukan operasi lagi? Aku yakin Olivia bisa membuatmu kembali melihat.''

Edward menggeleng. "Saya tidak ingin kehilangan mata ini, tuan Edward.'' Ia tersenyum lembut.

"Kenapa?''

"Karena mata ini adalah milik putra saya satu satunya. Dan, saya tidak ingin kehilangannya lagi.'' Edward menatap Andrew dalam hingga membuat arwah penasaran itu ikut merasakan perasaan sedih yang dirasakan oleh pria paruh baya itu.

"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud begitu.'' Balas Andrew tidak enak.

"Tidak apa apa, tuan Andrew.'' Ujar Edward. "Saya harap, semoga percobaan terhadap tuan Andrew berhasil.'' Lanjutnya sebelum meninggalkanku sendiri di sini.

"Semoga.''

~Skip~

"Mau sampai kapan kau tiduran di sana?''

"Olivia?!'' 

Andrew tersentak kaget, begitu mendengar suara dingin khas wanita itu. Dengan cepat, ia segera bangun dari posisi tidurnya. Ia berjalan cepat menuju pintu ruangan itu. Karena wanita dingin itu tengah menunggunya di sana.

"Kau- kau sudah pulang?'' Tanyanya sembari mengikuti Olivia yang sudah lebih dahulu berjalan di depannya.

"Kau bisa lihat sendiri.'' Jawab Olivia cuek.

"Kau habis dari mana? Rumah sakit? Atau bertemu dengan dokter penakut itu?'' Tanya Andrew lagi.

Olivia melirik Andrew dari bahunya sejenak sebelum menjawab pertanyaannya. "Bukan urusanmu.'' Jawabnya kemudian.

Andrew yang mendengar jawaban dingin yang dilontarkan oleh Olivia hanya bisa mengerucutkan bibirnya. "Kau tidak perlu sedingin itu padaku.'' Protesnya.

"Hoo...'' Olivia membuka pintu besar yang menghubungkan antara ruang bawah tanah dan laboratorium pribadinya.

"Lalu apa untungnya aku bersikap hangat padamu?'' Tanyanya kemudian.

"Ki- kita bisa menjadi lebih dekat.''

"Kalau begitu, aku lebih memilih untuk terus bersikap seperti ini.'' Olivia mengambil sepasang sarung tangan karet dan segera memakaikannya di kedua tangannya.

"Kenapa kau tidak kemari lebih dahulu dan malah tiduran di sofa ruang tamuku?'' Ia membalikkan tubuhnya menatap Andrew yang sedang mengamati salah satu tabung penelitiannya dengan pandangan jijik.

"Aku hanya tidak mau bersikap tidak sopan dengan memasuki ruang pribadi orang lain.'' Jawab Andrew sambil menahan rasa mualnya.

Olivia menaikkan sebelah alisnya. "Bilang saja kalau kau takut dan tidak berani memasuki ruangan ini sendirian.'' Ia kembali membalikkan tubuhnya dan membuka sebuah pintu berwarna merah. "Lagi pula aku sudah memberimu izin untuk memasuki ruangan ini. Masuklah ke dalam, kau akan lebih baik di sana.'' Ujarnya.

Andrew mengangguk pasrah dan segera memasuki ruangan itu. "Terima kasih. Di sini lebih baik.'' Ujarnya saat memasuki ruangan yang hanya berisi peralatan medis milik Olivia itu.

"Jadi, kau ingin mayat yang mana?'' Tanya Olivia dari luar ruangan tempat Andrew berada.

"Kau menawariku? Oh, jangan bercanda. Pilihkan saja satu untukku. Aku tidak mau kembali ke ruangan penuh mayat itu.'' Ujar Andrew panjang lebar.

Olivia tidak membalas kalimat terakhir yang di lontarkan oleh Andrew. Ia lebih memilih mengamati mayat yang akan ia gunakan kali ini.

Setelah menemukan mayat yang sesuai dengan kriteria yang ia inginkan, ia segera mendorong tabung besar tempat mayat itu ke dalam ruangan tempat Andrew menunggu tadi.

"Tutup mata dan hidungmu, aku akan mengeluarkan mayat ini.'' Ujarnya setelah menutup pintu.

Andrew mengangguk patuh dan segera membalikkan tubuhnya membelakangi Olivia dan mayat dalam tabung itu.

Setelah memastikan Andrew melakukan perintahnya, ia segera mengenakan maskernya. Selanjutnya dengan perlahan, tabung besar itu ia letakkan di samping tempat tidur yang ada di ruangan itu.

Tabung besar yang awalnya berdiri itu, ia posisikan untuk tidur. Kemudian ia memasangkan beberapa selang pada tabung itu. Dan,

Cesshhh.....

Kaca tabung itu terbuka otomatis, setelah sebelumnya menghilangkan cairan yang ada di dalamnya.

Tanpa rasa jijik, Olivia mengangkat tubuh mayat laki laki itu dan menidurkannya ke atas tempat tidur.

"Mau sampai kapan kau memunggungi calon raga barumu?'' Tanyanya santai sembari memasangkan beberapa kabel dan selang pada tubuh mayat itu.

"Sampai- HIIIIII...!!!" Andrew berjenggit histeris saat melihat keadaan mayat laki laki itu.

"Berisik.'' Komentar Olivia yang sedang memantau monitor dan tab nya.

"La- lakukan sesuatu padanya.'' Andrew menunjuk mayat itu dengan panik.

Olivia mengalihkan perhatiannya dari tab yang di bawanya. "Apanya?'' Ia menatap Andrew malas.

"Otongnya kelihatan..!!!''

"Ck. Kau pikir kau itu perempuan?''

"Itu namanya pelecehan tau. Kau yang perempuan seharusnya malu..!!''

Tidak ingin arwah penasaran itu semakin mengoceh tidak jelas, Olivia segera mengambil selimut di salah satu lemari yang ada di sana. Dengan cekatan, ia menutupi bagian bawah mayat laki laki tersebut.

"Nah, gini kan enak dilihatnya.'' Komentar Andrew.

Olivia hanya menatap Andrew datar sebelum kembali sibuk menatap tab dan monitor yang terhubung pada mayat laki laki itu.

Andrew menatap ke arah Olivia dan mayat laki laki itu bergantian. Selanjutnya, dengan langkah pelan ia mendekat ke arah mayat laki laki itu. 

"Tu- tubuhnya masih utuh.'' Ujarnya sembari mengamati mayat laki laki itu dari dekat.

"Kau pikir aku akan menyediakan mayat yang tidak utuh lagi?''

"Bukan begitu,'' Andrew mengarahkan jarinya untuk menyentuh permukaan kulit mayat itu. "Ha- hanya saja, dia tidak seperti mayat.'' Ujarnya.

"Siapa dia?'' Tanya Andrew kemudian.

"Albert Cullen. Usia 21 tahun. Penyebab kematian, tidak ada alasan khusus.'' Jawab Olivia.

"Apa maksudmu dengan penyebab kematiannya tidak ada alasan khusus?'' Andrew menatap Olivia penuh tanya.

"Dia meninggal dengan normal.'' Jawab Olivia.

"Ohh...'' Andrew menganggukkan kepalanya mengerti. "Hey, bagaimana cara kau mengawetkan Albert? Biasanya, jika mayat di awetkan akan berubah keriput.'' Tanyanya.

"Berisik.'' Komentar Olivia.

"Hey, jawab aku. Bagaimana dengan organnya? Apa organnya masih berfungsi dengan baik? Apa ia memiliki penyakit? Bagaimana dengan kapasitas otaknya?''

"Tidak usah banyak tanya. Cepat berdiri di sana.'' Perintah Olivia.

Andrew mengerucutkan bibirnya. Namun, dengan segera ia melakukan yang di perintahkan oleh Olivia. Berdiri di dekat kaki mayat itu dan memunggunginya.

"Lalu apa yang harus ku lakukan lagi?'' Tanyanya.

Olivia berjalan mendekati Andrew dan berdiri tepat di depannya. "Apa ada kata kata terakhir?'' Tanyanya.

"Aku mencintai- Tunggu apa maksudmu dengan kata kata terakhir?!'' Andrew menatap Olivia horror.

"Bye bye, Andy.''

"Tung-''

Sebelum menyelesaikan ucapannya, Olivia lebih dulu mendorong bentuk roh Andrew. Sehingga membuatnya jatuh dan langsung memasuki mayat Albert.

"And now,'' Olivia berjalan cepat menuju ke arah monitor dan sebuah kotak besar tempat semua kabel yang ada di tubuh mayat Albert berasal. Ia menekan sebuah tombol dan setelahnya aliran listrik cukup besar mengalir ke tubuh mayat Albert.

Tubuh mayat Albert bergetar saat menerima seluruh aliran listrik itu. Tak lama, Olivia mematikan aliran listrik itu. Ia kembali mendekati tubuh mayat Albert. Ia membawa sebuah alat pacu jantung. "It is a show time.'' 

Olivia mengarahkan alat pacu jantung itu pada mayat Albert dan-

"HAH?!"

Mayat Albert terbangun secara mendadak. "Aku- aku-'' Mayat itu mengangkat sebelah tangannya. Ia menatap ke arah Olivia. "Aku hid-''

"Masih terlalu dini untuk senang, bodoh.'' Olivia mendorong kepala mayat itu sehingga kembali pada posisi tiduran.

"Aku hidup.'' Ujar Andrew yang ada di dalam tubuh mayat Albert.

"Belum.'' Gumam Olivia sembari terus memantau monitornya.

"A- aku-'' Suara Andrew yang akan keluar tertahan dan malah terdengar suara nafas yang tidak beraturan.

Olivia yang menyadari itu hanya dapat mendesah lelah. "Sudah cukup,'' Ia mengambil sebuah pisau bedah di sakunya dan segera menancapkannya tepat pada jantung mayat yang masih bergetar hebat. "Kembalilah.'' Ujarnya bersamaan dengan bunyi nyaring dari monitor dan tubuh mayat itu yang berhenti bergetar.

Tak lama, ''Hah?!'' Andrew dalam wujud arwah pun keluar dari tubuh mayat Albert.

"Aku- aku mati lagi?'' Tanyanya sembari meraba bentuk astralnya.

Olivia mendesah lelah. "Beristirahatlah.'' Ujarnya sebelum meninggalkan Andrew sendirian di ruangan itu.

"Aku- aku tidak berhasil hidup.'' Cicit Andrew pelan.

~Author POV Off~

~ ??? POV On~

"Olivia...''

~ ??? POV Off~

To Be Continued


ความคิดของผู้สร้าง
SunnyAnShine SunnyAnShine

dudududu~ Jangan lupa dukung nya~

Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C6
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ