Sakit? Banget! Ketika mereka menikmati hari minggu bersama dengan sahabat mereka, sedangkan gue hanya bisa melihat mereka yang tengah berjalan bersama. Gue pernah ada di posisi itu, pernah ya bukan sedang. Gue pernah berada di posisi itu pada saat sebelum gue sadar.
Gue dulu sering jalan bareng sama makhluk hidup bernama teman pada hari weekend, namun itu semua berakhir pada saat gue hanya mengeluarkan satu tiket. Bingung bukan? Haha, gue sih gak bingung karena gue tahu alasannya, lebih tepatnya karena gue yang merasakannya.
"Besok liburan kuys," ucap sekaligus ajakan dari Rena.
"Yuk udah lama nih gue gak pergi liburan," balas Dena dengan begitu antusias.
"Lo mau ikut kan Vitt?" tanya Rena.
"Yuk, mau ke mana?" tanya gue dari balik sambungan telepon. Kita bertiga tengah melakukan telepon grup. Kita sering melakukan hal ini saat kita sedang gak sibuk, lebih tepatnya mau sibuk ataupun enggak kita sering melakukan hal ini.
"Gue pengen mantai," jawab Rena.
"Sama gue juga," jawab Dena yang menyetujui keinginan Rena.
"Ya udah besok kumpul di rumah gue jam 7 ya," ucap Rena menyetujui.
"Siap," jawab Dena.
"Jangan ngaret Vitt!" ingat Rena.
"Oke."
*****
Seperti yang sudah dibicarakan semalam, hari minggu kita bertiga pergi ke pantai. Kita asyik bercanda riang saat di tengah perjalanan menuju ke pantai, sampai waktu tak terasa, dan perjalanan kita menuju ke pantai sudah terlewati. "Yey pantai," teriak Dena, saat sampai di depan gerbang pantai yang kita tuju.
"Masuk yu," ucap Rena saat di depan gerbang.
"Mba tiketnya," ucap penjaga karcis itu pada Dena dan Rena.
"Lah emang dia belum bayar Mas?" tanya Rena sambil menunjuk ke arah gue.
"Belum Mba," jawab Mas-nya.
Mereka berdua membayarnya, mereka berdua ikut masuk. Kita bertiga sering ke pantai, namun kita bertiga tak suka berenang. Kita lebih suka bermain air dan berjalan-jalan saja menikmati pemandangan yang ada di pantai.
Gue merasakan hal yang beda saat mereka berdua tiba-tiba berjalan lebih dahulu, bahkan ketika gue sedang merapikan tali sepatu gue, mereka hanya melirik dan kemudian melanjutkan kembali langkah mereka bersama tanpa menunggu gue terlebih dahulu.
Gue gak mau pusing, gue mencoba mengabaikan tingkah mereka. Gue ingin menikmati suasana santai ini.
"Vitt gue pikir lo mau bayarin tiket kita berdua," ucap Rena to the point saat sudah pulang dari pantai.
"Hehe, kali ini gue lagi gak punya duit Re," jawab gue jujur. Hari ini memang keuangan gue lagi gak memadai untuk mentraktir mereka.
"Terus kenapa lo mau pas kita ajak ke pantai?" tanya Dena.
"Kalau gak punya uang gak usah ngeiya-in," ucap Rena dengan nada yang begitu sinis.
Jujur gue merasa gak nyangka banget saat gue mendengar dia berkata seperti itu, gue gak nyangka kalau mereka bakalan tega akan mengeluarkan kalimat seperti itu.
"Lho, gue kan tetep bayar tiket gue, tetep bayar makan gue dan bayar parkir gue?" ujar gue. Mereka berdua pergi meninggalkan gue tanpa pamit ataupun memberikan penjelasan yang lain sama gue.
Waktu itu gue memang gak terlalu memikirkan masalah ini, namun waktu itu juga gue sudah sadar kalau mereka tidak menganggap gue teman. Mereka cuman mau dekat dengan gue, karena gue bisa menuruti semua keinginan mereka.
Itu bukan kali pertamanya gue mendapatkan perlakuan seperti itu, namun gue sudah sering mendapatkan perlakuan yang kurang lebih sama.
Sudah banyak orang yang menjadi teman gue di waktu dulu, namun tidak di waktu sekarang. Sikap mereka seolah replika-an dari orang yang pernah berstatus sebagai teman gue. Sikap mereka percis sama.
Gue benar-benar merasa trauma sama makhluk yang bernama teman.
Entahlah semenjak gue masuk SMA, gue sudah memutuskan untuk gak mau lagi punya yang namanya teman! Buat apa gue punya teman kalau gue tidak merasakan hidup layaknya orang yang punya teman? Buat apa?
Buat apa gue punya teman kalau gue masih merasakan sendirian? Buat apa gue punya teman kalau gue tetep merasakan kesepian? Buat apa gue punya teman kalau gue masih kesusahan mencari tempat untuk berbagai cerita? Buat apa? Buat apa gue punya teman?!
Gue sedari dulu sudah jadi anak yang broken home. Gue pikir ketika gue punya teman gue bakalan punya tempat untuk curhat atau punya tempat untuk sekedar pelarian meski sesaat, tapi ternyata? Itu tidak berlaku buat gue. Gue tetap merasakan itu semua.
"Mamah jengkel sama kelakuan kamu!" bentak Mamah.
"Papah juga muak sama kamu, kamu ini sekedar menyusahkan orang tua saja hidupnya!" lanjut bentak Papah.
"Tapi Pah, Vitta cuma—"
Plakkk
Tamparan keras itu mendarat di pipi gue. Gue berlari ke kamar, gue menangis di sana. Kenapa selalu gue yang di salahkan, sedangkan yang salah sebenarnya itu Vetta. Apa gue ditakdirkan menjadi orang yang salah? Jika iya, kenapa harus gue?
Hikss hikss hikss gue terus menangis. Gue butuh penenang, gue ingin curhat, se-enggaknya dengan menceritakan semua masalah gue, gue bakalan merasa sedikit lega.
"Hallo ada apa Vitt?" tanya Neli dari balik sambungan telepon.
"Nel, gue boleh ke rumah lo gak sekarang?" tanya gue. Gue sengaja menggantungkan kalimat gue.
"Mau ngapain Vitt?" tanya dia lagi.
"Gue mau curhat nih, gue lagi ada masalah di rumah," jawab gue jujur.
"Duh sorry ya Vitt, di rumah lagi banyak orang nih," ucap dia saat dia tahu bahwa gue telepon hanya sekedar untuk curhat.
"Oh ya udah gak papa," jawab gue mencoba memahaminya, meski gue sendiri tak tahu apakah yang dia ucapkan benar atau enggak.
Kalau memang di rumahnya lagi banyak keluarga, kenapa tidak dari tadi saja ngomongnya, kenapa baru bilang di saat gue ingin pergi ke sana untuk curhat? Hemmm, bikin gue tanda tanya saja hehe.
"Hallo Vitt ada apa ya, telepon kok malem gini?" tanya Sawa. Setelah menelepon Neli, gue berpindah menelepon Sawa.
"Hehe, lo sibuk gak?"
"Nggak, gue lagi santai," ucap dia dengan nada yang memang terdengar sedang santai.
"Gue mau curhat nih," ucap gue mengawali pembicaraan.
"Wa," ucap gue saat tak terdengar sautan dari seberang sana.
"Eh iya Vitt, gimana?" tanya dia kikuk.
"Gue mau curhat nih," ucap gue lagi.
"Ya ampun Vitt, gue lupa gue belum ngerjain tugas, udah dulu ya Vitt," ucap dengan begitu buru-buru.
"Hmm ya—" Tanpa menunggu jawaban dari gue dia langsung mematikan sambungan teleponnya.
Tututututttt
Sambungan terputus, Sawa memutuskan sambungan teleponnya. Hemm, sebegitu tidak inginnya ya lo untuk mendengarkan curhatan gue, sebegitu gak pentingnya curhatan gue atau sebegitu gak pentingnya gue? Haha gue bingung deh.
Gue turun dari tempat tidur gue. Gue berjalan ke arah lemari baju gue. Gue mengangkat satu tumpukan baju gue. Di sana terdapat pecahan kaca yang terbilang sedang.
Pecahan kaca ini tak terlalu besar jadi sangat mudah untuk gue genggam, namun sekarang gue tak ingin menggenggam kaca itu. Gue menggoreskan kaca itu 3 kali di bagian betis gue.
Gue tidak merasakan sakit saat menggoreskannya, karena hati gue sedang merasa jauh lebih sakit sekarang. Darah itu mulai keluar dari tubuh gue. Gue hanya bisa teringhak sambil memperhatikan darah yang terus keluar ini.
Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!
Adakah pemikiran tentang kisah saya? Tinggalkan komentar dan saya akan menmbaca dengan serius
Coba kalian bayangkan gimana rasanya saat kalian ingin curhat namun kalian tak ada orang yang ingin mendengarkan curhatan kalian? sakit bukan?
bagaimana kelanjutan kisah Peyvitta?
Tunggu aja!
bbye:*