"Lo ada sesuatu yang di sembunyiin dari gue?" tanya Ghirel.
Siska sudah kalang kabut mencari alasan. Dia bingung harus menjawab apa, untung saja jam pelajaran kedua berbunyi. Hal itu berhasil menyelamatkan Siska untuk sementara.
"Udah masuk Jie, gue ke kelas dulu ya. Kalau Kristal ngapa-ngapain lo, bilang sama gue!" kata Siska sembari melambaikan tangannya dan berjalan menjauhi Ghirel.
Ghirel membalas lambaian tangan tersebut. Saat dirinya menoleh, dia mendapati Afka yang sedang menatapnya datar.
"Kaget tau!" kata Ghirel.
Afka tersenyum kecil lalu mengacak rambut Ghirel dengan penuh kasih sayang,"semangat ngerjainnya ya sayang."
Untung saja anak-anak lainnya sudah memasuki ruangan ujian sehingga Ghirel tidak perlu susah payah menyembunyikan wajah memerahnya karena terlalu bahagia.
"Tumben tepat waktu?" tanya Ghirel sambil memasukkan buku-bukunya kedalam tas.
"Habis ini aku ada urusan mendadak, jadi aku harus pulang lebih cepat," jawab Afka.
Ghirel curiga, setau dia hari ini Afka tidak ada jadwal ngedate dengan siapapun. Selain itu, dia juga tidak ada jadwal les siang hari.
"Kemana? sama siapa? ngapain?" tanya Ghirel bertubi-tubi.
"Main doang," jawab Afka santai. Hal ini menimbulkan sebuah kecurigaan di lubuk hati Ghirel.
***
bugh!
Sebuah pukulan melayang dari kepalan tangan Afka. Kaca-kaca ruko sekitar tembus cahaya, gang-gang sempit menjadi sarang hewan-hewan kecil. Suara klakson saling adu saat lampu hijau terlihat. Mobil-mobil mewah lalu lalang terlihat elegan ditengah jalanan. Pejalan kaki menatap iri pada kendaraan mewah yang melintas.
Afka Fedrick, ia mengenakan sebuah mobil mewah berwarna merah dengan kaos hitam polos dan celana kolor andalannya. Sandal swallow berwarna ungu menjadi favoritnya akhir-akhir ini. Laki-laki itu mencari mangsanya. Kata narasumbernya, preman-preman itu ada disini. Di sebuah gedung tua yang terbengkalai ditengah kota.
Ada urusan yang tak terselesaikan hingga membuat Afka mengerahkan sedikit niatnya untuk membalas. Laki-laki itu berjalan sendirian, di saku jaketnya sudah ada belati yang biasa ia gunakan. Afka membuka sebungkus permen kaki berwarna merah lalu memakannya. Katanya rasanya mengalahkan rasa alkohol mahal yang pernah ia cicipi.
Tumpukan kardus yang menjadi penghalang ia singkirkan tak sungkan-sungkan. Suara bising seseorang membuatnya terdiam dan menajamkan indera pendengarannya. Sepertinya berasal dari sebuah ruangan yang berasa tak jauh di belakang sana.
Dengan penuh percaya diri, Afka mendobrak ruangan tersebut hanya dengan satu kaki.
"Disini kalian ternyata?" sinis Afka.
Preman-preman tersebut tertawa terbahak-bahak menatap seseorang yang ia remehkan. Di mata preman tersebut, Afka hanyalah remaja labil yang haus kasih sayang sehingga hobi mencari masalah kemana-mana. Tipikal tokoh utama sebuah novel remaja. Tetapi tanpa mereka ketahui,Afka menguasai 5 bela diri dan 8 bahasa sekaligus. Meskipun kedua orang tuanya bercerai tetapi Afka tidak pernah haus kasih sayang. Ayahnya memberi lebih dari cukup kasih sayang kepadanya.
"Wow, cuman bocah labil ternyata yang kesini," sindir salah satu preman di sana.
Afka menyeringai, ia hanya diam dan menunggu preman sok jagoan tersebut menyerangnya.
"Heh bocah ingusan, lo udah pernah kita kalahin waktu di Cafe. Udah deh gak usah ngurusin urusan kita lagi, mending lo belajar yang pinter buat kuliah!" kata preman tersebut.
Bagi Afka, kata-kata itu masih belum membakar emosinya. Dan Afka tidak suka bertengkar tanpa emosi yang jelas. Ia butuh sesuatu yang dapat membuatnya berpikir bahwa ia harus menang.
"Lo ngapain sih belain jalang kecil kayak Stefy?" tanya salah satu preman.
Akhirnya, mereka berhasil membangunkan singa tidur dalam diri Afka. Tanpa basa-basi lagi, Afka menendang dada preman yang mengatai Stefy jalang dengan kerasnya. Ia mengunci pergerakan preman tersebut lalu berbisik,"dia bukan jalang kayak ibunya."
Preman lainnya mulai menyerang Afka secara bergantian dan bertubi-tubi. Afka yang sudah tidak bisa main-main dengab situasi dapat mengontrolnya dengan baik. Ia menghindar dengan tepat dan memukul dengan keras.
Salah satu preman ia kunci lagi pergerakannya lalu berbisik, "Kuliah? Bapak gue yang punya salah satu kampus dan restoran di sini, kayaknya sih gue langsung kerja. Gak nganggur dan cari masalah kayak kalian."
Preman-preman itu sudah babak belur dibuatnya. Meskipun Afka juga demikian, dia mendapatkan sedikit luka sayatan pisau di lengan kanannya. Tetapi itu tidak sebanding dengan preman-preman yang sedang sekarat tersebut.
"Stefy punya gue, selama dia ada di tangan gue kalian gak boleh macem-macem sama dia!" Afka memperingati para preman tersebut lalu pergi begitu saja.
Di dalam mobilnya, ia menghubungi Stefy untuk menemuinya.
"Stef? Lo dimana?" tanya Afka.
Terdengar suara jalanan kota yang ramai dari sana,"masih di jalan pulang kak."
"Jangan pulang ke rumah, lo bisa dijual lagi sama ibu lo yang suka minum itu. Lo dimana? biar gue jemput sekarang!" kata Afka sembari menyalakan mesin mobilnya.
"Di jalan anggrek yang deket rumah sakit pelita kak," jawab Stefy.
Afka langsung menutup panggilan teleponnya dan melaju menuju lokasi Stefy berada.
//Flashback//
Semilir angin di rooftop SMA N 1 Bangsa membuat kuncir rambut gadis itu lepas. Rambut coklat terangnya tergerai bebas dan berayun seiring tertiup angin. Stefy, anak blasteran Indonesia - Rusia yang dibuang oleh orang tuanya karena tak menginginkan anak perempuan.
Selama ini gadis itu bertahan karena ayahnya yang selalu menjadi pahlawan hidupnya. Tetapi, satu minggu yang lalu ayahnya meninggal dunia karena sebuah kecelakaan. Hal itu membuat ibunya semakin murka dan menyalahkannya. Stefy sangat terpukul dan merasa kehilangan, belum lagi ibunya berkali-kali mencoba mengusir bahkan menjual Stefy ke oknum tidak benar. Stefy takut lapor kepada polisi, bagaimanapun juga gadis itu mencintai ibunya.
"Ngapain manggil gue ke sini?" suara bariton milik Afka membuyarkan lamunannya.
Gadis itu menunduk malu,"aku mau minta tolong."
"Lo gak salah minta tolong sama cowok kayak gue?" balas Afka.
"Aku awalnya buntu kak, tapi kata temen aku yang pacarnya kakak, Kak Afka sebenarnya orang baik. Kakak pasti gak bisa tutup mata kalau ada cewek yang disakitin," kata Stefy. Hal itu membuat Afka tertawa keras.
"Lo gak tau kalau gue benci sama cewek?"balas Afka sembari tertawa hambar.
"Kakak gak benci sama cewek, kalau kakak benci kakak gak mungkin peduli sama pacar-pacar kakak yang mayoritas punya masalah pribadinya. Kakak peduli sama cewek," jelas Stefy.
Afka seperti tertampar kenyataan, kata-kata yang Stefy lontarkan membuatnya tersadar bahwa banyaknya kekasih yang ia miliki bukan murni karena sebuah rasa kasihan. Tetapi, rasa peduli. Kecuali Ghirel.
Aku gak perlu beneran jadi pacar kakak, aku cuman mau kakak bantuin aku buat usir preman-preman yang setiap hari ngejar aku," mohon Stefy.
Mata Stefy seperti kehilangan arah, dia menatap Afka seakan laki-laki itu adalah pertahanan terakhirnya. Seakan tidak ada jalan yang yang bisa gadis itu tempuh selain meminta tolong kepadanya. Hal itu mengingatkan Afka akan seseorang di masa lalunya.