-o0o-
David menelan air keran yang sudah ia tampung di kedua telapak tangannya, kemudian menghela nafas. Haus dan laparnya sama sekali tak bisa hilang hanya dengan minum satu tenengadahan tangan. David menyalakan keran air lagi, membiarkan airnya mengalir deras, lantas ia membuka mulutnya lebar-lebar untuk menenggak habis air tersebut hingga perutnya terganjal. Namun yang ia dapatkan ialah rasa mual yang menggerayangi perut kosongnya.
Buru-buru David mematikan keran dan menopang tubuhnya pada pilar rumah megah para bandit yang seolah ingin membunuhnya secara perlahan. Ia menutup mulutnya dengan sebelah tangan, berusaha menahan apapun yang akan keluar dari kerongkongannya. Tunggu, 'apapun'? Bahkan tak ada yang masuk ke perutnya kecuali air keran yang rasanya seperti karat besi.
"Harusnya aku ditembak mati saja sedari awal," lirih David dengan bibir bergetar. Ia kedinginan dan kelaparan. Seluruh tubuhnya memar. Bahkan 1 gigi graham belakangnya lepas karena tonjokan Chad yang begitu kuat.
Kenapa ia harus hidup seperti ini? Dipikirnya, walau ia diberi kesempatan oleh para bandit, hidupnya takkan sesial ini. Kalau boleh memilih pun, David lebih memilih hidup seperti dulu yang hanya tau alkohol, game online, pizza, uang yang dicairkan dari asuransi, makanan ringan dan rokok. Meskipun seperti tanpa arah dan membosankan, David merasa itu lebih baik dibanding harus selalu menyembah sujud kaki bandit-bandit yang bahkan membuang abu rokoknya di tubuh David.
Ia harus kabur.
Iya, sejak awal ia berada di antara mereka, David sudah berkali-kali memikirkan rencana melarikan diri dari apapun nama rumah penyiksaan ini. Ia pun sudah berkali-kali melancarkan aksinya yang berakhir kaki Bianca yang menginjak wajahnya, atau tangan Elvis di lehernya, atau lutut Chad di tulang rusuknya. Rupanya, David masih harus menyusun rencana yang lebih rapi lagi.
Usai merasa perutnya lebih baik, David mulai berjalan gontai menuju teras rumah penyiksaan itu. Akan tetapi, pandangannya kian lama kian buram meski ia sudah mengucek matanya berulang kali. Ia berhenti sejenak, mendongakkan kepalanya, mencoba mencari letak pintu yang jaraknya tinggal sedikit lagi. Namun justru yang tertangkap oleh matanya ialah postur tinggi ramping seorang wanita berambut panjang dengan kacamata yang wajahnya terlihat gusar.
"Ah, kau..." David kenal wanita itu. Arianne memang wanita bandit yang tak pernah menyentuh dirinya sama sekali kecuali untuk memberi bantuan. Dia manis dan cantik dalam satu waktu, terlihat cerdas dengan buku yang selalu dibawanya. Bahkan wanita itu kini membalas tatapannya seraya memperbaiki letak kacamata diiringi hembusan nafas yang terdengar berat.
"Hey, mau pergi jalan-jalan denganku sebentar?" Tanya Arianne. David tersenyum tipis.
BRUKK
Dan ia tumbang.
Arianne sontak terperangah kemudian buru-buru menghampiri David yang sudah berada di ambang kesadaran. "David! Daviidd!!" teriaknya, menepuk-nepuk pipi David agar pria itu tidak hilang kesadaran. Sebab ia tak tau apa yang akan terjadi pada David apabila pria itu jatuh pingsan. Lebih tepatnya, Arianne tak tau apa yang akan ketiga partnernya lakukan pada David yang malang.
David mengerjap-ngerjapkan matanya berulang kali tetapi matanya terasa amat berat. Ia menarik nafas sebanyak-banyaknya sebelum akhirnya ia tercekat begitu melihat 3 sosok yang ikut menghampirinya, berdiri mengitari tubuhnya dengan bibir melengkung kebawah dengan mata angkuh.
"Kenapa dia? Sekarat?" tanya Bianca sambil bersedekap dada. Arianne menatap marah Bianca. "Bukankah sudah jelas dia sedang tidak baik-baik saja?! Bantu aku membopong tubuhnya!" pekiknya kesal.
Elvis mendengus. "Bagaimana mau mengangkat tubuhnya kalau dia saja kejang-kejang begitu," timpalnya acuh tak acuh. Sedangkan Chad tertawa dengan mata mengerling nakal. "Aku tau cara mudahnya."
BUGH
"CHAD!! KENAPA KAMU MENENDANG WAJAHNYA?!" Teriak Arianne histeris yang di sambut dengan wajah tak berdosa Chad dan tawa dari Bianca juga Elvis. "Agar dia diam," balas Chad ringan.
Arianne mengguncang tubuh David yang sudah lemas tak sadarkan diri. Ia mengerang frustasi, tak percaya apa yang para partnernya telah lakukan dan malah tertawa seolah baru saja menginjak kecoak. Lalu, ia merasa tubuhnya sudah terjerembab berkat Bianca yang menggeser tubuh Arianne dengan kaki.
"Ayo bawa cecunguk ini ke dalam," perintah Bianca, menarik kaki David dan membiarkan tubuh pria itu terseret diatas rerumputan.
Chad geleng-geleng kepala. "Wanita barbar."
"Kamu harus belajar dari dia, Anne," celetuk Elvis pada Arianne yang masih terperangah. Arianne mencengkram rerumputan dengan kedua tangannya, kemudian melemparnya pada Chad dan Elvis. "Biadab!"
Chad berjongkok, mengangkat dagu Arianne dengan sebelah tangannya. Ia pandangi sejenak wajah marah itu, lantas tersenyum miring. "Selalu ingat dimana kamu berada, Anne," katanya. "Jangan berlagak seolah kamu tak pernah terlibat atas kematian orang lain. Kenapa? Teringat masa lalu? Apa aku harus menghidupkan orang tuamu dahulu agar kamu bisa memohon belas kasih untuk dirimu sendiri?"
•▪•
David mengerjapkan kedua matanya. Begitu bangun, yang pertama kali ia lihat ialah langit-langit kamar dan tentu sama 4 bandit yang tengah menatapnya. "Oh hey dia bangun," cetus Bianca yang langsung saja mengapit kedua sisi wajah David agar mulut pria itu terbuka. Beberapa detik kemudian, Elvis dengan sigap langsung memasukkan obat tablet ke mulut David tanpa aba-aba hingga David sontak bangkit dari tidurnya dengan terbatuk-batuk. "uhuk uhuk... i-ini apa..? uhuk.."
"Obat mag," balas Elvis ringan, sementara Arianne memberikan segelas air pada David tetapi tak berkata apapun. Melihat itu, Chad sedikit kesal. Ia dengan sengaja menyenggol tangan Arianne sehingga air tersebut tumpah membasahi tubuh David yang juga penuh keringat. "Ups."
"Chad!" tukas Arianne.
"Apa?"
"Hey hey!" Bianca bersedekap dada. "Aku sudah mengambil keputusan."
"Oh sepihak lagi?!" protes Chad.
"Aku dan kita semua tidak akan memperlakukannya seperti kecoak lagi," jelas Bianca tanpa memedulikan Chad dan Elvis yang ternganga. Sementara Arianne menyungging senyum tipis. "Ayo kita perlakukan anggota baru kita selayaknya anjing peliharaan."
"PFFTTT"
•▪•
Seorang wanita masih terisak-isak di tempatnya sembari mencoba menunjukkan foto dari layar handphone nya yang berisi dirinya dan seorang pria sedang berpose sedemikian rupa layaknya sepasang kekasih.
"I see," ujar seorang pria dengan lencena kepolisian di topi nya. Ia meraih handphone wanita tadi untuk mengamati foto yang ditunjukkan. "Jadi kau bilang pacarmu menghilang tanpa jejak, Nona Kimberly? Sudah berapa lama?" tanya nya, mengembalikan handphone tersebut.
Dengan sesenggukan, Kimberly berkata, "Sudah nyaris seminggu. Aku tak bisa menghubungi nomor ponselnya dan dia pun tinggal sendirian di apartement nya. Aku sudah mencari ke tempat-tempat yang memungkinkan dia berada, tapi nihil," kata Kimberly, berusaha untuk tetap menjelaskan kondisi pacarnya walau tenggorokannya terasa mencekat.
Tanpa diduga, polisi paruh baya itu terkekeh, mengusap sudut matanya seolah pengakuan Kimberly adalah sesuatu yang lucu. "Kau yakin ini bukan usahanya untuk mengakhiri hubungan kalian? Mungkin kau terlalu posesif atau-"
"Apa?!" Kimberly mengerutkan keningnya tak terima. Ia menatap tajam tanpa memedulikan jabatan apa yang dimiliki pria paruh baya dengan kumis tebal tersebut. "Bisa kau ulangi perkataanmu, tuan?"
"Hahh.. aku tak habis pikir. Nona, aku rasa kau perlu menjaga etika mu sebelum kau menjaga hubunganmu."
"APA?!" Sontak Kimberly bangkit berdiri dengan mata sembab yang makin tajam, membuat pria kumis tebal sedikit terkejut. "Kau-" Ketika baru saja Kimberly hendak menunjuk wajah pria kumis tebal dengan telunjuknya, seketika seorang pria lain tiba-tiba datang dan memotong ucapannya. "Hey, cukup," potongnya.
Kimberly baru saja akan menatap marah pada pria maskulin bernametag Jackob Halburt itu kalau saja Jackob tidak bersedekap dada sembari berujar pada pria kumis, "Sebaiknya kau yang jaga etikamu, pak. Dia kemari bukan tanpa alasan," Jackob kini memandang Kimberly dengan senyum ramah di bibirnya. "Benar?"
Kimberly tersenyum sumringah. Ia balik memandamg penuh harap pada Jackob sambil mengangguk cepat. Sementara Jackob mulai merentangkan tangannya seolah memberi jalan untuk Kimberly. "Lewat sini, nona."
Usai memastikan Kimberly telah berada disampingnya, Jackob sedikit membungkukkan tubuhnya pada pria kumis tebal pertanda hormat, lalu ikut berjalan beriringan dengan wanita harum strawberry itu. "Jadi, apa masalahmu?" tanya Jackob dengan nada sopan, membuat Kimberly merasa gugup ketika menjawabnya. "Pacarku menghilang sekitar hampir seminggu dan aku tidak bisa mencarinya kemana pun," jawab Kimberly, ia kembali mengeluarkan handphonenya yang sudah berisi foto ia dengan kekasihnya. "Foto ini terakhir kali di ambil tepat sehari sebelum ia menghilang, aku harap ini bisa membantu," tambahnya.
Jackob meraih handphone Kimberly sebelum akhirnya ia terbelalak dengan rahang yang jatuh. Ia menelan saliva nya. "David Earnest...?"