Esoknya Lisa berangkat kerja dengan menggunakan transportasi umum andalannya – Busway. Pagi itu lumayan padat, tidak seperti dua hari yang lalu. Satu per satu, para penumpang yang sedari tadi menunggu masuk melalui pintu gerbang halte dengan berdesakan. Lisa yang tengah menggenggam pegangan bis tiba – tiba saja tersandung kaki salah satu penumpang yang berdesakan.
"Sial", batinnya kesal melihat sepatu hak tinggi hitamnya tergores.
Seharusnya Lisa diantar dan dijemput oleh Dani Sihotang, sang asisten pribadi sekaligus pengawal Oscar. Terlebih sejak Lisa hamil, Oscar semakin protektif terhadap keselamatan dan kesehatan sekretaris pribadinya itu.
Tetapi Lisa lebih memilih untuk naik kendaraan umum untuk mengurangi macet dan polusi, juga menghindari kecurigaan dari Ibunya. Bisa berabe nantinya jika Ibunya tahu dirinya diantar jemput oleh seorang asisten bertubuh kekar dan berwajah sangar mirip tukang pukul.
Busway itu sangat penuh sesak. Hampir tidak ada ruang antara penumpang satu dengan yang lain. Lisa terhimpit oleh seorang ibu – ibu bertubuh gemuk dan seorang pria paruh baya bertubuh sedang. Keringat mulai mengucur dari pelipis Lisa. Sampai di kantor pasti riasan Lisa mulai belepotan terkena keringat! Seketika Ia menyesali pilihannya untuk naik busway daripada dijemput Dani.
Perjalanan dari halte menuju gedung Petersson Communication masih kurang setengah jam lagi. Lisa sudah lelah menopang tubuhnya berdiri di dalam busway sambil menggenggam pegangan bis. Kakinya sudah mulai nyeri berdiri lama menggunakan sepatu hak tinggi. Ibu – ibu bertubuh gemuk yang menghimpitnya semakin menjepit tubuh langsingnya hingga sesak. Lisa menarik napas panjang dan menghembuskannya kencang – kencang. Lisa berharap agar dirinya tidak pingsan sebelum sampai!
Lisa menundukkan kepalanya sejenak, mengangkatnya perlahan – lahan dan mendapati seorang pria yang tampak tidak asing berdiri sekitar dua meter dari tempatnya sekarang. Pria itu sedang menatap lurus ke salah satu jendela busway dengan tatapan kosong. Tubuh kurus dan rambut putih yang nyaris botak langsung memantik ingatan Lisa yang paling menyakitkan.
"Oh tidak, kenapa ayah ada di sini!?" ucapnya dalam hati, kaget dan geram.
Lisa mengalihkan pandangannya dengan cepat. Ia tidak ingin ayahnya itu melihatnya di dalam kendaraan yang sama. Jantungnya mulai berdebar – debar sangat kencang. Sosok kejam dan tidak berperasaan ayahnya itu semakin membuat Lisa ingin menghajar pria tua bangka yang jelek itu. Namun, demi menjaga ketenangan dan keamanan penumpang lain, Lisa memilih untuk memunggunginya dan pura – pura tidak melihat sosok pria tua itu.
"Ayolaaaaah cepat sampai! Gue sudah nggak tahan lagi!" gumamnya sudah tidak sabar untuk segera meninggalkan bis sesak itu,
Satu jam setengah akhirnya Lisa sampai di halte bus dekat kantor. Lisa langsung bergegas menyeberangi jembatan penyeberangan dan memasuki area perkantoran. Sepatu hak tingginya lecet. Seharusnya ia mengenakan sneakers baru berganti sesampainya di kantor.
Memasuki gedung perkantoran, seperti biasanya, Lisa disambut oleh derai cercaan dan salam sapa. Ia berjalan tergesa – gesa menuju lift sebelum 5 menit terhitung terlambat.
Ditekannya tombol naik lift itu dengan cepat. Keringat bercucuran dari dahinya, napasnya terengah – engah.
Pagi itu Oscar belum datang di ruangannya. Padahal ia selalu datang lebih awal daripada Lisa. Entah apa yang membuat Pria itu terlambat. Mungkin macet, pikir Lisa. Sembari menunggu presdirnya datang, Lisa menyalakan komputer dan mengeluarkan map besar berisi lembaran kertas berjilid – jilid.
Selang beberapa menit, Oscar melangkah masuk dengan terburu – buru. Kali ini Ia tidak mengenakan jas. Puji Tuhan dan segala ciptaannya, makhluk berambut pirang berkilau ini semakin hari semakin menawan saja ucap Lisa dalam benaknya. Bagaimana tidak, tubuh atletis pria itu dibalut dengan turtleneck biru tua yang menampakkan siluet otot kencangnya, dipadu dengan celana abu – abu kain serasi.
Lama Lisa menatap tubuh indah pria itu dari tempatnya duduk dengan takjub. Sepercik hasrat untuk menyentuh dada bidang pria itu muncul dari benaknya "Oh biarkan aku memijat lengan kokohmu Oscar," ucapnya dalam hati. Wanita itu menelan ludah.
Dari tempat duduknya, Oscar menoleh dan bertatapan dengan Lisa yang masih bengong. Pria itu melemparkan senyum menggoda kepada Lisa.
Sontak Lisa sadar dari lamunannya. "Maafkan saya Pak, saya sedang –" belum selesai bicara, Oscar sudah menyela Lisa.
"Memandangi tubuh saya yang indah?" selanya dengan percaya diri. Bibir penuhnya yang menggoda tersungging.
"Ah anda terlalu percaya diri Pak!" dengus Lisa, malu karena ketahuan.
"Ayolah, sudah sebulan kamu bekerja dengan saya tentu saja saya tahu kamu!"
Wanita itu langsung memalingkan wajah dan kembali bergelut dengan layar komputernya. Tumpukan kertas di mejanya membuat jantungnya berdebar – debar. Bakal pulang malam lagi hari ini, pikirnya.
Siang menjelang sore, Lisa masih berkutat dengan agenda dan komputernya. Pekerjaannya mencatat daftar korespondensi belum juga selesai. Lisa tiba – tiba menghela napas, tangannya berhenti mengetik dan memijat pelipisnya. Semenjak hamil, kinerja Lisa semakin menurun.
Oscar melihatnya tampak lesu kemudian berkata, "Lisa, kenapa kamu tidak Istirahat saja dahulu? Kamu kan sedang hamil. Nanti kalau jatuh sakit kan kasian anak yang ada di kandunganmu?"
"Tapi daftarnya belum selesai pak?" tanya Lisa dengan lemas.
Mendengar intonasi bicara Lisa yang lemas, Oscar menatapnya dengan ekspresi khawatir. "Sudahlah, kau makan dulu sana. Lepas makan kamu balik lagi kemari dan beristirahatlah. Tidak masalah dengan saya."
"Baik, saya permisi ke kantin dahulu.."
Sesaat setelah Lisa pergi turun ke kantin di lantai dasar, Oscar memanggil Dani untuk segera ke ruangannya. Pria tinggi bertubuh kekar itu kemudian melangkah masuk. Langkahnya sangat berat, bahkan getaran dari langkahnya terasa hingga keluar ruangan.
"Anda memanggil saya Pak Oscar?" tanya si raksasa sopan.
Oscar bertopang dagu dengan tatapan serius. Punggungnya agak condong ke depan. "Aku ingin kau terus memantau Lisa. Jangan sampai ia dicelakai oleh rekan kerja yang lain!"
Si raksasa berjas hitam itu mengangguk paham tanpa mengucapkan sepatah kata apapun kemudian meninggalkan ruangan itu dengan segera