Nana berdiri nggak jauh dari tempat kami. Dengan penuh semangat dia menghampiri kami.
"Sori ya, aku telat. Jakarta macet. Sama aja kaya Bandung," katanya.
"Ini dia yang kita tunggu baru nongol. Sampe-sampe gue selesai belanja."
"Kamu belanja apa, Re?"
Aku menunjuk keranjang belanjaanku. "Lo sendiri aja? Suami lo mana?"
"Wait. Maksudnya Nana juga udah merit?" tanya Boni tampak syok lagi.
Aku meringis, sedangkan Nana nyengir seraya menagkupkan kedua tangannya ke depan dada.
"Kalian ini bener-bener ya! Pada nggak anggap aku teman ya?!"
"Bon, Bon. Sori. Gue beneran sori banget. Pernikahanku emang nggak dirayain. Nggak ngundang-ngundang siapa-siapa juga. Jadi please, bukan cuma kamu yang nggak diundang. Rea juga nggak kok."
Aku mengedikkan bahu, mendengar Nana menjelaskan itu pada Boni.
"Nggak. Aku beneran marah sama kalian."
"Lah kok gue juga? Kan tadi bahasan soal gue udah selesai," protesku tak terima.