Perlahan Erwin melangkahkan kakinya, menatap dengan lekat luaran dari rumah itu. Dengan garis polisi yang masih terpampang, ia memasuki halaman rumah itu. Menaiki anak tangga satu persatu, hingga kini ia tepat di depan pintu utama rumah itu. Ia menghela napas panjang dan ia kembali mengingat cerita dari ketua RW. yang ia temui tadi.
Flashback
Erwin meneguk secangkir teh yang ada di hadapannya. Ia kembali menaruh cangkir itu dengan perlahan.
"Jadi, bisakah Pak Agung ceritakan kisah tentang rumah itu?" tanya Erwin yang sudah tidak sabaran.
"Jadi begini Nak, rumah itu dibangun sekitar tahun 1980an. Awalnya rumah itu seperti rumah biasa, aman, damai, dan tenteram. Tiga tahun kemudian, sang pemilik rumah yang merupakan pasangan pengantin muda itu memiliki seorang anak laki-laki. Karena sibuk dengan urusan pekerjaan, mereka memutuskan untuk menyewa seorang baby sitter."
"Lalu, apa yang terjadi setelah itu?" Erwin semakin penasaran dengan cerita yang di sampaikan Pak Agung sang ketua RW.
"Semuanya berjalan dengan normal, hingga suatu ketika bayi laki-laki yang berusia lima tahun itu mulai melakukan hal aneh ...." Sebelum melanjutkan ceritanya, Pak Agung meneguk secangkir teh.
"Hal aneh? Maksudnya apa?" Erwin mengerenyitkan dahinya, ia tak mengerti dengan ucapan Pak Agung.
"Anak itu sering berbicara sendiri," ucap Pak Agung yang membuat Erwin memutar otaknya.
"Maksudnya, anak kecil itu kurang waras?" Dengan polosnya Erwin mencoba untuk memastikan apa yang ada di pikirannya.
"Bukan Nak, anak kecil usia lima tahun itu wajar jika berbicara sendiri. Mereka sering bermain sendiri, karena mereka punya teman khayalan."
"Lalu, yang Pak Agung maksud aneh itu di mana?"
"Dia sering mengajak teman khayalannya, untuk bermain dengan teman sebayanya."
"Ah, tapi anak sekecil itu mana mungkin bisa?" ucap Erwin yang masih bingung dengan cerita ketua RW itu.
"Mungkin memang sulit untuk dimengerti, tapi itulah kenyataannya. Dan dari sini pembantaian itu di mulai." Pak Agung menatap Erwin yang masih setia mendengarkan ceritanya.
"Suatu ketika, terjadi perampokan di rumah itu, pemilik rumah sedang bekerja. Yang ada hanya anak laki-laki itu dan juga baby sitternya. Perampokan yang terjadi membuat kegaduhan, sang baby sitter mengetahui adanya perampok. Dan kejadiannya begitu singkat, wanita itu tewas ditikam sang perampok."
Erwin terlihat tak percaya dengan cerita itu, ia sedikit membuka mulutnya. Hingga akhirnya ia kembali menatap Pak Agung saat pria paruh baya itu melanjutkan perkataannya.
"Dan kamu boleh percaya atau tidak, di rumah itu tidak ditemukan anak kecil yang sedang ia asuh," lanjutnya lagi.
"Kemana? Apa dia diculik perampok itu?"
"Sayangnya tidak ada yang tahu sampai sekarang, karena perampoknya langsung ditangkap setelah tiga hari kejadian itu. Ibu dari wanita yang tewas itu tak terima, ia pun marah-marah dan menangis histeris, melihat anak gadis satu-satunya tewas mengenaskan."
"Lalu, apa anak itu kembali lagi ke rumah itu?" Erwin benar-benar penasaran kali ini.
"Iya, setelah keadaan tenang, anak itu ditemukan sedang bermain sendiri di sebuah gubuk kecil di belakang rumahnya. Ia ditemukan oleh seorang pembantu yang sedang memotong rumput, betapa senangnya kedua orang tua yang telah kehilangan anak semata wayangnya itu. Namun, semuanya belum selesai sampai di situ."
Erwin menatap lekat ke arah Pak Agung, ia menunggu kelanjutan dari ceritanya.
"Dua minggu setelah kejadian itu, tiba-tiba saja terjadi keributan di dalam rumah. Dan kamu tahu? Seisi rumah itu tewas secara mengenaskan, semua mayatnya tidak ada yang utuh," lanjutnya.
"Tidak utuh? Apa pembunuhnya seorang psikopat?" Erwin merasa geram mendengar hal itu, ia terlihat mengepalkan kedua tangannya.
"Mungkin, tapi anehnya, tidak ada satu pun polisi maupun warga yang melihat mayat bayi laki-laki. Semua mayat yang ada di rumah itu adalah orang dewasa, dua orang pemilik rumah itu dan tiga orang pembantunya." Pak Agung hampir kembali meneguk tehnya, sebelum Erwin kembali bertanya.
"Bapak, tidak mengada-ada tentang cerita ini, 'kan?"
"Tidak, saya sudah ada di sini sebelum rumah itu dibangun!" tegas Pak Agung.
"Lalu, apa hubungannya dengan kutukan rumah itu?"
"Setelah kejadian itu, rumah megah itu pun dilelangkan oleh pihak keluarga. Tak ada yang curiga, setelah ada satu keluarga yang mulai mengisi rumah itu, barulah terjadi keanehan yang di luar nalar. Mereka sering mendapatkan gangguan-gangguan dari makhluk astral, tapi sayangnya, sebelum mereka benar-benar pindah, mereka akan tewas mengenaskan," jelas Pak Agung.
"Apa, hal itu yang membuat rumah itu tak lagi dihuni?"
"Itu salah satunya, sudah beberapa kali kejadian itu terjadi. Setiap pemilik rumah pasti akan tewas secara mengenaskan, seperti halnya korban yang kemarin itu," ucapnya.
"Aku penasaran dengan anak kecil itu, kemana dia pergi?" Erwin menatap Pak Agung dengan tatapan yang penuh tanya.
"Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang pernah melihatnya lagi."
Erwin hanya menghela napas berat setelah mendengar cerita itu. Ia pun kembali meneguk teh yang sudah dingin.
Flashback end
Erwin yang sudah masuk ke rumah itu, mulai merasakan aura yang aneh. Ia melihat ke arah sekeliling rumah, sampai sesuatu terdengar dan membuatnya menoleh dengan cepat.
Kriett
Suara pintu terbuka membuat pria itu penasaran dan mulai menghampiri sumber suara. Ternyata, suara itu berasal dari pintu dapur yang tertiup angin. Kamar mandi yang tersegel oleh garis polisi itu membuat Erwin menatapnya lekat.
Tap ... Tap ... Tap
Suara langkah kaki yang ringan membuat fokus Erwin teralihkan, ia pun keluar dari dapur dan pergi menuju kamar utama di lantai dua. Tak ada apa pun di sana, ia hanya bisa menghela napas.
Ia segera pergi dari rumah itu dan kembali ke apartemen Rio. Di sana, Rio tengah duduk sendirian di ruang tengah dengan ponsel di tangannya, ia menatap Erwin yang baru saja masuk ke dalam rumahnya. Ia balik menatap Rio lalu menghampirinya yang menatapnya dengan intens.
"Kenapa Kakak masih belum tidur? Ini sudah tengah malam."
"Aku sedang menunggumu," jawab Rio dengan singkat.
"Baru pergi sebentar saja, Kakak sudah seperti ini." Erwin berjalan ke arah dapur, dan diikuti oleh Rio.
“Kamu pergi lagi ke rumah itu? Bukankah tadi pagi kita sudah ke sana?” ujar Rio.
Iya sesuai janji, tadi pagi Rio dan Erwin pergi ke rumah itu. Namun, karena Erwin yang merasa kurang puas itu pun kembali mengunjungi tempat itu setelah Meghan mengatakan akan tinggal di sana untuk sementara.
“Aku hanya penasaran, lalu tadi sebelum masuk aku bertemu dengan ketua RW di sana. Ia menceritakan semuanya tentang asal usul rumah itu,” jelasnya hingga membuat Rio mengerenyitkan dahinya.
“Apa yang dia katakan?”
“Ya, sesuatu seperti penampakan,” ujarnya beralibi, sembari meneguk air putih yang baru saja ia tuangkan ke dalam gelas.
"Lalu bagaimana dengan kedua gadis itu? Kamu serius, membiarkan mereka tinggal di rumah itu?" tanya Rio.
"Itu yang sedang aku pikirkan sekarang, tapi dari pada itu, aku lebih penasaran cerita di balik rumah angker tersebut." Erwin menatap Rio dengan serius, sedangkan Rio hanya bisa mengerenyitkan dahinya tanda tak mengerti.
“Ayolah Erwin, kita harus fokus pada opinimu. Apa rumah itu mencari tumbal atau hanya kebetulan semata,” ujar Rio.
“Baiklah-baiklah, aku tidak akan membiarkan mereka untuk tinggal di rumah itu … tapi, ijinkan aku untuk kembali lagi ke sana.”
“Erwin, apa lagi yang ingin kamu cari?”
“Tentu saja aku harus tahu tentang penghuni di sana, siapa pemilik rumah itu sebelumnya.”
“Jangan jadikan ini sebagai mainanmu Erwin, ini masalah serius.” Rio benar-benar tak mengerti dengan pola pikir adik angkatnya itu.
“Aku tahu, tapi untuk mencari hal itu aku butuh waktu. Jadi, tolong biarkan aku melakukan sesuatu yang seharusnya aku lakukan,” ucapnya dengan tegas. Ia pun berjalan ke arah kamarnya dan meninggalkan Rio sendirian.
Rio hanya menarik napasnya panjang. Entah kenapa, ia merasa masalah akan segera datang menghampiri. “Aku sedikit menyesal mengajakmu menyelesaikan masalah ini, Erwin,” gumamnya.
…..
To be continued …
Meghan dan Reva mulai memasuki rumah mereka, ingatan demi ingatan di mana Meghan menemukan kedua orang tuanya meninggal secara tragis kembali muncul. Meskipun ia sudah diperingatkan untuk tidak kembali ke sana, tapi hatinya tetap ingin kembali ke tempat di mana kedua orang tuanya terbunuh. Hatinya sesak sesaat setelah ingatan itu mulai menghantuinya. Dengan napas berat, Meghan berusaha untuk tetap terlihat tegar di depan adiknya.
“Kak, bukankah kita dilarang untuk kembali ke rumah ini?” tanya Reva dengan tatapan yang terlihat sedikit ketakutan.
Meghan hanya bisa terdiam, ia tidak bisa menjawab pertanyaan dari adiknya. Sebenarnya, gadis itu juga tidak tahu kenapa ia bisa memutuskan untuk kembali ke rumah itu.
“Kenapa Kakak diam?”
“Ah, tidak apa-apa. Ayo, kita masuk!” ajaknya.
Mereka mulai melangkahkan kaki memasuki rumah kosong itu, tanpa sepengetahuan Erwin. Sunyi senyap, tak ada suara apa pun di sana. Hingga membuat bulu kuduk merinding.
"Kak, aku takut," ucap gadis kecil yang masih berusia tiga belas tahun itu.
"Jangan takut, ada kakak di sini." Meghan berusaha menenangkan adiknya, meskipun dalam hatinya ia juga merasakan hal yang sama.
"Tapi, cerita orang-orang itu bohong, 'kan? Rumah ini tidak berhantu, 'kan?" Pertanyaan yang membuat Meghan terdiam untuk seketika, hingga ia memberikan senyuman terbaiknya.
"Itu hanya cerita orang, jangan percaya pada hal seperti itu," ucapnya.
Mereka tak menyadari adanya sesosok wanita yang kini tengah memperhatikan dengan wajah mengerikan dan juga pakaian yang lusuh. Meghan membuka pintu kamarnya. Reva yang terus memegang tangan Meghan merapatkan tubuhnya, angin yang tiba-tiba berhembus dengan pelan memberikan suasana dingin.
"Kak, kita akan tidur di mana nanti?" Reva memandang Meghan.
“Setelah ini, kita akan mencari kontrakan. Jadi, kamu tidak perlu khawatir,” ujarnya.
Mendengar hal itu, Reva hanya menganggukkan kepalanya. Ia duduk di pinggiran kasur yang terlihat sudah bersih. Mengusapnya dengan lembut, dan tak terasa air mata membasahi kedua pipinya.
"Kakak kenapa? Kok nangis?" tanya gadis kecil yang kini tengah duduk memperhatikan dirinya.
Meghan mengusap air matanya yang turun. "Kakak hanya rindu papah dan mamah."
"Aku juga rindu mereka Kak, kalau tidak ada mereka, siapa yang akan mengurus kita?" ucap gadis kecil itu.
"Tenanglah, ada kakak di sini. Kakak yakin, kita akan baik-baik saja." Meghan berusaha untuk tersenyum, mencoba agar adik satu-satunya itu tidak bersedih lagi.
"Kenapa semuanya membenci kita Kak? Apa salah kita pada mereka?" Reva menatap Meghan dengan penuh tanya, sebuah tatapan yang membuat batin Meghan tercekat.
"Mereka tidak membenci kita, tidak ada yang membenci kita." Meghan mengelus lembut rambut Reva, hingga membuat gadis itu memeluk wanita yang duduk di sampingnya.
.....
Erwin dan Rio tengah berada di sebuah rumah sakit, menunggu hasil otopsi kedua orang tua Meghan. Kemudian seorang dokter keluar menemui mereka.
"Bagaimana dokter?" tanya Erwin secara langsung.
"Mari ikut saya, Pak," ajak dokter itu, mereka pun berjalan menuju ruangannya.
"Jadi, bagaimana dok?" tanya Erwin sambil duduk di kursi depan dokter pria itu.
"Seperti yang telah saya amati kemarin malam, kedua korban bukanlah korban pembunuhan." Dokter pria yang bernama Rendra itu menghela napas panjang.
"Bukan korban pembunuhan?" Rio mengerenyitkan dahinya, tak percaya dengan ucapan Rendra.
"Mereka bunuh diri, entah karena stres atau apa, tapi dilihat dari sidik jari pisau yang ada di lokasi kejadian itu sangat cocok dengan sidik jari korban," jelasnya lagi.
"Tapi, kenapa mereka bisa bunuh diri?" Kini Erwin yang tak percaya dengan ucapan Rendra, pasalnya dari introgasi kemarin Erwin tak mendengar korban mengalami stres atau apa pun itu.
"Bisa saja pemicunya dari tekanan keluarga atau ada dalam pekerjaan, hingga membuat pikiran stres dan itu bisa jadi beban," jelas Rendra.
Erwin tak banyak bicara, ia hanya bingung dengan kasus yang kini tengah ditanganinya. Kini mereka meninggalkan rumah sakit, Rio menatap Erwin dengan tatapan intens. “Bagaimana menurutmu? Apa kamu percaya pada yang dikatakan dokter Rendra?” tanya Rio.
Erwin memberhentikan langkahnya, ia balik menatap Rio dengan tatapan santainya. “Kak, bukankah aku sudah jelaskan. Kalau mereka itu ditumbalkan, bukan bunuh diri.”
“Tapi Erwin, kalau mereka ditumbalkan seharusnya kedua orang itu mengalami sakit terlebih dahulu.”
Erwin nampak berpikir, perkataan Rio memang ada benarnya. Jika mereka ditumbalkan, maka seharusnya kedua orang tua Meghan akan sakit parah beberapa hari sebelumnya.
“Di mana wajah yakinmu kemarin itu? Yang mengatakan kalau kedua orang itu dibunuh makhluk halus?” tanya Rio dengan nada ledekan.
“Ayolah, Kakak juga percaya akan hal itu bukan? Aku akan tetap mencari tahu tentang hal ini, jadi Kakak tidak perlu khawatir.” Erwin menepuk pundak Rio, lalu meninggalkannya dengan sebuah senyuman.
Mario hanya bisa memandang Erwin, ia tidak bisa membiarkan adiknya itu masuk lebih dalam.
......
Waktu menunjukkan pukul tiga sore, Reva tertidur dengan lelap di kamar Meghan. Ia pun meninggalkan gadis itu agar tak mengganggu tidur adiknya.
Ia berjalan menuju dapur, mencari bahan makanan untuk dimasak. Tak ada bahan makanan apa pun di dalam kulkas, hanya sebutir telur yang bisa ia temukan. Sejenak ia mengingat kembali kejadian di mana ia menemukan kedua orang tuanya yang tak bernyawa, hingga tanpa sadar suara langkah kaki mengagetkannya. Ia menoleh ke arah sumber suara, mencoba untuk mencari pemilik suara kaki itu.
"Reva? Kamu sudah bangun?" Meghan keluar perlahan dari dapur, sayang ia tak menemukan siapa pun di sana.
Kini langkah kaki itu terdengar di dalam dapur, dengan perasaan takut ia mencoba memberanikan diri untuk menoleh kembali ke arah dapur. Namun, lagi-lagi tak ada apa pun di dalam sana. Meghan menelan ludahnya, bulu kuduk yang tiba-tiba merinding. Hingga sesuatu terdengar walau sedikit samar, tapi masih bisa Meghan dengar.
"Kalian akan mati!"
Sontak Meghan ketakutan, telur yang sedang ia pegang pun terjatuh dan pecah.
"Si-siapa di sana? Cepat keluar!" Dengan napas yang memburu, Meghan menoleh kesana kemari mencari sumber suara, tapi anehnya suara itu tak bisa di temukan.
Tiba-tiba suara langkah kaki itu terdengar kembali, kini suara itu semakin jelas dan semakin mendekat. Meghan langsung memegang sebuah pisau yang ada di dapurnya itu. Hingga suara anak kecil kembali mengagetkannya.
"Kakak? Kenapa membawa pisau seperti itu?" tanya Reva yang kini tengah memandangnya dengan heran.
"A-ah, kamu sudah bangun?" ucap Meghan dengan sedikit gelagapan akibat ketakutan yang tadi dialaminya.
"Aku bangun karena mendengar Kakak berteriak tadi, memang ada apa?"
"Oh, tadi ada tikus, jadi kakak usir, hehe," jawab Meghan.
Reva menatap wajah kakaknya itu. "Oh iya Kak, tadi aku mimpi aneh, aku bertemu dengan seorang perempuan. Dia seolah bicara padaku, katanya 'ayo ikut aku', begitu."
Mendengar ucapan adiknya, gadis yang masih dua puluh tahun itu terlihat terkejut. "Itu hanya sebuah mimpi, jangan percaya pada bunga tidur seperti itu." Meghan mengelus kepala adiknya dengan memberikan senyuman padanya.
"Aku juga tidak percaya pada hal seperti itu," ucap Reva balas tersenyum pada Meghan.
Meskipun dalam hatinya terdapat kerisauan, ia mencoba untuk tak menampakkannya pada Reva. Apalagi dengan kejadian yang baru saja ia alami.
Di balik sebuah pintu kamar yang sedikit terbuka, terlihat sosok wanita dengan darah memenuhi wajahnya yang rusak, tengah memperhatikan mereka dengan seringai yang menakutkan.
…..
To be continued …
ความคิดเห็นย่อย
คุณลักษณะความคิดเห็นย่อหน้าอยู่ในขณะนี้บนเว็บ! เลื่อนเมาส์ไปที่ย่อหน้าใดก็ได้แล้วคลิกไอคอนเพื่อเพิ่มความคิดเห็นของคุณ
นอกจากนี้คุณสามารถปิด / เปิดได้ตลอดเวลาในการตั้งค่า
เข้าใจแล้ว