Asmaraga kembali menemui Menyawak di kediamannya yang terletak di pinggir sungai Citarum pada malam hari.
"Bagaimana persidangannya, Raden?" tanya Menyawak.
Asmaraga hanya terdiam menatap sayu kepada menyawak.
"Maaf, aku tidak mampu menolong anak buahmu," sesal Asmaraga.
Menyawak tertunduk lesu mendengar jawaban Asmaraga. Matanya berkaca-kaca.
"Yang benar saja, Raden?"
"Aku tidak bisa berbuat banyak. Anak buahmu telah mengakui kesalahannya di hadapan Hakim Agung. Aku sebenarnya sudah mencoba turut berdebat berusaha mencari alasan supaya hukumannya ditunda. Setidaknya memberi waktu untukmu memikirkan langkah apa yang akan kamu ambil untuk menyelamatkan anak buahmu. Tetapi sia-sia saja."
"Kapan hukumannya dilakukan?"
"Lima hari lagi," ujar Asmaraga. Menyawak terdiam.
"Itu waktu yang cukup singkat untukmu berpikir," lanjut Asmaraga.
"Untukku berpikir? Hanya aku? Jangan tinggal gelanggang colong pelayu, Raden!"
"Apa maksudmu berkata seperti itu!?" murka Asmaraga sambil melotot.
"Jujur saja, aku tersinggung dengan sikap mu. Seharusnya ini juga menjadi tanggung jawabmu, Raden."
"Dengar...! kamu juga diuntungkan atas rencana ini. Sainganmu sekarang berkurang karena Saga Winata telah ditetapkan sebagai buronan!"
"Percuma kalau aku kehilangan anak buahku."
"Kamu ini begal, perampok, penjahat. Untuk apa kamu berlarut-larut mengenang anak buahmu yang kacangan itu? Jangan seperti bayi yang kehilangan mainannya. Kamu masih bisa mencari anak buah lagi."
"Sejujurnya ini tidak sesederhana yang Raden pikirkan. Mereka pernah menyelamatkan nyawaku. Aku tidak memiliki keluarga lain selain mereka. Aku merasa berhutang budi kepada mereka."
"Hahaha...! Seorang penjahat berbicara soal budi," singgung Asmaraga.
"Raden, kaum begal seperti kami mungkin bisa saja menakut-nakuti, bisa saja membunuh orang, bisa saja membuat kerusuhan. Tetapi kami tidak pernah tertarik dengan penghianatan."
Asmaraga terdiam mendengar jawaban Menyawak yang seolah menyindirnya.
"Tidak! Aku tidak sama sepertimu atau kaummu yang lain, Raden!" Menyawak menyerukan perkataannya sambil bangkit dari tempat duduknya.
"Kamu mau mengancamku lagi? mau menakutiku lagi?" tanya Asmaraga.
"Tidak. Kalau Raden menolak ikut serta. Biar aku yang lakukan ini sendiri. Tetapi jangan salahkan jika aku melakukan segala cara demi bisa menyelamatkan anak buahku sendiri."
Asmaraga hanya terdiam. Pandangan matanya tertuju ke langit-langit ruangan karena fokus berpikir. Kemudian tanpa sepatah kata. Dia pergi meninggalkan pondok kediaman Menyawak. Dan langsung melajukan kudanya.
***
Keesokan harinya, Di pagi hari. Jayendra dan Seruni sedang berjalan-jalan di sekitaran pasar Kotaraja. Saat itu Seruni tengah memilah-milih selendang di sebuah toko kain. Sambil tangannya membentangkan kain dan melipat kembali berulang kali, dia membuka pembicaraan.
"Yang ini bagus tidak, Kang?" tanya Seruni.
"Yang mana?" tanya balik Jayendra.
"Yang merah ini."
"Menurutku yang ini warnanya terlalu cerah," ujar Jayendra menimpali.
"Tidak kok, ini bagus sekali. Coba perhatikan lagi, Kang. Mungkin kurang dekat melihatnya." Seruni mendekatkan kain itu sambil membentangkannya.
"Jangan merah, coba yang biru. Kamu lebih cocok!"
"Masa sih? Kata siapa?" tanya Seruni ragu.
"Kan orang lain yang menilai," ujar Jayendra.
"Merah juga bagus kok. Kakang mana tahu selera busana perempuan."
"Kenapa meminta pendapatku jika memang saranku tidak diperhitungkan? Kalau kamu suka ya tinggal pilih saja menurut seleramu." ujar Jayendra kesal.
"Ih, aku kan hanya memastikan! Kenapa kakang meninggikan nada bicara?"
"Iya deh iya, yang merah bagus." Jayendra meredakan nada bicaranya.
"Kakang ini bagaimana? Jadi laki-laki kok plin-plan?"
"Aku salah lagi?"
"Ya salah, jadi laki-laki harus tegas. Apalagi Kakang kan seorang pendekar. Tadi katanya kurang cocok. Sekarang bilang bagus," oceh Seruni.
"Ya sudah, kenapa tidak kamu beli saja dua-duanya!"
"Ini bukan soal mau atau tidaknya aku membeli. Aku kan meminta perbandingan mana yang lebih bagus. Kalau soal membeli ya aku juga tadinya mau beli keduanya kok."
"Dasar gadis menyebalkan," gumam Jayendra lirih.
"Apa Kakang bilang?" bentak Seruni.
"Eh... Anu... Maksudku, itu tadi ada orang lewat gayanya menyebalkan."
"Oh..."
Dalam perbincangan itu, Jayendra mengalihkan pandangannya ke kerumunan orang di jalan yang mulai memecah. Ternyata rombongan prajurit kerajaan tengah berjalan berbaris beriringan membelah kerumunan, sedangkan pemimpinnya membawa gulungan kertas.
Seruni masih saja memilah-milih kain yang berada di toko itu.
"Jadi mau pilih yang mana, kang?" Seruni kembali bertanya.
Jayendra terus memperhatikan rombongan prajurit yang melewati kerumunan tersebut.
*Plakkk!!!*
Seruni menepuk pundak Jayendra keras keras.
"Aduh..! Sakit, Seruni!"
"Kakang bagaimana sih. Ditanya malah diam saja. Apa yang kakang lihat? Perempuan ya?"
"Hah? Bukan. Itu ada rombongan prajurit kerajaan lewat. Sepertinya ada hal penting."
"Ya sudah, biarkan saja!"
"Eh... Kenapa mengira aku melihat perempuan? Memangnya kenapa kalau aku memperhatikan perempuan?"
"Tidak kenapa-kenapa kok!" ketus Seruni.
"Kamu cemburu?" tanya Jayendra memberanikan diri.
Seruni hanya terdiam dan malah berbicara dengan pemilik toko kain.
"Ki sanak, berapa harga dua kain ini?" tanya Seruni kepada penjual kain.
"itu harganya 3 keping perak, Nyi," jawab si penjual.
Seruni membayarnya dan membawa dua kain yang dibelinya tersebut.
"Terima kasih, Nyi Sanak!" ucap si penjual.
Seruni langsung meninggalkan Jayendra dengan wajahnya yang sedikit kemerahan.
"Seruni... Tunggu! Kok aku ditinggal?" tanya Jayendra sambil mengejar langkah Seruni yang mulai mempercepat jalannya.
Mereka berdua meninggalkan toko itu.
"Lain kali datang lagi ya!" seru pemilik toko.
Jayendra mempercepat langkahnya mengejar Seruni.
"Seruni, maafkan aku kalau aku salah bicara!" bujuk Jayendra sambil tergesa-gesa.
Kerumunan orang yang padat membuat langkahnya untuk mengejar Seruni kesulitan. Sehingga secara tidak sengaja dia menabrak seorang pedagang buah yang sedang memikul dagangannya hingga terjatuh. Buahnya pun bercecerah ke jalan.
"Bagaimana sih? Kalau jalan itu hati-hati, Ki Sanak!" seru si pedagang buah sambil memunguti dagangannya.
"Maafkan Aku, Ki Sanak. Aku tidak sengaja. Biar saya bantu merapihkan buah-buahan yang berceceran ini." Dengan sangat terpaksa Jayendra harus bertanggung jawab membantu pedagang ini memunguti buah buahan yang terjatuh. Sementara Seruni semakin tidak nampak dari pandangan.
WORO-WORO! WORO-WORO! WORO-WORO!"
*GONG...!!! GONG...!!! GONG...!!!*
Seluruh penduduk yang ada di kota itu diwajibkan menghentikan aktifitasnya sejenak untuk mendengarkan pengumuman. Semua orang yang semula memadati jalan pun sekarang mengumpulkan diri untuk memusatkan pandangannya ke arah mimbar di bawah pohon besar. Sementara Jayendra hanya punya satu perhatian, yaitu mencari keberadaan Seruni.
"Diberitakan kepada seluruh masyarakat Galuh, khususnya penduduk Ibu Kota Saunggalah. Tiga hari lagi akan digelar acara Hukuman Penggal untuk keempat pelaku teror terhadap murid perguruan Wana-Wira. Pengadilan telah memutuskan mereka terbukti bersalah. Hukuman akan berlangsung secara terbuka di lapangan penghukuman. Seluruh masyarakat dimohon untuk turut menyaksikan sebagai pelajaran bersama. Barang siapa yang menghalangi proses hukuman atau tidak menyetujui hasil keputusan peradilan, akan dianggap membelot dan dijatuhi hukuman berat. Kami juga memberitahu bahwa Kerajaan saat ini memiliki seorang buronan baru bernama Saga Winata. Dia adalah seorang kepala begal dari daerah barat. Barang siapa yang berhasil membawanya hidup-hidup ke pengadilan. Akam diberikan imbalan yang cukup besar dari kerajaan. Demikian pengumuman ini disampaikan. Masyarakat diharapkan bisa saling menyebarkan pengumuaman ini kepada yang belum mengetahuinya tanpa menambah atau mengurangi isidari berita."
*GONG...!!! GONG...!!! GONG...!!!*