Bila Tuhan sudah berbuat, manusia bisa apa?
---
Vano pov
Pagi ini entah mengapa aku merasa tidak mood untuk mengikuti pelajaran. Aku yang saat ini masih di tempat parkir sekolah pun mengajak Dino, Yahya, Didit dan Heri untuk bolos pelajaran.
"Warung depan yok, males gue ke kelas." Kataku pada teman-temanku.
"Yok, belum sarapan gue." Seru Didit yang setuju.
"Lo mah enak Van pinter, nggak ikut pelajaran nggak papa. Lah gue? Apalah daya." Balas Yahya.
"Kalo lo nggak mau ikut nggak papa, lo ke kelas aja." Kataku pada Yahya.
"Gue mah ikut aja." Sahut Dino.
"Lo Her?" Tanya Yahya pada Heri yang dari tadi hanya diam.
"Gue juga ikut aja." Jawab Heri.
"Yaudah yok." Kataku dengan mulai berjalan menuju warung depan sekolah.
"Tungguin! Gue ikut!" Ucap Yahya dengan mengikuti langkah yang lain. Aku dan yang lain pun menghentikan langkah kaki kami karena mendengar ucapan Yahya.
"Katanya nggak ikut." Seru Didit.
"Gue ikut aja lah, abis nggak ada yang pro sama gue." Kata Yahya.
"La lo, lagian beda sendiri. Biasanya juga gimana." Sahut Dino.
Aku, Dino, Heri dan Didit kembali melanjutkan langkah kaki kami yang tertunda yang kini di tambah dengan Yahya. Aku berjalan paling depan. Ketika hampir melewati halaman sekolah dari kejauhan aku melihat seorang siswi yang sedang mendapat hukuman menyapu.
"Kaya Alana," Batinku. Aku pun terus berjalan menuju halaman sekolah, dan dengan pasti aku akan mengetahui apa benar siswi tersebut Alana. Ketika jarakku berjalan dan siswi yang menyapu masih beberapa meter, aku pun sudah dapat melihat dengan jelas bahwa siswi yang sedang mendapat hukuman ialah Alana. Alana yang menyadari kedatanganku pun sempat melihatku. Ketika aku melewatinya, dia seperti hendak menyapaku. Aku yang mengetahuinya dengan segera memalingkan wajahku.
"Maaf Na, gue cuma butuh waktu buat kembali menyapamu." Batinku dengan terus berjalan melewati Alana. Aku sebenarnya juga ingin sekali menyapamu untuk hanya sekedar mengucapkan selamat pagi, namun disisi lain aku masih butuh waktu buat merenungkan hatiku.
# # #
Author pov
Bel istirahat yang ditunggu-tunggu tiba, para siswa berhamburan keluar kelas untuk sekedar menghirup udara luar kelas ataupun mengisi perut mereka. Tak terkecuali Alana dan Viona.
"Na kamu ko bisa telat sih? Nggak biasanya." Kata Viona dengan berjalan menuju kantin bersama Alana.
"Kesiangan Vi," Jawab Alana.
"Na Na, itu ada pa ya?" Kata Viona yang melihat kerumunan di lapangan basket.
"Entah." Balas Alana yang tak mengetahuinya
Karena rasa kepo yang tinggi, Viona pun mengajak Alana menuju kerumunan untuk melihat ada apakah di tengah kerumunan tersebut. Di tengah kerumunan tersebut atau lebih tepatnya tengah lapangan basket ternyata terdapat pertandingan basket antar kelas yang berolahraga di jam itu. Kelas tersebut ialah kelas X-2 dan XII-IPA 3. Apakah hanya karena pertandingan antar kelas tersebut menjadikan adanya kerumunan? Tantu tidak. Kerumunan tersebut ada karena kejadian yang kini sedang mereka tonton, yaitu dimana saat break time Vano menepi di pinggir lapangan yang terdapat Tasya disana.
"Van ini minumnya." Kata Tasya memberikan sebotol minum untuk Vano.
Vano sebenarnya enggan menerima minum pemberian Tasya, namun karena Vano melihat ada Alana di dekat lapangan ia pun menerimanya.
"Tumben diterima." Tutur Viona yang melihat Vano menerima minum pemberian Tasya.
"Kantin yuk, laper aku." Balas Alana dengan menarik tangan Viona menjauh dari kerumunan.
"Kamu kenapa sih Na, nggak biasanya kamu ngajak buru-buru ke kantin?"
"Aku nggak papa, siomainya 2 Buk." Kata Alana ketika sampai di kantin.
Alana dan Viona lantas memakan siomai mereka masing-masing.
"Vi, menurut kamu kalo seseorang tiba-tiba diemin kamu itu kenapa?" Tanya Alana tiba-tiba.
"Mungkin dia marah, emang siapa yang diemin kamu?" tanya Viona.
"Nggak, kalo marah gara-gara apa coba?"
"Yang kamu maksud siapa sih Na?"
"Kamu ngerasa ada yang aneh nggak sama Vano?"
"Oo, Vano. Ngomong dong dari tadi,"
"Ngomong apaan sih Vi, udahlah lupain aja."
# # #
Bel pulang sudah berbunyi, menandakan telah usai sudah pembelajaran hari ini. Seluruh siswa sudah berhamburan keluar, begitu juga Alana. Ia kini sedang berdiri di depan gerbang sekolah untuk menunggu seseorang.
"No No, berhenti." Alana menghentikan Vano yang baru saja keluar dari gerbang sekolah.
"Nama gue bukan No No." Kata Vano yang mendengar dirinya dipanggil No No.
"Ok ok, Vano."
"Gitu dong." Vano mengacak-acak rambut Alana.
"Apaan sih, jadi berantakan rambut gue nih." Alana membenarkan rambutnya yang di acak-acak Vano.
"Yaudah sini gue sisirin pake tangan." Vano menjulurkan tangannya dengan masih duduk di motornya.
"Nggak usah."
"Ada apa nih tumben-tumbenan nungguin gue?" Tanya Vano kemudian.
"Gue mau minta maaf soal gue yang nggak jadi nemenin main skateboard." Kata Alana kemudian.
"Oh itu, nggak papa kok nggak usah dipikirin."
"Lo bilang nggak papa, tapi kalo ketemu gue kek orang marah." Kata Alana memberi tahukan apa yang ia rasakan ketika bertemu Vano.
"Perasaan lo aja kali."
"Masa?"
"Iya, nanti sore bisa temenin gue nggak?" tanya Vano.
"Sorry kalo sore ini gue nggak bisa, besok sore mungkin gue bisa."
"Ok, pulang sama siapa?"
"Tu udah dijemput," Alana menunjuk ke dekat halte yang sudah terdapat seseorang di sana.
"Gue duluan ya." Kata Alana dengan berlari menuju halte.
"Iya, gue tunggu besok sore." Balas Vano dengan malambaikan tangan.
"Ok." Kata Alana dengan membalas lambaian tangan Vano.
"Hufh hufh, udah lama ya bang?" Tanya Alana dengan terengah-engah pada Arya yang sudah menunggunya di halte.
"Baru aja, yang kamu ajak ngomong tadi siapa Na?" Tanya Arya dengan memberikan helm.
"Temen,"
"Masa?"
"Iya, sekarang kita ke rumah dulu apa langsung ke rumah sakit?" Tanya Alana mengenai tempat yang akan di tujunya dengan Arya setelah dari sekolah.
"Kita cari makan dulu."
Setelah memberi tahukan tujuan setelah dari sekolah, Arya langsung melajukan motor menuju tujuannya.
"Bang, Alana kok jadi deg degan gini ya." Tutur Alana pada Arya di tengah perjalanan.
"Ya deg degan lah Na, kalo nggak deg degan Abang nanti malah bingung." Balas Arya dengan nada bercanda.
"Ihh Alana tu serius tau Bang, Abang malah bercanda." Kata Alana dengan memukul bahu Arya.
"Jangan pukul-pukul Na, ntar kalo jatoh gimana?"
"Iya iya." Alana seketika diam. Alana mengamati sekitar jalan yang ia lalui dengan Arya. Disamping ia mengamati sekitar, fikiran Alana masih saja memikirkan hasil Lab yang akan ia terima.
"Bang misalkan Alana sakit lagi gimana?"
Skak mat. Hati Arya yang mendengar ucapan Alana seketika terasa tertohok beribu ribu duri. Ia sebenarnya juga sedang cemas, cemas akan apa yang akan ia terima nanti di rumah sakit.
"Udah nggak usah difikirin, sekarang kita makan dulu." Kata Arya mengalihkan pembicaraan dan kebetulan mereka juga sudah sampai di tempat makan.
Tiga puluh menit, kurang lebih segitulah waktu yang Alana dan Arya habiskan untuk mengisi perut mereka sebelum menuju rumah sakit. Setelah perut mereka kenyang mereka langsung menuju rumah sakit.
# # #
Rumah sakit.
"Bagaimana hasil Lab adik saya dok?" tanya Arya pada dokter yang kini duduk di depannya dan Alana. Dokter tersebut menghela nafas, itu menjadikan Arya dan Alana semakin tegang menunggu jawaban dokter tersebut.
"Menurut hasil leb jumlah faktor pembekuan darah adik anda kurang dari 1%, itu menandakan bahwa penyakit hemofilia adik anda yang semula stadium ringan kini sudah menjadi stadium berat." Jelas dokter. Air mata Alana seketika luruh dari kelopak mata Alana yang sudah tak kuasa lagi membendungnya. Lain lagi dengan Arya yang belum terima dengan penjelasan dokter.
"Itu pasti salahkan dok? Dokter dulu pernah bilang kalo penyakit adik saya sudah di stadium ringan dan tinggal masa pemulihan, tapi kenapa dokter sekarang malah bilang penyakit adik saya sudah stadium berat!" Protes Arya.
-Flashback on-
Tiga tahun yang lalu di rumah sakit yang sama.
"Hasil tes Lab menunjukkan jumlah faktor pembekuan darah Alana yang semula berkisar antara 1-5% kini sudah menjadi berkisar antara 5-50%, itu berarti hemofilia Alana yang semula stadium sedang kini sudah stadium ringan. " Jelas dokter pada keluarga Alana.
"Maksud dokter stadium ringan?" Tanya ayah Alana yang tidak mengetahui maksud penjelasan dari dokter.
"Begini bapak, maksudnya anak anda sudah akan sembuh." Perjelas dokter.
Reaksi dari keluarga Alana kemudian setelah mendapat penjelasan dari dokter ialah mereka saling berpelukan. Karena terharu, air mata Alana pun ikut menyambut kabar gembira tersebut.
-Flashback off-
"Maaf dek, dulu memang hasil Lab seperti itu, namun apapun bisa terjadi atas kehendak tuhan." Kata dokter.
Arya pun tertegun, ingin kembali protes namun apa kata dokter tersebut benar adanya. Bila Tuhan sudah berbuat, manusia bisa apa? Alana yang masih menangis di sampingnya pun ia kuatkan dengan memeluknya, dengan harapan semoga Alana tegar menghadapi kenyataan bahwa Alana untuk kedua kalinya harus menderita penyakit Hemofilia.
"Lalu tindakan apa yang akan dokter lakukan selanjutnya?" tanya Arya kemudian dan masih banyak pertanyaan lain yang Arya tanyakan.
# # #
Keluar dari ruangan dokter Arya dan Alana langsung kembali ke rumah. Di perjalanan menuju rumah Arya dan Alana hanya saling diam tanpa ada yang berniat memulai pembicaraan.
"Na udah sampai." Ucap Arya ketika sudah sampai di depan rumah dan tak mendapati Alana turun dari motornya.
"Hmm, pantes nggak turun-turun." Ucap Arya ketika menengok ke belakangnya dan mendapati Alana tertidur di pundaknya.
"Na bangun, udah sam_" belum selesai Arya berbicara, Arya harus menahan tubuh Alana yang hampir terjatuh dari motor. Setelah menahan Alana agar tak terjatuh, Arya menepuk-nepuk pipi Alana. "Na bangun,"
"Apaan si Bang?!" respon Alana dengan mata yang masih setengah tertutup.
"Udah sampai di rumah Na." Kata Arya lagi.
"O udah sampe ya," Alana mengusap-usap wajahnya.
"Udah sono istirahat."
"Eemm, Bang, "
"Kenapa?"
"Di dalam ada bunda nggak?"
"Nggak ada, bunda belum pulang. Udah sono masuk."
"Bang,"
"Apa lagi, kamu laper?"
"Enggak, Abang jangan bilang ke bunda sama ayah kalo Alana sakit ya?" Kata Alana dengan menggabungkan kedua telapak tangannya di depan wajahnya.
"Abang nggak bisa janji."
"Please, jangan bilang ya?" mohon Alana lagi.
"Untuk besok abang janji nggak akan bilang ke ayah sama bunda, tapi kalo hari-hari selanjutnya abang nggak bisa janji."
"Abang nggak mau ayah sama bunda sedih kan?" tanya Alana pada Arya yang hanya di jawab dengan anggukan.
"Maka dari itu Abang jangan bilang soal Alana yang sakit. Ok." Alana langsung masuk kedalam rumah.
# # #