"Cepat cuci tanganmu dan kembali. Kau tidak ingin membuat Tuan Fitzroy menunggu, hm? Biar kubereskan yang di sini."
Smith tadi sempat mendengar jika pemilik tempat ini memerintahkan Alexa agar tidak lupa menyiapkan makan malam. Apabila gadis itu sampai terlambat karena terlalu lama berada di sini, dia tak bisa jamin jika Alexa tak akan dimarahi. Biar bagaimanapun, setelah bekerja beberapa lama di bawah pengawasan Skylar, Tuan Smith tahu betapa dingin dan menyeramkan pemuda itu jika dibuat kesal. Sama seperti ayahnya.
Alexa pun beranjak ke wastafel untuk mencuci tangannya. Dia tidak sadar jika Emy sudah keluar dari ruang pendingin dan kini sedang berdiri di sampingnya, berdalih melakukan hal lain, seperti menata bahan-bahan di sebelah wastafel.
Tanpa melihat ke samping, wanita itu berkata pelan, cukup untuk didengar olehnya dan gadis di sebelahnya, "Aku jadi prihatin pada Tuan Fitzroy. Pasti selera lidahnya jadi menurun karena makan makanan yang dibuat oleh tangan tak berpengalaman. Kalau selera lidahnya jadi jatuh dan tak bisa memahami masakan enak lagi, restoran ini bisa terancam."
Kekeh kecil menyusul setelah Emy selesai bicara, sama sekali mengabaikan anak perempuan di sampingnya yang membatu. Namun dia tidak peduli. Apa yang ada di dalam pikirannya harus dikatakan agar gadis itu tahu.
Meskipun Emy tidak menyangkal jika dia memang tak terima jika masakannya tergeser oleh orang yang bahkan tak tahu teknik memasak, tapi menu-menu baru yang akan disajikan di restoran ini memang bergantung pada penilaian akhir Tuan Fitzroy. Siapa tahu suatu hari nanti menu-menu mewah di sini akan digantikan dengan menu sederhana yang tak sepantasnya disajikan di restoran mewah.
"Untung saja kau tahu cara membersihkan udang. Jika tidak, dia pasti sudah makan tahi udang tanpa disadari. Ooh, kasihan sekali," tambah Emy lagi seraya berlalu.
Tidak ada lagi yang bisa Alexa lakukan di sana. Urusannya sudah selesai, dan dia juga tak ingin berada di sana lebih lama. Mengganggu kegiatan koki menyiapkan makan malam adalah hal terakhir yang ingin dilakukannya. Apalagi, lama-lama Alexa merasa tidak tahan dengan kalimat yang diucapkan Emy padanya.
Dengan kepala tertunduk, dia keluar dari dapur dan bermaksud naik ke atas. Kakinya melangkah, sementara pikirannya melayang ke mana-mana dan tidak fokus. Alexa baru sadar ketika sudah berada di dalam lift, dan benda itu tak kunjung bergerak walau dia sudah menekan tombolnya berkali-kali.
"…"
Ada hening sesaat di dalam sana.
"Astaga, aku turun tidak bawa kartu akses!" Gadis itu baru ingat jika tadi turun bersama tuannya. Karena berpikir restoran ada di bawah dan dekat, dia jadi tidak kepikiran bawa kartu akses. Apalagi, Alexa juga tidak menyangka jika langsung diajak praktek di dapur saat itu juga. Kemudian, tuannya pergi dan entah kapan akan kembali.
Dengan berat hati, Alexa menekan tombol hingga pintu lift terbuka. Mau tidak mau, dia harus meminjam kartu akses dari resepsionis di lobi. Harusnya mereka sudah tidak mencurigainya lagi dan percaya jika dia bekerja di lantai paling atas.
Namun, begitu Alexa akan keluar dari lift, langkahnya langsung berhenti ketika ada seseorang yang langsung masuk begitu saja dari luar. Dia tidak melihat siapa orang itu, karena kepalanya terus tertunduk sejak tadi.
Merasa khawatir orang itu salah lift, Alexa berbalik, bermaksud memberi tahu agar berpindah lift.
"Kau kenapa? Habis dimarahi kepala koki?"
Alih-alih mendapati orang asing di dalam lift, Alexa malah mendengar suara familier yang dikenalnya dengan baik. Skylar Fitzroy sudah berada di dalam lift dan menempelkan kartu akses ke bagian di bawah tombol-tombol lift, lantas menekan tombol lantai 51 seperti biasa.
Tersadar jika tuannya ada di sana dan akan naik, Alexa kembali mundur dan membiarkan pintu lift menutup di depan wajahnya. Kakinya kembali mundur hingga berada tepat di samping sang pemuda. Setelahnya, Alexa menggeleng.
"Tidak. Tuan Smith sangat baik dan hebat. Saya belajar banyak tadi," jawab gadis itu dengan senyum cerah. Dia tidak bohong dan benar-benar senang dengan ilmu yang diberikan oleh kepala koki. Meskipun hanya sedikit, tapi sangat berharga untuknya.
"Lalu kenapa kau terlihat lesu begitu?"
"Tidak. Tidak ada apa-apa. Saya hanya sedang berpikir menu makan malam nanti." Lagi-lagi Alexa menggeleng cepat, disusul kekeh pelan. Hal biasa yang sudah Skylar hafal jika gadis itu berusaha berbohong. Namun, Skylar tetap diam dan sedang tidak ingin memojokkan pelayannya dengan mendesak agar mengatakan apa yang terjadi.
Jika gadis itu punya masalah, maka dia harus menyelesaikannya sendiri. Skylar sudah memutuskan agar tidak terlalu ikut campur urusan yang dimiliki Alexa, kecuali gadis itu meminta tolong padanya secara langsung. Biar bagaimanapun, dia merasa tidak enak, seolah-olah harus tahu apapun yang sedang dialami oleh Alexa.
Lantas, jika Skylar tahu segala masalah yang sedang dialami oleh pelayannya, apa yang akan dia lakukan?
Satu pertanyaan dalam batinnya segera membuat Skylar berhenti berpikir.
Atau mungkin hanya ingin menghindar sesaat dan tak ingin memikirkannya.
Lift melaju naik dengan cepat dan segera tiba di lantai 51. Keduanya keluar dari lift dan berpisah jalan. Alexa menuju dapur untuk menyiapkan makan malam, sementara Skylar menuju kamarnya untuk berganti pakaian, sambil mengisi mangkuk makanan Sophie.
Kegiatan itu tidak berlangsung lama. Setelah mengisi mangkuk makanan Sophie, Skylar mengganti pakaiannya dengan kaos berlengan pendek. Tak seperti biasanya, Skylar langsung turun ke lantai 51 dan berniat menunggu di depan televisi.
Pekerjaannya hari ini sudah selesai semua dan Skylar tak punya sisa tanggung jawab lagi. Jadi dia merasa lebih santai daripada biasanya. Niatnya bermain game juga sedang tidak ada. Jadi dia lebih ingin bersantai sambil menunggu.
Setelah menyalakan televisi dan memindah saluran dengan malas, akhirnya Skylar merasa bosan. Dia menguap sejenak, lantas berdiri dari sofa dan berjalan menuju dapur.
Sesungguhnya, dia penasaran apa yang gadis itu lakukan dengan masakan-masakannya. Sejak dulu, Skylar termasuk orang yang sangat anti dengan dapur. Dia sudah menghindar dari ruangan berbahaya itu sejak dirinya remaja. Banyak pengalaman buruk yang berhubungan dengan dapur.
Saat masih tinggal bersama ibunya dulu, Skylar sering memecahkan piring di dalam microwave saat berniat menghangatkannya dengan benda itu. Tidak jarang juga dia meledakkan sesuatu di dalamnya. Sampai kejadian terbesar yang membuat Skylar tak ingin dekat-dekat dengan dapur pun terjadi. Dia nyaris membakar rumah dengan kompor, membuat ibunya berang dan melarangnya masuk dapur seumur hidup.
Itulah salah satu alasan mengapa Skylar lebih senang memesan dari restoran di bawah. Saat dia kuliah di London, dia tinggal di rumah kakeknya. Di sana ada banyak pelayan, dan tentu saja, Skylar tak perlu repot-repot memikirkan soal makanan. Dia tinggal datang ke ruang makan, dan makanan pasti akan disajikan segera oleh para pelayan di rumah.
Kini Skylar melangkah ke dapur, berniat mencari tahu menu apa yang akan dibuat oleh pelayanya.
Begitu sampai ke dapur, Skylar dibuat bingung karena melihat Alexa membuang begitu banyak kerang. Kerang-kerang itu dimasukkan ke dalam kantong plastik dan diikat rapat, lantas akan dimasukkan ke tempat sampah.
"Kenapa dibuang?"
"Kerangnya banyak yang mati, sudah tidak layak dikonsumsi," balas Alexa sambil memasukkan kantong plastik tersebut ke dalam tempat sampah. Dia mengingat-ingat kalau setelah makan malam selesai, sampah itu harus segera dibuang ke tempat pembuangan, supaya tidak menimbulkan aroma tidak enak di seluruh ruangan.
Setelah melihat kantong plastik berisi kerang yang sudah berpindah ke tempat sampah, Skylar melirik ke atas kompor, di mana hanya menyisakan beberapa kerang saja. Kira-kira apa yang akan gadis itu buat setelah sebagian besar makanannya ternyata tidak layak konsumsi?
"Jadi kau mau buat apa?" Skylar tak bisa menahan dirinya untuk bertanya, walaupun dia bukan orang yang paham soal proses memasak. Dia hanya bisa menilai masakan dari rasanya.
"Dengan bahan seadanya, saya hanya bisa buat pasta."
Pasta.
Skylar tidak keberatan makan pasta. Bagi orang yang tidak bisa masak, dia tak punya hak untuk protes. Meski dia punya uang untuk beli makanan dari luar, namun dia memutuskan tidak melakukannya lagi. Lagipula, dia juga penasaran bagaimana rasa pasta itu di tangan pelayannya.