Kiran terdiam duduk dikursinya sambil melihat Keyla yang tampak senang berada di atas kapal. Dia tampak bermain-main dengan suaminya dengan riang. Kay pun sama menikmati waktu kebersamaannya dengan Keyla untuk membayar seminggu yang membuatnya jauh dari anaknya. Kiran sendiri sampai hari ini belum memegang Handphonenya kembali. Dia hanya diam disana tanpa kegiatan apapun. Selera makannya pun tak ada tapi...bukan berarti dia sedang marah atau merajuk pada Kay. Sepanjang hari ini pun Kiran merasa tak enak badan dan memilih untuk berdiam diri saja. Rupanya hal itu dirasakan juga oleh Kay. Dia tahu mungkin Kiran tak nyaman berada disini tapi...dia harus melakukannya demi hubungan mereka.
"Bos..telepon." Erik menyodorkan Handphonenya.
- Halo
- Abang dimana?.
- Aku masih ditengah laut dad.
- Mertua abang datang kerumah nyari-nyari Kiran sama Keyla. Dia...bilang abang nyulik mereka berdua.
- Nyulik?
Kay tertawa kecil.
- Mana ada suami nyulik istri sama anaknya sendiri dad.
- Terus mau Abang Daddy gimana?.
- Dad, aku udah ceritain semuanya rencana aku sama Daddy. Daddy cukup jelasin aja kalo aku suaminya dan ga perlu ada yang dikhawatirin, aku ga macem-macem. Aku cuman pingin nurut aja sama mommy. Mommy bilang aku harus tegas dan berhak buat lakuin apapun sama Ran, sama Keyla. Mereka keluarga aku.
- Kalo Daddy atau mommy telepon wajib angkat ya
- Kalo ga bisa, Daddykan punya nomor Erik lagian Keyla seneng banget disini. Dia pingin liat dolphin tapi ga ada.
- Ya mana ada disitu dolphin.
- Aku bakalan kasih pelajaran buat ayah, biar dia ngerti.
- Gimana keadaan Ran?.
- Dia masih diem aja.
Jawab Kay sambil melihat ke arah istrinya.
- Abang lebih kenal istri kamu, coba bicarain pelan-pelan.
- Aku udah tahu kok caranya, dia tuh cuman lagi nimbang-nimbang. Ran tuh orangnya galauan dad. dikit-dikit galau, sedih, putus asa.
- Ya udah jangan macem-macem loh, Arbi cerita abang manjat-manjat pager.
- Ya habis dia ga ngasih buka pagernya. Dia pasti marah-marah kan?.
- Jelaslah..
- Daddy sama mommy ga papakan?, apa perlu aku pulang sekarang?.
- Abang puas ngelakuin hal ini?.
- Seengaknya aku seneng, apa yang pingin aku omongin sama ayah udah aku bilang kemarin. Ga ada lagi aku pura-pura ngalah dan Daddy tahu ga? mata dia kaget, bibirnya bergetar, dia kemarin ga bisa berbuat apa-apa.
- Ya udah ga usah bohong lagi termasuk Abang bohongin Daddy sama mommy. Ga salah kok jadi orang yang ngaku kalo semuanya ga baik-baik aja. Abang ga selamanya harus kuat terus. Daddy sama mommy ga papa. Ah...urusan Arbi sih diujung kuku daddy. Kita pernah ngadepin dia sama-samakan? dan udah kebukti bisa, jadi ga usah khawatir apalagi mommy kayanya udah siap banget ngadepin Arbi. Mommy udah siap perang dari kemarin-kemarin juga.
Canda Kenan untuk menghibur anaknya.
- Ga tahu aku sama Ran.
Kay dengan nada sedih.
- Bang, sebisa mungkin Daddy ga mau ada cerai tapi kalau sekarang kalian udah omongin dan itu jalan terbaik Daddy sama mommy dukung aja, cuman inget ya pesen Daddy, pikirin Keyla. Keyla paling utama.
- Iya dad..
- Masa dulu terkenal pejuang cinta sekarang jadi hilang sih jurus-jurusnya.
- Ajimatnya belum aku perpanjang dad.
Canda Kay lagi.
- Pokoknya urusan Arbi Daddy liatin kok disini.
- Aku udah suruh orang kok dad buat liatin Ayah, bunda sama Rafi. Makasih Daddy..
- Pulang darisana coba kerumah dulu ya, jangan lupa telepon mommy.
- Iya dad.
- Ya udah hati-hati.
Kenan mengakhiri pembicaraan mereka. Kay senyum-senyum sendiri mengingat percakapannya tadi dengan Kenan. Baginya, ayahnya itu benar-bensr seperti seorang kawan sekarang. Semakin tua memang Kenan semakin dewasa ketimbang anak kecil bahkan tak ada sedikitpun dia ingin Kay dan Kiran berpisah.
****
Suara ketukan terdengar membuat Kiran yang semula terbaring langsung bangkit.
"Kenapa?."
"Saya disuruh sama bos bawa ini, silahkan nyonya bos duduk." Erik tanpa permisi masuk ke kamar Kiran. Dia merapikan meja disana dan meletakkan beberapa dokumen serta sebuah laptop.
"Bos lagi main jetski sama nona Keyla, mungkin akan selesai jam 6 sore nanti." Erik dengan gesit menyiapkan semua hal yang diperintahkan Kay. Ketika Kiran duduk Erik segera memberikan headphone setelah itu menekan tombol play. Tak menunggu Kiran berbicara, Erik langsung pergi begitu saja. Dia seolah membiarkan Kiran untuk fokus dengan semua data yang dia berikan. Rupanya Erik memutar percakapan Kay dan Sachi malam itu dirumah sakit. Dia juga membawakan hasil tes DNA kedua yang sebenarnya dan beberapa dokumen keterangan lainnya. Belum sampai disitu dalam laptop itupun terdapat beberapa file foto yang memperlihatkan foto David dan hasil CCTV rumah sakit yang menunjukkan jika David menemui seseorang yang bisa mengubah hasil tesnya. Dia juga mendengarkan suara Ansel yang menyebut ciri-ciri papanya yang merujuk pada David padahal jelas dia bukanlah ayah kandungnya mungkin Ansel keliru menganggap David ayahnya. Dalam rekaman itu tak pernah sedikitpun Ansel menyebut nama Kay sebagai papanya. Jemari Kiran kini dengan lincah melihat file yang ada dalam laptop itu dan bagaimana rekam jejak panggilan Sachi dan David. Kiran yakin David adalah orang yang melempar pesan kaleng dan foto kerumah orangtuanya. Kiran tak menyangka jika orang dibalik kekacauan ini adalah David dan siapa sangka David yang semula ingin mengincar Ara justru memilih Kay menjadi target pertamanya. Ini murni balas dendam. Kiran masih ingat dulu bagaimana sebuah keributan terjadi di tepi jalan yang sepi bahkan gara-gara keributan itu kaki Jay terluka parah sementara Kay menghajar habis-habisan David yang mencoba melecehkan Ara. Sejak dulu David memang tak suka dengan Kay. Terlebih mereka satu kampus. David sepertinya merasakan jika Kay selalu mengawasi gerak-geriknya bersama Ara. Ya...mungkin kejadian itu yang melatarbelakangi kejahatan David. Kiran melepaskan headphonenya. Pasti selama seminggu ini Kay begitu sibuk untuk mencari bukti-bukti ini dan Kiran kini tahu apa yang menyebabkan wajah suaminya sedikit lebam. Kiran meraih beberapa kertas dan tanpa sadar setitik air mulai jatuh membasahi kertasnya. Kiran menangis. Menangis entah karena sedih atau bahagia tapi...jika orang lain tahu apa yang ada dibenaknya mungkin orang itu sama bingungnya. Seminggu ini tak ada sedikitpun niat Kiran untuk meninggalkan Kay. Dia punya alasan kenapa dia harus melakukannya dan penyebabnya pasti adalah Arbi ayahnya. Dia yang tak ingin Arbi tahu agar menjaga Kay justru harus gagal karena surat kaleng itu. Tangan Kiran kini menghapus air matanya. Dia mencari tisu terdekat untuk menyeka hidungnya yang sudah meler. Ayahnya yang harus tahu kebenaran ini dibanding dia.
***To be continue