Tak seperti biasanya pagi ini Ara sudah duduk dimeja riasnya untuk mempercantik diri sementara Dariel baru saja selesai mandi. Dia mengambil perlahan semua baju dan celana yang sudah disiapkan Ara dengan sesekali melihat kearah istrinya.
"Mau ketemu siapa sih sampe dandannya gitu banget." Sindir Dariel melihat Ara yang tak biasanya berdandan cukup lama bahkan tampaknya dia benar-benar memperhatikan penampilannya saat ini.
"Ya...ketemu karyawan akulah. Rasanya udah setahun aku ga kerja." Ara masih fokus berdandan. Setelah sentuhan terakhir memakai lipstik. Ara berdiri lalu berjalan kearah suaminya. Dia mengambil alih dasi dan memakainya di leher Dariel.
"Abang anterin sayang.."
"Ga usah aku bawa mobil aja."
"Kenapa?"
"Ga papa bang.."
"Nanti karyawannya pada suka loh kalo bosnya begini."
"Abang muji atau apa?"
"Ya... hati-hati maksudnya."
"Ga ada sayang, aku cuman kerja." Ara meyakinkan dan menepuk-nepuk baju kerja Dariel. Dariel meraih pinggangnya mencoba menarik Ara dan mencium pipinya. Ara tak menolak dia bahkan mendekap Dariel agar tak terjatuh.
"Kabarin Abang kalo ada apa-apa."
"Aku bakalan rajin liat Triplets kok.."
"Ga boleh ada lembur ya. Waktu pulang langsung pulang."
"Abang yang suka lembur."
"Udah engga lagi."
"Ya udah sarapan yuk, keburu siang sayang." Ara membenarkan kemejanya dan turun bersama Dariel. Disana sudah ada Triplets dan ketiga pengasuhnya.
"Karin, makan sayang?makan apa?" Dariel mengecup pipi anaknya membuat Karin tersenyum manis.
"Deb Ravin makannya habis ga?"
"Habis nyonya bos."
"Davin mana?kok ga keliatan."
"Davin di depan pak."
"Lagi ngapain?"
"Lagi makan tapi tadi sedikit nangis jadi diajak kedepan sama Vivi."
"Bang..rotinya mau pake apa?"
"Pake Sekai kacang aja sayang, Abang ke depan dulu." Dariel segera berjalan kedepan sementara Ara menyiapkan sarapannya.
"Abang masih ada khawatirnya jadi kalo bisa jangan sampe ngelakuin kesalahan sedikit pun."
"Siap, Triplets pasti aman kok.." Resa yang sepertinya sudah membuat Karin nyaman digendongannya. Kini Dariel datang lagi dengan Davin dalam gendongannya. Tampak matanya sendu. Anak itu benar-benar habis menangis.
"Davin nangis nih sayang..."
"Kenapa anak mami?kenapa nangis?" Ara memperhatikan wajah anaknya.
"Mami kerja sebentar sayang, nanti mami pulang." Ara menciumi tangan kecil Davin padahal dalam mulutnya ada kunyahan roti. Dariel hanya mendekap anaknya kasihan. Dia mencium kepala anaknya yang masih botak dan mengambil rotinya. Davin menangis lagi kecil.
"Coba susuin dulu deh, kasian.."
"Aku udah rapi gini bang."
"Apa salahnya sih dibuka aja dikit?pake kemeja ini. Kasian nih Davin."
"Ya udah-ya udah, Davin...mau mimi ya..." Ara segera menggendong Davin dan mencoba menyusuinya.
"Duh..lupa lagi ga pake bra menyusui." Ara sedikit kesulitan sekarang.
"Yang..diatas aja jangan disini." Dariel sedikit mengomel. Ara menurut. Pagi ini Dariel benar-benar banyak mengeluarkan keluhan atau lebih tepatnya sejak kemarin sih. Dari mereka mau tidur sampai bangun lagi Dariel terus mengoceh tentang mengasuh Triplets padahal semuanya tampak baik-baik saja. Kini Ara menuju kamarnya lagi menyusui Davin disana. Anak itu sepertinya masih mengantuk.
"Mami cuman pergi sebentar, nanti siang mami video call ya. Davin sama Tante Vivi dulu..." Ara sambil mengusap-usap pelan kepala anaknya.
"Masih nangis ga?" Dariel yang penasaran menyusul ke kamarnya.
"Udah engga. Dia masih ngantuk aja makannya rewel."
"Oh..Kirain sakit." Dariel melihat wajah imut Davin yang kini mulai memejamkan matanya.
***
Jay menyeleksi semua calon sekretarisnya. Dia ingin sekretaris laki-laki seperti Chandra. Setelah hasil interview seharian ini pilihan Jay tertuju pada nama Andrew. Dia sepertinya memiliki semangat kerja. yang baik dan sikapnya juga terlihat begitu menyenangkan. Setelah selesai Jay segera menghampiri Chandra dan meminta meneruskan ke tim HRD.
"Kakak ada di ruangannya ga?"
"Ada pak."
"Kak, kakak..." Jay mengetuk pintu kerja Ara. Belum juga dapat sahutan Jay masuk begitu saja. Dilihatnya Ara sedang melakukan video call. Jay duduk didepannya menunggu kakaknya selesai.
"Kenapa?" Ara mematikan Handphonenya setelah selesai mengecek Triplets.
"Ini jam istirahat ayo keluar makan."
"Oh..mau ngajak makan. Ayo.." Ara segera mengambil tasnya dan berjalan bersama Jay. Mereka mencari restoran terdekat dari kantor.
"Gimana sama Tiara?"
"Gimana apanya?"
"Malam pertamanya seru?" Tanya Ara tanpa malu.
"Aku berhasil kak."
"Berhasil?kamu pikir ini ujian apa?" Ara tersenyum-senyum.
"Aku udah bisa sekarang bikin anak kak."
"Jadi...mau langsung punya anak?"
"Iya dong, aku suka anak kecil."
"Mirip siapa ya nanti?"
"Mirip?"
"Iyalah, kalo kamu punya anak nanti mirip ibunya atau bapaknya. Sama kaya Triplets. Ravin sama Davin kalo wajah mirip kakak, Karin kaya kak Dariel tapi kalo sifat cuman Davin yang kaya Kak Dariel."
"Oh bisa begitu kak?"
"Bisa, kamu nih mirip mommy...banget. Kay mirip Daddy...banget. Itu namanya Gen.."
"Gen ya..." Jay mengangguk-ngangguk seolah ingin mengerti. Dia kini berpikir tentang anak dan Gen tentunya.
"Kenapa masih bingung?"
"Engga, aku ga bingung."
"Ya..selagi Tiara bisa punya anak jangan ditunda.." Ara memberi nasihat seakan mengingat kejadiannya dulu. Kini Jay jadi mikirkan anaknya. Bagaimana anak masa depannya nanti?jika Gen itu mengikutinya. Apakah anaknya akan seperti dirinya?. Kalau hanya sebatas wajahnya yang mirip mungkin tak apa tapi kalo sifatnya yang mirip Jay jadi berpikir ulang untuk memiliki anak.
"Ga mau!!" Jay mendadak berteriak sambil mengerem mobilnya.
"Jay!!" Teriak Ara kaget. Suara klakson kini terdnegar dari belakang mobilnya. Jay tersadar.
"Maaf kak.." Jay sambil kembali menjalankan mobilnya sebelum di amuk masa.
"Kamu kenapa sih?"
"Ga papa, tadi aku kaget."
"Hati-hati dong, di jalan raya ini. Kalo engga sini kakak yang nyetir."
"Engga, ga usah kak." Jay kembali menyetir dengan tenang. Gara-gara soal Gen anak dia jadi terbayang-bayang oleh nasib anaknya nanti. Dia benar-benar tak mau jika anaknya akan bernasib sama dengan dirinya. Menjadi dirinya itu sulit meskipun sekarang dia berangsur membaik bahkan keadaannya mulai normal tapi Jay tak bisa membayangkan jika anaknya akan mengalami hal itu juga. Lagian bagaiman reaksi Tiara nanti jika anaknya sama seperti dirinya?. Dia juga tak tahu bagaimana reaksi keluarga mertuanya nanti. kasihan.. Mereka pasti akan kesulitan, terutama Tiara. Jay tak mau. Jay tak akan membiarkannya. Dia harus berhenti. Dia harus berhenti membuat anak. Dia tak mau membuat Tiara hamil. Dia harus mencegahnya sebelum terjadi sesuatu. Ya...lebih baik begitu. Gen nya benar-benar buruk. Jay merasa sedih sekarang. Disisi lain dia ingin memiliki anak kecil. Dia masih ingat, bagaimana bahagianya Kay mendapatkan kado kehamilan Kiran tapi...dia juga tak mau menyusahkan orang lain berkali-kali lipat. Mengurusnya saja Tiara pasti harus ekstra sabar apalagi jika ada dua.
***To Be Continue