Dariel POV
Aku turun disebuah halte pemberhentian. Ini pertama kali aku naik bis setelah sekian lamanya. Terakhir aku naik bis saat kuliah S1 dan itu menyenangkan. Naik bis rasanya seperti berpetualang. Aku mulai berjalan menyusuri jalanan yang berpolusi meskipun aku tak tahu dimana sekarang aku berada tapi aku yakin aku dijalan yanh benar. Aku hanya mencoba mengikuti arah untuk menemukan alamat yang ingin aku tuju. Terik matahari sangat panas hari ini padahal ini masih pagi. Kali ini kakiku memasuki sebuah komplek. Sepertinya ini benar komplek rumahnya. Aku terus berjalan sampai aku merasa panas di sekitar bawah kakiku. Entah seberapa jauh aku berjalan tapi yang jelas aku sudah mulai berkeringat. Aku yakin seluruh badanku sudah basah. Langkahku terhenti disebuah rumah dengan pagar putih. Kebetulan disana tampak seseorang sedang menyirami tanaman dan seorang lainnya mengurusi burung yang berada dikandang. Itu orang yang aku cari. Wajahnya sama persis seperti foto yang kemarin aku lihat. Aku bingung harus bagaimana. Aku juga tak tahu sebenarnya apa yang aku lakukan. Ah...Sudahlah aku pulang saja.
"Hei cari siapa?" Seseorang memanggilku. Seketika aku berhenti melangkah dan bingung harus bagaimana. Suara kaki orang yang memanggilku itu sepertinya mendekat bahkan aku bisa merasakan jika dia membuka pagar rumahnya.
"Cari siapa dek?" Tanya orang tua itu. Dia benar-benar ada dihadapanku sekarang bahkan menatapku.Ya...itu Martin Sagara. Haruskah aku langsung memanggilnya ayah?.
"Eh pak, kayanya saya salah jalan, maaf ganggu."
"Mau kemana emang?"
"Hm...ja...jalan Damri pak.."
"Waduh...itu masih jauh darisini. Kenapa bisa kesasar?naik apa kamu?"
"Angkutan umum pak."
"Duh emang suka ngaco tuh ngasih tahunya yang penting mobil ke isi. Kamu harus balik lagi ke depan komplek, naik aja angkot yang jurusan ke damri, ada kok."
"Iya pak, makasih.." Aku dengan sopan. Aku sebenarnya tak terlalu mendengar omongannya. Aku hanya memandangnya saja. Ini seperti mimpi. Ini benarkan ayahku?.
"Pak maaf kalo boleh, apa saya diijinkan untuk beristirahat sebentar dan minta satu gelas air putih aja?."
"Oh iya boleh, masuk-masuk..." Ayah tanpa ragu langsung menyuruhku masuk. Aku pun berjalan mengikutinya.
"Siapa pah?" Tanya seorang wanita yang aku yakin itu istrinya.
"Ini ada orang kesasar kasian mah, pingin istirahat sama minta minum aja. Bisa tolong ambilin?" Ucapnya yang membuat sang istri menatap ke arahku. Mungkin dia takut aku adalah seorang penipu yang akan merampok dirumahnya. Aku duduk dikursi teras dan menunggu wanita tua tadi membawakan minum.
"Siapa namanya?"
"Saya...Dariel pak." Aku mengulurkan tangan.
"Martin." Jawabnya sambil membalas jabatanku. Meskipun hanya sebentar rasanya ini menyenangkan. Ayahku sendiri menjabat tanganku.
"Rumahnya dimana?"
"Hm..." Aku berpikir karena tak mungkin aku memberitahu alamat rumah asliku.
"Jalan Kamboja." Aku menyebut rumahku yang dulu.
"Jauh ya, berarti orang sini dong."
"Saya baru pindah beberapa bulan yang lalu pak."
"Oh...nyari siapa?"
"Hm...sanak saudara pak." Aku mencari alasan lagi. Tidak lama sang istri datang dan meletakkan minuman diatas meja.
"Makasih Bu." Ucapku dan langsung meminum air dalam gelas itu. Aku benar-benar tak mengerti dengan apa yang kulakukan sekarang. Tadinya aku berniat untuk menemui ayahku sendiri tapi melihatnya sudah seperti ini aku jadi ragu untuk mengatakan bahwa aku ini anaknya. Memangnya siapa yang akan percaya jika ada seseorang yang datang dan mengaku-ngaku sebagai anaknya apalagi kejadian itu sudah berpuluh-puluh tahun lamanya. Harusnya aku tak kemari.
"Pah..aku pergi ya.." Ucap seseorang membuatku langsung menoleh kearahnya. Tampak seorang perempuan sedang sibuk menalikan sepatunya.
"Iya hati-hati..."
"Anaknya pak?" Tanyaku pura-pura tak tahu.
"Iya, itu anak bungsu saya. Saya punya 3 anak." Jawabannya membuatku sadar tak akan pernah ada aku didalamnya. 3 anak berarti sesuai dengan informasi dalam dokumen itu. Aku meletakkan gelas itu di meja. Kalo dilihat-lihat lagi. Kehidupan ayah sudah bahagia sekarang. Kenapa harus aku ganggu lagi?. Aku menghela nafas merasa kecewa dengan diriku sendiri. Kenapa harus berbuat bodoh seperti ini?.
"Ya udah Bu, pak, makasih minumannya saya lanjut jalan lagi aja."
"Kalo masih mau Istirahat duduk aja." Sang ibu sepertinya mulai ramah kepadaku tapi aku tak nyaman disini. Jika aku berlama-lama disini mungkin aku akan mengaku jika aku anaknya.
"Ga papa Bu, takutnya bapak sama ibu ada kegiatan lain, saya ganggu lagi. Saya pergi aja. Makasih pak, Bu minumannya." Aku beranjak berdiri sementara mereka mengantarku kedepan.
"Dariel..."
"Iya pak.."
"Saya kaya pernah kenal kamu gitu...Apa pernah kita ketemu?" Perkataanya membuat diam. Aku tak tahu apa waktu kecil kita pernah bertemu atau tidak tapi kalaupun iya aku tak ingat dimana dan kapan. Ibu tak pernah mengajak aku menemuinya.
"Belum pak, mungkin perasaan bapak aja. Saya pamit pak, Bu. Assalamualaikum." Aku kemudian benar-benar berjalan meninggalkan kediaman ayahku. Aku memandanginya sejenak sambil tersenyum dan pergi. Ah...rasanya sedih harus pergi begitu saja dan mungkin aku tak akan pernah lagi kesini. Tujuanku kesini hanya ingin melihatnya bukan meminta pengakuannya. Rasanya akan sulit jika bukan ibu yang bilang sendiri jika aku anak pria itu dan tak mungkin juga itu terjadi ibu saja tak mau berbicara denganku. Aku sudah memutuskan pilihanku. Aku akan membiarkan mereka hidup dengan keluarganya masing-masing. Ayah sudah bahagia dengan keluarganya begitupun ibu yang tak mungkin aku usik lagi meskipun ada Nayla. Aku akan mencari kebahagiaanku sendiri setidaknya aku bersyukur sudah tahu siapa ayahku.
****
Malam ini aku menginap dirumah bapak karena aku tak nyaman berada dirumah sendiri. Setiap kali aku diam dikamar aku selalu ingat pertengkaranku dengan Ara. Ini sudah hari ketiga dan Ara tak memberiku kabar sama sekali. Setiap teleponku tak pernah dia angkat, pesanku pun tak pernah dia balas padahal ketika aku bertanya pada Chandra Ara sedang tak sibuk.
"Kenapa?" Tanya bapak melihatku gelisah sambil terus mencoba menghubungi Ara.
"Ga papa pak."
"Apa bener kamu kesini cuman gara-gara Ara ke luar kota?"
"Iya bener, sepi dirumah mana berisik ada tukang bangunan."
"Belum selesai juga?"
"Belum pak, nanti kalo udah selesai bapak datang ya."
"Coba duduk Riel.." Perintah bapak membuatku langsung berjalan menuju sofa.
"Gimana berumah tangga, seru ya?"
"Ya...gitulah pak. Kadang lagi baik ya baik lagi berantem ya berantem."
"Hubungan kalo baik-baik terus juga aneh ga ada tantangannya gitu."
"Iya pak."
"Jadi ada masalah apa sama Ara?" bapak langsung to the point entah mengapa feelingnya itu selalu benar.
"Ga ada apa-apa pak."
"Ga mungkin. Kamu udah 2 hari diem disini bapak perhatiin ga ada kamu ngobrol-ngobrol sama Ara. Ga ada juga kamu ngomongin Ara kalo lagi sama bapak sama ibu. Biasanya kamu bahas dia terus."
"Aku emang lagi berantem sama Ara dan itu salah aku."
"Kamu bikin salah apa?"
"Pertama, bapak tahukan Nayla?adik aku?dia kerja di Aderald group tapi aku ga kasih tahu Ara. Aku ga kasih tahu dia karena aku takut dia khawatir kalo aku bakalan sedih atau murung. Kemarin-kemarin di salah paham karena aku sama Nayla dinas bareng dan nyangkannya aku selingkuh." Aku berhenti sejenak.
"Kedua, aku marah sama dia gara-gara aku kecewa dia selidiki keluarga aku sampe ayah aku siapa dia cari tahu tanpa bilang-bilang sama aku." Perkataan Dariel membuat pak Stefan duduk tegak.
"Ketiga..ini yang menurut aku bikin Ara marah besar. aku..aku bilang dia ga seurius hamil, aku bilang dia ga bisa hamil gara-gara terlalu sibuk ngurusin keluarga aku." Aku mengakui semua dosaku didepan pak Stefan membuat bapak menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Aku harus gimana pak?"
***To be continue