Memang benar kata pepatah bilag, cinta bisa membuat orang lemah tapi cinta juga bisa memberikan kekuatan. Terbukti apa yang sudah Khanza alami, baru saja kemarin pak Gibran datang menemuinya, embrinya ssemangat untuk lekas pulih dan kembali ke sekolah seperti biasa, pagi ini Khanza sudah siap dengan seragam kebanggaannya.
"Woah, udah sembuh aja nih? Manjur ya, itu snack semalam." Baru saja keluar dari kamarnya, Khanza sudah mendapat godaaan ejekan dari kakaknya. Dia tahu jika sang kakak pasti akan berpikir jika dia sebuh berkat Denis. Pria yang mungkin saat ini masih bergentayangan untuk merebut hatinya melalui Arumi, kakak Khanza.
"Apakah sudah benar-benar pulih? Jika kau masih sakit biar ayah pergi ke sekolah untuk mohon izin jika kau masih sakit." Sang ayah kini menambahkan. Karena dia tak ingin melihat puterinya mengalami demam tinggi seperti pada malam sebelumnya hingga membuat Khanza sampai mengigau tak menentu.
"Aku sudah sembuh, ayah. Nih, wajahku sudah kembali segar dan cantik bukan? Tidak seperti kemarin-kemarin," jawabnya melempar senyuman lebar menunjukkan giginya yang putih bersih.
"Tentu, kau harus segera sembuh dan kembali ke sekolah. Sebentar lagi ujian bukan? Nilaimu jangan sampai turun," ujar ibu Khanza sembari meletakkan nasi goren di piring yang sudah siap di depan Khanza. Dia hanya tersenyum menanggapi ucapan ibunya, sebab dia tak ingin salah bicara untuk mengundang pikiran negatif ibunya lagi, meski itu fakta.
Dengan cepat-cepat dia menghabiskansarapannya untuk segera pergi ke sekolah, sebab dalam hatinya sudah di penuhi gemuruh yang terus bergejolak untuk bertemu kembali dengan guru kesayanannya, ah tidak. Lebih tepatnya kekasih gelap Khanza. Bahkan dalam hati dia sudah membiasakan diri untuk menyebut dirinya hanyalah kekasih gelap, walau begitu dia merasa jika dalam hati pak Gibran dia kini nomor satu. Dilihatnya sebentar sang kakak yang sibuk dengan ponselnya saat di meja makan.
Cih, dia pasti selalu bermesraan dengan pacarnya itu. Ini masih pagi, apakah mereka saling mengirim kecupan manis lewat online? Dih… norak!
Sembari menggerutu Khanza beranjak bangun lalu mengecup punggung tangan ayah dan ibu nya bergantian sebelum ia pergi ke sekolah.
"Hati-hati di jalan!" ujar ibu nya setengah berteriak. Khanza hanya melambaikan tangan sembari keluar rumah dan lalu menaiki sepeda mininya.
~
Saat tiba di sekolah, seperti biasa Khanza memarkir sepedanya selalu di tempat yang baginya aman dan bisa melindungi sepeda mini keesayangannya itu dari panas terik matahari yang bisa saja merusak warna cat sepedanya. Dia melihat sepeda Chika sudah terparkir lebih dulu.
"Wah, dia pasti sangat senang aku kembali masuk hari ini."
Dengan senyuman ceria Khanza berjalan setengah berlari untuk segera sampai di kelas, untuk memberikan kejutan pada sahabatnya itu. Sebab semalaman dengan sengaja dia mengabaikan panggilan dan pesan singkat yang dikirimnya untuk Khanza. Langkah kaki Khanza kian melemah setelah dia melihat sosok yang sebenarnya dia ingin temui lebih dulu berjalan di depannya hendak menuju ke ruang kantor. Dengan cepat Khanza berbalik badan, hatinya bergetar hebat, entah kenapa dia mendadak merasa nervous.
"Hayo, mau lari kemana?"
Khanza terhentak mendengar suara itu yang akhirnya menghentikan langkahnya.
"E,eh… ha-halo. Selamat pagi, pak." Setelah berbalik badan dengan terpaksa dia menyapa pak Gibran yang dia pikir tidak menyadari kedatangannya di sekolah pagi ini. Lalu pak Gibran melangkah menghampiri Khnaza untuk lebih dekat tanpa ragu. Sementara itu membuat hati Khanza kian bergemuruh, memundurkan langkah kakinya pelan.
"Apa kau sudah sembuh betul, sayang?" tanya pak Gibran dengan suara berbisik.
Khanza membeliak dengan wajah yang memerah semu, dalam hatinya kian campur aduk tak menentu.
"Su-dah, pak. Saya sudah sehat, maka itu saya kembali ke sekolah." Jawabnya dengan gugup. Meski begitu dia enggan memalingkan wajahnya dari tatapan nakal pak Gibran.
"Hmm, syukurlah. Aku ikut lega, jangan sakit lagi!" ucapnya memberikan titah pelan, lalu tersenyum nakal menatap sekujur tubuh Khanza. Tak ada jawaban lagi, Khanza hanya mengangguk ragu.
"Ya sudah, kembali ke kelas!" titahnya lagi dengan tegas. Tanpa berkata lagi pun Khanza langsung melewatinya untuk pergi ke kelas.
"Ah, Khanza. Kenapa kau mendadak salah tigkah dan gugup sih ketemu dia? Apa iya karena kau sudah benar-benar mencintainya begitu dalam? Akh, entahlah." Sembari merutuki dirinya dia terus berlarian menuju ruang kelas. Sesampainya di kelas dia pun mengetuk pintu dahulu dengan sengaja, untuk mengalihkan pehatian beberapa temannya di kelas khususnya Chika, sahabatnya.
Setelah perhatian mereka teralihkan pada Khanza yang masih berdiri di tengah pintu, beberapa dari mereka menyambutnya dnegan senang. Khususnya para cowok-cowok di kelas Khanza. Namun tidak dengan Chika yang seketika membuang muka kesal.
"Hah, sudah ku duga. Dia pasti akan menyambutku demikian." Ucapnya sembari melangkah masuk ke dalam kelas.
"Pagi, sayang aku. Emmuach!" Khanza mulai menggoda sahabatnya, dengan merangkul leher Chika lalu mengecup manja pipinya.
"Iih, Za. Jijik tau ah," ucap Chika membantahnya lalu menggosok-gosok pipinya ang basah oleh bekas kecupan Khanza. Kemudian mereka tertawa bersama setelah saling menatap tajam sejenak, persahabatn ereka terkadang seperti sepasang kekasih yang selalu saling merajuk manja satu sama lain.
Setelah pelajaran di mulai, seperti biasa. Pak Gibran selalu melempar tatapan buasnya diam-diam ke arah Khanza yang sibuk meengerjakan tugas. Tak sedikitpun Khanza menolehnya karena saat ini dia datang ke sekolah ialah berniat untuk mengejar catatan beberapa mata pelajaran yang ia tinggalakn selama izin dua hari kemarin.
"Za, kekasih mu daritadi liatin kamu mulu," ucap Chika berbisik.
"Ya, aku tau. Biarin aja, mungkin dia rindu." Dengan acuh Khanza menjawab,
"Cih, dasar. Iya deh aku tau yang habis ketemuan dirumah, apakah belum puas melepas rindu?'
"Ssstt… tau darimana tentang itu hah?" dengan mata melotot lebar Khanza membalas ucapan Chika. Bagaimana mungkin dia tahu hal ini, Khanza mulai menyipitkan matanya kemudian untuk mengintrogasi sahabatya itu.
"A-apa? Mengapa kau menatapku tajam begitu? Huh, kau pikir aku tidak tau jika pak Gibran datang untuk menjengukmu?"
"Katakan siapa yang memberitahumu?" tanya Khanza dengan galak. Chika dibuat ketawa cekikkan hingga akhirnya bel berbunyi, menunjukkan jam pelajaran pertama berakhir. Dengan cepat Chika hendak melarikan diri dengan keluar kelas lebih dulu. Sebelum Khanza mengejar dan terus menangkapnya.
Seluruh murid sudah berhamburan keluar kelas. Seolah sengaja, pak Gibran memperlambat untuk keluar dari kelas karena dia melihat Khanza masih tertinggal di kelas. Lalu kemudian, Khanza beranjak bangun dari posisi duduknya setelah menyelesaikan catatannya tanpa menyadari jika ternyata pak Gibran masih di dalam kelas.
"Eh?" Khanza sungguh terkejut. Setelah menyadari kini hanya tinggal dia saja berdua dengan pak Gibran yang tersenyum padanya.
"Jangan makan sembarangan, kalau bisa jangan memakan bakso dengan sambal yang pedas dulu. Kau baru sembuh dari sakit," ucap nya pada Khanza dengan nada penuh perhatian.
"Hem, terimaka-sih." Jawab Khanza singkat.
"Baiklah, aku senang bisa melhatmu lagi di sekolah. Ya sudah, pergilah ke kantin."
"Apakah bapak yang memberitahu Chika kalau bapak datang menjengukku dirumah?"
Pak Gibran berbalik badan kembali setelah tadi sudah hendak akan pergi meninggalkan kelas dan Khanza yang masih berdiri menatapnya canggung.
"Hmm, aku hanya memastikan dan memberitahunya jika kau hari ini sudah akan kembali ke sekolah, aku baru memberitaunya pagi tadi. Sebeum kau datang ke sekolah," jelasnya mengiyakan. Kemudian di susul dengan lenguhan nafas panjang Khanza. Pak Gibran menatapnya heran, lalu mengeluarkan lima lembar kertas uang seratus ribu kepada Khanza setelah melihat sekeliling tak ada yang melihat ini.
"Apa ini?" Khanza bertanya cetus.
"Pakailah, aku ada sedikit uang lebih." Jawab pak Gibran dengan senyuman hangat. Kedua bola matanya seakan penuh harap jika Khanza akan senang menerimanya. Lalu kemudain dia oergi begitu saja setelah uang itu kini berada dalam genggaman Khanza yang masih tarpaku keheranan di tempat.