"Berhenti mencampuri urusanku?! Kau itu bukan siapa-siapa di sini sedang aku ... aku adalah tunangan pemilik rumah ini Zen Pranaja!" Maria tentu saja tak percaya dengan ucapan si wanita angkuh di depannya.
Zen sudah menceritakan bahwa dia tak tertarik dengan seorang wanita hanya Maria saja yang membuatnya ... Astaga kenapa Maria memikirkan perkataan Zen. Karena itu wajahnya tersipu malu.
"Kamu jelas bohong. Zen tak pernah punya tunangan, jangankan pacar tertarik pun tidak sama sekali!" Si wanita mendecih.
"Kau ini siapa sih? Kenapa kau ada di sini?! Apa kau orang baru yang bekerja di kediaman Pranaja?!" tanya si wanita menyelidik.
Maria hendak membuka suara namun sebelum itu terjadi sesosok pria datang menghampiri dengan pandangan tajam.
Derap langkah kakinya membuat semua mata tertuju pada pria itu. Siapa lagi kalau bukan Zen.
"Zen sayang akhirnya kamu sudah pulang." ujar si wanita dengan girang. Dia pun melangkah mendekat pada Zen seraya memasang wajah kesal.
"Zen kau tahu wanita sana mencampuri urusanku padahal aku sudah bilang kalau aku tunanganmu tapi dia tak percaya dan tak mau aku ke lantai dua." Perhatian Zen sama sekali tak tertuju pada si wanita yang kini mendekat bahkan hampir merangkul lengannya.
Dia pun berjalan melewati si wanita yang langsung membulatkan mata. Tindakan dari Zen membuktikan bahwa pria itu menolak dan dirinya malah mendekat pada Maria. "Maaf ya membuatmu kerepotan, sayang."
Langsung saja wajah Maria tersipu malu apa lagi Zen mengukir senyuman manis makin membuat istri palsunya tak berdaya. "D-dia itu siapa? Ke-kenapa dia memanggilmu tunangan?"
"Oh dia ...." Zen kali ini memandang pada si wanita secara sekilas daan kembali pada Maria.
"Dia bukan siapa-siapa hanya seorang wanita yang tergila-gila padaku." Baik Maria dan si wanita yang tak dikenal, mereka menunjukkan wajah suram.
"Kau keterlaluan sekali, Zen. Katakan padaku yang sejujurnya, kau apa punya hubungan dengan dia?" tanya Maria mengintimidasi.
"Tidak." jawab Zen lugas. Tak ada keraguan sedikit pun yang terdengar.
"Zen?!" Ucapan tersebut keluar dari mulut si wanita yang ditolak mentah-mentah namun sekali lagi dia menelan pil pahit sebab tak diindahkan oleh Zen malah pria yang disukainya mengucapkan kata manis untuk seorang wanita yang tak dia kenal.
"Karena hanya kamu yang membuatku tertarik Lizzy."
"Huh, diam kau!" Zen tak diam bahkan suami palsunya tengah sibuk tertawa kecil.
"Kau manis sekali jika malu seperti itu."
"Aku bilang diam!" Si wanita yang tak mendapat perhatian itu mendengus. Dia pun berteriak lantang memanggil nama Zen.
Keduanya menoleh dan sebab itu dia langsung mengeluarkan kata-kata kasar. "Siapa dia?! Apa kamu mengkhianati aku?!"
"Memangnya siapa kau?" tanya Zen dengan tampang polos.
"Hah? Kau tak kenal aku?! Kita bertemu dua minggu lalu saat aku ikut Ayah ke perusahaanmu untuk bekerja sama. Jelas di sana saat Ayah mengatakan kau cocok menjadi calon suamiku dan kau tertawa."
"Oh soal itu. Namamu Dorothy, apa aku benar?"
"Ya itu aku." Zen lagi-lagi tertawa.
"Ayahmu memang mengatakan itu tapi aku tak menjawab kalau mengiyakan untuk menjadi suamimu karena aku sudah punya istri." Pastinya Dorothy terkejut.
"Hah?! Kau menikah?! Kapan dan siapa orangnya?"
"Ini yang ada di hadapanmu." balas Zen santai seraya menepuk bahu milik Maria yang langsung membeku.
Tatapan Dorothy begitu kesal saat tahu bahwa wanita yang menahannya adalah istri dari pria pujaan. "Sial, Zen kenapa kau tak memberitahuku? Kalau begini aku tak akan menaruh keinginan besar." Wanita itu lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Setelahnya Maria bernapas lega tetapi kemudian menyikut lengan Zen. "Kau memanfaatkanku lagi?"
"Hahaha ... maaf ya tapi aku sangat risi dengan perempuang yang memiliki sifat sama dengan si roti."
"Roti?"
"Iya Dorothy." Maria lantas ber-oh ria mengerti dengan maksud Zen.
"Tapi tetap saja itu menjengkelkan. Lain kali bilang dong kalau kamu mau memanfaatkanku nanti aku ikut juga kok berakting. Lagi pula kita ini bukan pasangan suami istri yang sebenarnya jadi ingatlah semua yang kita lakukan ada batasan." Bukannya menyimak Zen memutar matanya bosan.
Maria itu sama dengan perempuan lain yang suka banyak bicara tapi jika yang lain berlomba-lomba menarik perhatian Zen tapi Maria mengomelinya. Hmm ... dia jadi rindu pada Lizzy, Ibu angkatnya karena wanita itu sering mengomel kalau Zen membuat kesalahan.
Kini Maria yang memakai wajah Ibunya sewaktu muda mengomel. Mengingat masa lalu Zen pun tertawa kecil. "Kenapa kau tertawa?! Apa ada yang lucu?" Zen menggeleng kendati senyuman menghiasi wajahnya yang tampan.
"Hanya mengingat masa lalu itu saja."
"Oh iya kalau kau mengatakan masa lalu dari tadi ada saudara kembar Ibumu dan suaminya datang."
"Maksudmu Bibi Lisa dan Paman Dimas?"
"Iya itu. Mereka kaget loh melihatku dan kami berbincang sedikit. Awalnya kakek itu agak kesal sih dengan tindakanmu tapi akhirnya mengerti. Dia pun meminta tolong agar aku merawat Nenek Lisa supaya Nenek senang." Tatapan Zen seketika menerawang, berpikir keras.
Zen tak berpikir tentang keluarga Lizzy. Dia juga tak meminta izin dan pasti jika bertemu dengan keluarga Pranaja maka akan terjadi suatu keributan. "Hei kenapa bengong begitu?"
"Tentu saja aku berpikir keras. Maria aku rasa kau harus bertemu dengan seluruh keluarga Pranaja dan meminta izin secara baik-baik. Aku pun memperhitungkan segala kemungkinan yang ada."
"Aku juga merasa tak enak. Jadi kapan kita ke pergi?"
"Bukan kita yang menghampiri mereka tapi mereka yang menghampiri kita. Aku akan menghubungi mereka untuk datang ke sini karena sebentar lagi akan ada pesta ulang tahun pernikahan Ibu dan Ayah angkat. Pesta itu di adakan secara meriah kendati pasangan tersebut sudah tiada. Ini semacam pesta yang wajib disiapkan untuk mengenang mereka."
"Tapi kali ini berbeda. Aku akan mengundang keluarga Paulo sebagai tanda kalau aku memiliki hubungan baik dengan mereka. Selain untuk memperkenalkanmu pada keluarga dan rekan bisnisku, kita akan menjalani rencana tahap kedua. Bagaimana kau setuju dengan usulanku?"
"Pesta?" Segaris senyuman tampak di wajah Maria. Dia tak sabar ingin melihat bagaimana hubungan mereka setelah Maria memanas-manasi Taffy juga masih ada Hera beserta kepala keluarga Paulo yang belum menampakkan diri.
"Tentu saja. Jika ini menyangkut keluarga Paulo aku akan setuju jadi kamu tinggal menyuruh melakukan sesuatu terhadap mereka."
Inilah yang Zen sukai dari Maria. Dia patuh juga senang dimanfaatkan ketika dilibatkan rencana pembalasan dendam. Zen punya firasat baik dan malangnya bagi keluarga Paulo karena mereka tak akan bisa lepas dari cengkeraman Zen bersama Maria. Sudah cukup mereka menderita kini giliran mereka yang harus mendapat akibat dari perbuatan sendiri.