Pria muda dengan postur tubuh yang tegap, atletis, tampan, pintar, rambut yang disisir rapi ke atas memperlihatkan dahi dengan bentuk yang sempurna, alis tebal, hidung mancung, garis rahang yang tegas, kulit putih dengan kharisma yang benar-benar menawan. Aiden Rawles, meraih puncak kesuksesannya di umur yang ke tiga puluh tahun.
Kesuksesannya tak bisa dipungkiri lagi, selama beberapa tahun terakhir ini, Aiden telah membawa perusahaan Diamond Group duduk di peringkat satu sebagai perusahaan dengan perkembangan omset tertinggi versi majalah Times.
Namun, di balik semua kesuksesan, tentu saja ada tim yang hebat di belakangnya. Dan pastinya, akan selalu ada orang yang menjadi tangan kanan kepercayaan.
Emma Harisson, sang sekretaris kepercayaan Aiden Rawles. Seorang wanita di balik kesuksesan Aiden. Pintar, pantang menyerah, berintegritas, memiliki sejumlah ide yang brilliant, mandiri dan selalu dapat diandalkan. Dia bukan hanya wanita dengan tipe pekerja keras. Namun, juga tipe pekerja cerdas. Sedari kecil, Emma sudah dididik untuk menjadi Sekretaris Diamond Group. Takdirnya seakan sudah ditentukan oleh almarhuma ibunya. Bila anak gadis lain masih bisa bermain di taman hiburan, memeluk boneka dengan dongeng sebelum tidur, maka Emma harus belajar cara berjalan yang benar, cara berbicara yang baik, cara makan para kaum kelas atas. Mulai dari kecil sampai kuliah, Emma sudah diperhadapkan dengan komputer dan gadget untuk keperluan bisnis, cara mengetik dan membaca dengan cepat, cara menganalisa grafik, cara membaca table, cara merekap data, cara menyusun file yang benar, cara berkomunikasi yang baik, dan juga seluruh tata cara menjadi asisten pribadi. Mulai dari TK sampai kuliah, seluruh biaya pendidikan Emma telah ditanggung oleh Diamond Group. Tidak ada celah untuk keluar dari sana, terlebih ini juga adalah permintaan ibunya yang terakhir.
Megan Harisson, Sekretaris dan orang kepercayaan Diamond Group. Seorang single mother yang membesarkan Emma seorang diri. Ellena hidup tanpa kasih sayang seorang ayah, tapi, ia hidup berkelimpahan dengan tanggung jawab seorang ibu. Meski tegas. Namun, Megan memiliki banyak kasih sayang untuk Emma. Hidupnya seakan hanya untuk Emma dan Diamond Group. Megan Harisson meninggal saat Emma masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Dia benar-benar seorang wanita yang cerdas. Dan Emma, tentu saja ia mewarisi kecerdasan ibunya.
***
Malam sudah menunjukkan pukul sembilan. Aiden masuk ke dalam ruangan ekslusif dan mewah dengan tulisan CEO di depan pintunya. Wajahnya nampak sedikit lelah sepulang dari pesta perayaan ulang tahunnya yang ke tiga puluh.
Aiden tidak terlalu suka dengan pesta. Sejak ia dilantik menjadi Direktur Utama Diamond Group menggantikan ayahnya 'Alex Rawles' ia sangat jarang menghabiskan waktunya seperti pemuda yang lain. Aiden akan lebih memilih kerja, kerja, dan bekerja. Tidak heran ia membawa Diamond Group menduduki penghargaan The Fastest Grow Company.
Saat Emma masih dalam masa pendidikan, Aiden bekerja dengan sekretaris yang lain sampai Emma benar-benar siap bekerja untuk Aiden.
Dan di sinilah mereka, setelah bekerja selama tujuh tahun bersama, dengan kolaborasi dan profesionalitas yang sempurna. Sesuatu yang di luar dugaan Emma pun terjadi.
***
Emma mengikuti Aiden di belakangnya, membawakan jas yang Aiden lepaskan saat berjalan di koridor. Keadaan kantor sudah sangat sepi. Tidak ada seorang pun di sana selain petugas keamanan yang bertugas di mejanya.
Tuk tuk tuk.
Langkah kaki Aiden terdengar menggema. Emma mengikuti kecepatannya dengan sangat baik. Tidak terlalu cepat, dan juga tidak ketinggalan. Begitu masuk di ruangan CEO. Aiden segera duduk di kursi putarnya. Merenggangkan otot leher dengan ekspresi kelelahan.
Emma maju perlahan lalu sedikit menunduk di hadapannya. "Apa anda kembali ke kantor untuk bekerja pak Aiden? Maaf jika Saya lancang, tapi, sebaiknya Anda kembali untuk beristirahat. Jadwal Anda hari ini sangat padat. Saya akan menelepon pak Willy untuk—"
Aiden mengangkat tangannya, pertanda meminta Emma berhenti berbicara. Wajahnya datar, sambil mengembuskan napas.
"Huuuuffffttt. Tidak usah Emma," ucapnya, "Aku akan menyetir sendiri."
"Baik, Pak," jawab Emma lugas.
"Hasil rekapan data dan time Line project baru dengan Star Light group apa sudah selesai?
"Sudah, Pak. Saya juga sudah email ke Bapak, tinggal menunggu keputusan Bapak untuk lanjut atau tidak."
"Hmm .... Bagaimana dengan meeting bersama CEO Clever Group untuk membahas kerja sama kita?"
"Sudah diaturkan besok jam sepuluh pagi, Pak."
"Permasalahan produksi di cabang tiga?"
"Saya sudah melakukan investigasi, sementara menunggu berita terakhirnya dan kita siap membahasnya. Waktu dan tempat akan saya infokan lagi kepada Bapak setelah mendapat kabar terbaru."
"Apa masih ada masalah yang lain?"
"Tidak ada, Pak."
"Makan siang dengan walikota?"
"Sesuai Schedule, Pak, akan dilaksanakan lusa. Dan pengajuannya sudah disetujui."
"Oh iya, tolong aturkan juga pertemuan dan jamuan untuk Klien kita dari New York, barusan Saya dapat kabar dari mereka."
"Noted, Pak. Akan saya masukan ke dalam jadwal bapak."
"Jangan lupa arrange meeting dengan tim RnD, kenapa sampai sekarang Saya belum menerima ide project untuk produk baru?"
"Noted, Pak! Akan saya aturkan dan persiapkan tim RnD kita."
"Jangan lebih dari satu minggu, kita harus bergerak lebih cepat!"
"Baik, Pak!"
"...." Aiden terdiam sejenak sambil memegang dagunya.
"Apa ada lagi yang bisa saya bantu, Pak?"
"Tidur denganku!"
"Heuh?"
"You Sleep with me ... tonight!"
"WHAT? Ehm ..., maaf, Pak." Emma kembali menunduk dan memelankan volume suaranya, ia secara refleks terkejut mendengar perintah terakhir dari bossnya. "Apa maksudnya Bapak, saya ... dengan bapak? Ehm ...." Emma memiringkan kepala bingung.
Aiden mengangkat wajahnya dan menatap lurus ke wajah Emma.
"Kenapa? Kau tidak menyukaiku?"
"Bu-bukan begitu, Pak, tapi ..., Saya ...."
"Bukan begitu? Berarti kau menyukaiku."
"Heuh?"
"Jawabannya hanya iya dan tidak!" ucap Aiden tegas.
"Oohhh. Biar saya mencarikan wanita untuk Bapak."
"Tidak! Aku hanya menginginkanmu."
"Saya?" Emma menunjuk hidungnya. "Hahaha. Selera humor bapak sangat baik akhir-akhir ini." Emma tertawa awkawk, sekaligus berharap Aiden hanya bercanda.
"Aku tidak bercanda!"
DEG!
Aiden menjawab tegas dengan tatapan yang serius. Ia sama sekali tidak terlihat sedang bercanda.
"Tidur denganku malam ini, atau Kamu Saya pecat. Dan kamu tahu sendiri kontrakmu berbeda dengan karyawan yang lain. Kamu harus mengganti seluruh biaya pendidikan, pelatihan, dan semua yang tertulis di dalam kontrak," ucap Aiden seakan bernegosiasi dengan klien bisnis.
Akan selalu 'tidak ada pilihan yang lain' jika harus bernegosiasi dengan Aiden. Dia benar-benar seorang negosiator yang hebat.
Emma semakin gugup. Jantungnya berdebar begitu keras. Ia tidak pernah menyangka, pria yang dilayaninya selama ini sebagai atasan, untuk pertama kalinya meminta hal yang di luar tugas dan tanggung jawab Emma. Emma memang sering mengurusi segala keperluan pribadi Aiden Rawles, baju yang akan ia pakai, menemani saat berolah raga, sarapan, makan siang dan malam, bahkan Emma juga selalu menyiapkan segala keperluannya, termasuk membantu memasangkan dasi dan jas di pagi hari bila sedang diperlukan. Atau pun membantu Aiden untuk beristirahat saat harus pulang mabuk, mengantarkan ke dokter pribadi, dan segala keperluan pribadi yang lainnya.
Aiden masih menatap Emma yang kini tengah menggigit bibir bawahnya, dan menarik jari telunjuknya. Wajah Emma terlihat gugup dan takut. Aiden mengangkat alisnya menunggu jawaban Emma.
"So, yes or no? Kamu tahu aku tidak suka menunggu lama."
Emma tidak menjawab.
"Emma?"
" ...." Emma kembali hanya terdiam.
Aiden melepas tatapan seriusnya lalu mengangguk. "Hmmm ... tidak menjawab, ya? Sepertinya Aku paham. Kamu sudah memiliki kekasih. Maaf jika seperti itu." Aiden tersenyum kecewa di ujung kalimatnya.
"Tidak! Ehm ... maksud Saya belum. Saya belum memiliki kekasih."
Aidem kembali duduk bersandar, ekspresi wajahnya berubah merekah. Ia semakin tertarik. Merasa sedikit menang dengan negosiasi ini.
"So, you free?"
"I-iya ... tapi, bukan berarti—"
"Siapkan President Suite di Diamond Hotel, jangan lupa Anggur dan Spa di kamar mandi! Pastikan memakai aroma Lavender! Gunakan Credit Card pribadiku yang ada padamu. Booking Boutique malam ini, pakai dress dan berdandanlah yang cantik. Lakukan sekarang, aku tunggu kamu di sana paling lambat jam sebelas malam. Dan terima kasih atas pekerjaanmu hari ini."
Emma membelalakkan matanya terkejut. Aiden segera berdiri dengan senyum miring penuh kemenangan. Emma terdiam dan mematung di posisinya. Aiden mendekat ke arahnya secara perlahan. Emma semakin gemetar, ia bahkan sedikit meremas jas Aiden yang disampilkan di lengannya. Aiden mendekat dengan tatapan menggoda. Ia maju mendekat ke telinga Emma. Napasnya berembus hangat, membuat seluruh tubuh Emma merinding.
"Akan aku pastikan kita berdua benar-benar menikmati malam ini. Anggaplah sebagai hadiah ulang tahunmu untukku. Aku sangat senang bekerja denganmu selama tujuh tahun belakangan ini .... Saat nya kita merayakannya secara kecil-kecilan. Hmm?"
GLEG.
Emma menelan ludahnya. Keringat dingin mulai membasahi dahinya. Lidah Emma keluh bak dipatuk ular. Ia terdiam sambil menutup matanya erat.
Aiden kembali tersenyum lalu menarik jas yang ada di tangan Emma. Emma terkejut dan membuka matanya. Ia refleks menatap ke arah Aiden.
Emma semakin terkejut, wajah Aiden sudah sangat dekat dengan wajahnya. Sepersekian detik terbesit pikiran nakal di kepala Emma saat melihat daya tarik Aiden. Matanya sayu begitu menggoda, bibirnya terlihat mengkilap dan basah, berwarna merah muda samar dan lembut. Wangi tubuhnya begitu memikat. Pahatan wajahnya nyaris sempurna. Mereka terdiam sejenak saling menatap. Napas Emma menjadi sangat tidak beraturan. Mungkin Aiden pria yang paling tampan dan paling menggoda dari semua pria yang ditemui Emma sampai saat ini. Mungkin, jauh di dalam hati Emma, dan tanpa disadarinya ia juga sangat menginginkan Aiden tanpa batasan antara atasan dan bawahan.
Tak bisa dipungkiri Emma pun adalah seorang wanita dewasa yang juga ada di puncak hasrat. Selama ini hidupnya hanya didedikasikan untuk belajar dan bekerja. Apakah ia juga merindukan sentuhan lelaki?
TIDAK EMMA! Kendalikan dirimu! Apa yang kau pikirkan? batin Emm menolak segala godaan yang bermain di alam bawah sadarnya.
Emma menarik napas, mencoba kembali berpijak pada tingkat kesadaran yang nyata.
Aiden melepaskan tatapannya. Ia berbalik arah dan kembali mengenakan jasnya. Aiden berjalan pelan dan keluar dari ruangan.
Emma hanya terus menatap punggung Aiden yang tegap keluar dari sana.
***
"Oh my God! What the hell is that??!!!"
Emma kini menatap pintu yang telah tertutup. Mencoba mencerna kembali perintah yang diterimanya.
***
TING!
Satu pesan masuk di handphone Ellena.
Jangan sampai terlambat.
- Aiden
Emma meremas handphonenya.
"Oh God! What should i do?"
Bersambung....
Halo teman-teman,saya disini ingin mencoba membuat novel, jadi mohon dukungannya dan saran agar saya lebih bersemangat dalam mengerjakan novel ini.
Ya novel ini original buatan saya jadi waktu upnya tidak menentu,author usahakan akan up setiap hari !!!!
Sampai jumpa di chapter selanjutnya
— ตอนใหม่กำลังมาในเร็วๆ นี้ — เขียนรีวิว