Selesai makan siang, mereka melanjutkan obrolan di ruang keluarga. Kedatangan Clara sepertinya benar-benar membuat ayahnya merasa senang sekali. Berry tidak pernah peduli dengan gadis itu. Toh dia sama sekali tak memiliki urusan dengannya. Meskipun dia berada dalam lingkaran gerombolan tersebut tapi tak ada sepatah katapun yang dia ucapkan untuk ikut bercengkrama bersama dengan dua orang tersebut.
Dan untungnya, sebuah telepon bisa membuatnya memiliki alasan untuk pergi dari sana. "Aku aku balik dulu, Yah." Ucapnya berpamitan.
"Mau kemana?"
"Ada urusan yang harus diselesaikan." Berry tak ingin basa-basi dan dia memilih segera beranjak dari sana. Lebih dulu pergi ke kamar ibunya untuk berpamitan dan setelahnya dia akan pergi dari tempat itu. Tapi sepertinya itu sama sekali tak mudah untuk dilakukan. Karena ayahnya lagi-lagi mencegahnya.
"Kamu nanti akan kembali?" ayah dan anak itu saling berhadapan dan atmosfer disekitarnya menjadi sedikit kaku. Clara masih ada di sana, dan dia menyaksikannya sendiri bagaimana jika kedua orang itu bertemu. Jika dibilang mereka seperti musuh, itu tidak benar. Tapi mereka juga tidak bisa dikatakan akur.
"Aku nggak tahu. Aku udah bilang sama Mama aku nggak janji akan datang lagi." Ayah Berry terlihat tidak nyaman dan bahkan wajahnya terlihat mengubah ekspresinya.
"Ada sesuatu yang ingin ayah bicarakan sama kamu. Ayah minta kamu nanti tetap kembali."
"Aku nggak bisa janji, Yah." Berry kemudian pergi dari sana tanpa lagi menoleh ke belakang. Atau dia akan kembali terjebak di sana dan tak akan pernah bisa kembali lagi. Bukannya dia benar-benar tak ingin kembali tinggal bersama dengan kedua orang tuanya. Hanya saja, dengan dia melakukan itu, dia akan kembali terjerat dan dia tak menginginkan itu terjadi. Dia paham bagaimana sifat ayahnya dan dia tak mau usahanya sela mini menjadi sia-sia.
Dia sudah bisa menopang hidupnya dengan kedua kakinya sendiri, dan dia berharap dia bisa menjadi mandiri sampai kesuksesan itu didapatkan. Memang, untuk sekarang bisa dikatakan dia sudah tidak lagi merasa kekurangan, karena bekerja keras yang dia lakukan selama ini. Dan bukan pula dia lantas berlaku sombong dengan merasa tidak membutuhkan orang tuanya, jelas bukan seperti itu. Tapi, hidup dengan tidak banyak kekangan lebih baik daripada dia harus didikte terus menerus oleh ayahnya.
"Woi!" Berry sampai di dalam rumahnya yang ternyata bukan hanya dua sahabatnya di sana. Tapi ada juga geng dari Cherry. Mereka sedang asyik menyiapkan sesuatu untuk barbeque an di sana dan sudah ada banyak makanan yang di sate. Tinggal mereka nanti akan memanggangnya.
"Banyak sekali makanan. Dan kenapa harus siang-siang?" Berry ikut bergabung duduk di sana dan mengambil satu tusuk sate kemudian menusukkan pada bakso yang diletakkan di dalam baskom.
"Nggak papa siang juga." Aga menjawab, "Sesuatu hal yang tidak direncanakan itu akan lebih berhasil lho. Ini contohnya." Tunjuk lelaki itu pada beberapa bahan makanan yang akan dipanggang nantinya. Ada beberapa makanan yang sudah di kukus kemudian dijadikan sate. Supaya manggangnya tidak terlalu lama. Seperti itulah yang dikatakan oleh Zea tadi.
"Gimana keadaan nyokap lo?" Miko yang bertanya.
"Udah baik. Beliau istirahat waktu gue balik kesini tadi." Ada sebuah lirikan yang diberikan Berry kepada Cherry dan itu hanya lirikan kecil. Cherry sejak tadi hanya diam saja dan sibuk dengan pekerjaannya.
"Syukurlah." Jawab Miko.
Aga sudah menyiapkan panggangan yang akan digunakan untuk membakar sate-sate itu. Api pun sudah menyala dan pas untuk membuat makanan itu matang jika berada di sana. Ada sebuah lahan sisa di belakang rumah mereka, dan mereka melakukannya di sana dengan dikawani sepoi angin yang luar biasa sejuk.
Ara dan Zea pun sudah mulai sibuk membakar, dan tinggallah Berry dan Cherry berdua. Keadaan tentu saja hening. Tak ada dari dua orang itu yang melakukan percakapan sama sekali. Hanya diluar saja yang terdengar ricuh. Dan untuk menambah kesan 'pesta' tambahan music yang mengalun dengan lembut di sana.
"Ke belakang, Ayo!" ajak Cherry kepada Berry mengangkat semua makan yang sudah siap untuk di bakar, dan berdiri.
"Sini, biar aku saja yang bawa." Berry mengambil alih dan justru melangkah lebih dulu. Mereka bergabung dengan keempat orang di sana. Ide ini sebenarnya tercetus secara tiba-tiba. Kemudian mereka berangkat ke supermarket untuk membeli semua bahannya, dan membuatnya di rumah. Ada banyak sekali makanan yang diberi. Mulai dari sosis sampai sayuran.
Cherry ikut memasak, dan dia dengan cekatan melakukannya. Terlihat sudah terbiasa. Karena itu, Aga berceletuk. "Cherry sering ya barbequean?" tanyanya, "Kelihatan mahir banget bolak-balik satenya."
"Dia itu memang bakat dalam menjual sate." Celetuk Ara. Cherry hanya menanggapi dengan senyuman. Bahkan dia menambahkan,
"Iya, gue dulu itu emang penjual sate yang handal pada masanya."
"Kapan itu tepatnya?" Miko bertanya.
"Pada masa perang dunia kedua." Candaan-candaan garing seperti itu memang terdengar menggelikan, tapi tetap saja membuat meriah suasana. Siapa yang menyangka jika akhirnya dua gerombolan itu bisa menjadi kawan. Kalau tidak karena tugas kampus, mungkin mereka sekarang hanya sekedar kenal saja. Tapi justru sekarang mereka sudah akrab satu sama lain.
Berry ikut duduk di bawah dengan tikar terbentang di sana. Bukankah seharusnya para lelaki yang membakar makanan itu? justru para gadis lah yang melakukannya. Tapi tak lama setelah itu, Berry kembali berdiri.
"Biar aku aja yang bakar." Begitu katanya kepada Cherry. Dia meminta kipasnya dan mulai untuk beraksi. Dua temannya yang melihat itu berdehem dan ikut beranjak dari sana. Menggantikan para gadis dan kini giliran mereka yang duduk dan melihat bagaimana aksi dari para lelaki.
Tak lama setelah itu, mereka makan dengan lahap. Ada banyak sekali makanan dan sepertinya itu akan membuat perut mereka kekenyangan. Mereka semua menikmati makanan nya. Miko mengatakan mungkin ada baiknya kalau mereka sering melakukanya, karena ini sangat menyenangkan.
Dan yang lain menyetujuinya. Perkumpulan yang positif ini akan lebih baik dibandingkan mereka nongkrong di tempat-tempat yang tidak jelas. Ada banyak pengaruh buruk di luar sana.
Sore hari, akhirnya mereka menyelesaikan pesta. Ara dan Zea pulang berdua karena memang rumah mereka searah. "Lo serius nggak mau gue antar?" Zea yang bertanya.
"Naik gojek aja nggak papa lah. Kalian rumahnya jauh. Kalau anterin gue dulu, kemalaman nanti." Sebenarnya tidak sejauh itu, hanya setengah jam saja dari kampus mereka. Sedangkan kontrakan yang ditempati oleh Berry dan kawan-kawan ini berada di perumahan di depan kampus.
"Jauh apaan sih, Cher? Nggak papa gue antarin aja." Zea ngotot.
"Nggak usah, serius deh." Cherry memang tadi setelah dari rumah sakit, langsung ikut berbelanja dengan mereka setelah Ara mengatakan rencananya. Sedangkan dia tak membawa kendaraannya.
*.*