Emma mendengarkan Haoran bicara kepada empat 'anak buahnya' tentang rencana belajar bersama Emma dan berapa mereka harus membayar gadis itu untuk dua pertemuan seminggu.
Gadis itu ternganga hampir tidak percaya ketika Haoran menyebut mereka masing-masing harus membayar 50 dolar untuk setiap pertemuan. Dengan begitu Emma akan memperoleh 500 dolar dalam dua pertemuan seminggu dari kelima murid lesnya.
Haoran sendiri akan membayar biaya lesnya setahun di muka. Ia meminta Emma memberikan nomor rekeningnya dan dengan santai pemuda itu mentransfer uang senilai $5.000.
"Tunggu dulu.." Emma menjadi tergagap saat ia membuka ponselnya dan matanya terbelalak melihat notifikasi transfer uang yang demikian besar. "Ini banyak sekali. Bagaimana bisa kau membayarku setahun di muka? Bagaimana kalau kau tidak suka belajar bersamaku? Atau bagaimana kalau aku mati tiba-tiba...? Uangmu akan sia-sia..."
"Bagus, kan? Aku sengaja membayarmu setahun di muka, biar kau jangan mati tiba-tiba. Aku akan sangat kehilangan kalau sampai kau mati," jawab Haoran sambil menyengir lebar sekali.
Emma menatap Haoran dengan pandangan penuh terima kasih, lalu mengangguk.
"Terima kasih. Kau adalah teman pertamaku dan sangat baik kepadaku. Aku akan selalu mengingat kebaikanmu ini," kata gadis itu dengan sungguh-sungguh.
Haoran hanya mengangkat bahu. "Aku tidak memberimu uang cuma-cuma, kau bekerja untuk mendapatkannya. Jadi, jangan terlalu merasa berutang budi."
Mereka lalu membahas rencana belajar setiap hari Rabu dan Jumat di rumah Haoran dan Emma akan bertemu keempat murid lesnya pada hari Rabu saat ia datang kembali ke sini.
"Di sini tidak ada kendaraan umum. Sebaiknya kau naik taksi saja lain kali," kata Haoran saat Emma permisi pulang. "Untuk sekarang aku bisa mengantarmu."
"Eh.. tidak usah. Aku bisa berjalan ke halte bus, hanya 1 kilometer kok dari sini," kata Emma berusaha menolak, tetapi Haoran tidak menggubris penolakannya.
Pemuda itu mengambil kunci mobil dari laci dan mengacungkannya ke arah Emma.
"Ayolah ikut. Aku sudah mempunyai SIM dan bisa mengantarmu," kata pemuda itu bersikeras.
Akhirnya Emma mengalah. Haoran mengajaknya turun ke garasi dan ia mengeluarkan mobil sport terbaru yang keren sekali. Pemuda itu membukakan pintu untuk Emma sebelum masuk ke bangku pengemudi. Setelah gadis itu memasang seatbelt-nya, Haoran segera memacu mobilnya ke arah Ylang Avenue.
Di sepanjang perjalanan mereka mengobrol tentang hal-hal remeh, dan Emma merasa keheranan dengan dirinya sendiri karena ternyata ia bisa berbicara banyak hal kepada Haoran. Dari dulu dia adalah seorang gadis yang tertutup dan tidak banyak bicara. Tetapi rupanya kehangatan sikap Haoran mampu membuat Emma pelan-pelan mulai terbuka.
"Jadi kau adalah anak angkat negara? Aku sudah mendengar tentang program itu, tetapi belum pernah bertemu dengan seorang pun yang sepertimu. Ini menarik sekali," komentar Haoran. "Pantas saja kau sangat pintar. Setahuku memang mereka hanya memilih anak-anak cerdas untuk diadopsi."
"Terima kasih." Emma mengangguk. "Pemerintah memperlakukanku dengan sangat baik. Aku tidak akan melupakan kebaikan mereka. Tetapi aku mau mencari orang tua kandungku."
"Mereka di Paris?" tanya Haoran ingin tahu.
Emma menggeleng. "Aku tidak tahu. Jejak mereka terakhir kali ada di sana, jadi aku mesti ke sana untuk mencari tahu. Itu sebabnya aku bertekad untuk pergi ke sana."
"Hmm.. semoga berhasil." Pemuda itu mengangguk-angguk.
Sebenarnya Emma ingin menanyakan alasan kenapa Haoran sengaja tidak naik kelas, tetapi ia merasa tidak enak ikut campur urusan orang lain. Karenanya ia hanya menunggu sampai Haoran menceritakannya sendiri.
***
Kehidupan Emma di sekolah berlangsung monoton. Ia hanya belajar dan berusaha tidak menarik perhatian siapa pun. Pada hari Rabu saat Bu Delaval masuk kelas untuk mengajar bahasa Prancis, Emma mendaftar untuk ikut karyawisata ke Paris.
Karyawisata akan berlangsung selama seminggu dan para murid yang ikut acara ini akan mengunjungi tempat-tempat utama di Paris dan sekitarnya seperti Museum Louvre, Menara Eiffel, Istana Versailles, dll.
Emma tertegun saat melihat tanggal acaranya. Kepergiannya ke Paris akan bertepatan dengan hari ulang tahunnya yang ke-17. Sungguh ini akan menjadi hadiah ulang tahun yang sangat indah baginya.
Setelah mendaftar, Emma segera membayar lunas biaya karyawisata dengan uang bayaran yang ia terima dari Haoran. Dari kelas A hanya ada 6 siswa termasuk dirinya yang akan ikut dalam karyawisata tersebut. Total semuanya ada 40 orang kalau digabungkan dengan kelas lainnya.
Sepulang sekolah, Emma buru-buru berganti pakaian dan makan siang lalu berangkat ke rumah Haoran. Hari ini adalah saat pertama ia akan mengajar kelima murid lesnya dan ia tidak ingin memberikan kesan buruk.
Seperti nasihat Haoran, Emma kali ini memilih untuk naik taksi. Ia dapat menghemat waktu agar tidak perlu berjalan kaki dari halte bus yang jauh menuju kompleks Lotus Garden. Seperti biasa ia menyanggul kecil rambutnya di atas kepala agar praktis. Penampilannya tampak sangat kasual dengan jeans dan sepatu kets putih serta kemeja putih.
Emma tiba di Lotus Garden Villa No. 8 beberapa menit sebelum pukul 5 sore. Seperti biasa pelayan rumah membukakan pintu untuknya dan mempersilakannya masuk.
"Hei... Stardust! Perkenalkan ini murid-murid lesmu," kata Haoran sambil berdiri menghampiri Emma saat melihat gadis itu masuk melintasi taman bunganya. Pemuda itu sedang duduk bersantai dengan empat pemuda lainnya yang sedang duduk-duduk di kursi berjemur di tepi kolam renangnya.
Emma mendekati mereka dan tersenyum sedikit. "Selamat sore."
Keempat pemuda itu saling pandang dan cengar-cengir dan menyikut Haoran, seolah memuji selera bosnya.
"Eh, ngapain kalian cengar-cengir di situ? Perkenalkan diri kalian kepada guru les kalian..." cetus Haoran sambil mendelik. Keempat pemuda itu tertawa-tawa dan mengangguk.
"Hei... Stardust, namaku David," cetus seorang pemuda berambut cokelat ikal. Wajahnya yang tampan tampak dihiasi cengiran iseng yang membuat orang sulit menganggapnya serius.
"Aku Dienh," kata seorang pemuda berkaca mata yang bertubuh agak gemuk. Di tangannya ada sekantong camilan yang sedari tadi dilahapnya sambil mengobrol.
"Namaku Eric," Eric Velasquez memiliki aksen khas Filipina saat berbicara dalam bahasa Inggris. Di antara keempat temannya, tubuhnya paling berotot dan wajahnya memiliki sudut-sudut maskulin yang membuatnya terlihat macho.
Alex yang paling akhir memperkenalkan diri. Pemuda itu memiliki raut wajah yang halus dan sikap yang elegan. Rambutnya dibiarkan agak panjang dan sekilas membuatnya terlihat seperti perempuan.
"Senang bertemu denganmu, Emma." Ia mengangguk dan tersenyum manis.
"Kami ini teman masa kecil," Haoran menjelaskan tanpa diminta. "Aku lebih tua dua tahun dari mereka. Tetapi kami dulu banyak menghabiskan waktu bersama. Sekarang mereka mengikutiku kemana pun aku pergi. Karena itulah, saat aku memutuskan untuk pindah ke kelas A, mereka semua harus belajar keras agar bisa ikut pindah bersamaku."
"Oh.. begitu." Emma mengangguk. "Kuharap kalian benar-benar akan berusaha keras. Sebagus apa pun aku mengajar, kalau kalian tidak bekerja keras, akan sulit untuk pindah ke kelas A dengan saingan sebanyak itu."
"Jangan kuatir, kami tidak sebodoh itu," tukas Dienh sambil melahap keripiknya. "Kami sudah terlalu lama tidak belajar, itu saja. Sekarang kami hanya perlu mengejar ketertinggalan."
Alex bangkit dari kursinya dan menghampiri Emma. Ia menyentuh tangan gadis itu dan berbisik ke telinga sambil mengerling pada Haoran.
"Oh.. terima kasih, ya. Gara-gara kau, kami tidak jadi ikut karyawisata ke China. Haoran memutuskan untuk ikut karyawisata ke Paris. Ahh.. Aku sangat ingin belanja."
Emma tidak mengerti maksud Alex. "Memangnya ada karyawisata ke China?"
"Ahhh.. kau tidak tahu ya?" Alex menarik tangan Emma berjalan ke lantai dua untuk masuk ke kamar Haoran. "Biar kujelaskan."
Alex memberi tahu Emma bahwa ternyata di libur musim panas kali ini, sekolah mengadakan dua karyawisata untuk siswa kelas 2, ke Prancis dan ke China. Sebagian besar siswa memilih ke China karena biayanya yang lebih murah dan banyak dari mereka menguasai bahasanya, dibandingkan Prancis. Menurut Alex, Haoran punya alasan sendiri mengapa ia memilih pergi ke China, tetapi kini ia justru membatalkannya.
"Tadinya kami akan ikut karyawisata ke China bersama Bos Haoran," kata Alex sambil membuka pintu kamar Haoran. "Tetapi kemarin ia bilang mau ke Paris maka kami semua tentu akan mengikutinya."
Emma menoleh ke arah Haoran yang tidak menyadari dirinya sedang digosipkan. Pemuda itu tampak membolak-balik halaman buku pelajarannya dengan wajah serius.
"Karena aku?" tanya Emma keheranan.
"Haoran menyukaimu. Karena itulah ia melakukan semua ini." Alex mengedip ke arah Emma lalu berjalan menghampiri teman-temannya yang sudah duduk di kursi dan mengeluarkan bukunya masing-masing. "Menurutku pribadi Paris lebih asyik daripada Beijing. Tetapi Haoran tadinya berkeras mau ke sana. Untunglah sekarang dia berubah pikiran."
Emma menjadi tertegun. Haoran menyukainya?
Ia tidak tahu bagaimana harus menanggapi informasi itu.