Pendekar 212 Wiro Sableng yang berdiri di dekat tubuh
tak bernyawa Kiai Bangkalan tidak mengetahui apa arti dua
buah kata itu. Apakah nama seseorang yaitu manusia yang
telah membunuh orang tua itu, ataukah nama sebuah
tempat. Yang diketahuinya ialah bahwa si orang tua telah
menuliskan dua buah kata itu pada saat-saat menjelang
detik kematiannya karena ujung jari tangan yang dipakai
menulis masih terletak kaku di atas huruf terakhir kata
yang kedua.
Diam-diam Wiro Sableng memaki dirinya sendiri.
Seharusnya dia datang lebih cepat ke Goa Belerang itu
sehingga nasib malang begitu tidak terjadi atas diri si orang
tua. Kiai Bangkalan tempo hari telah menyuruhnya datang
dan menjanjikan akan memberi pelajaran tentang ilmu
pengobatan. Kini dia datang terlambat Kiai Bangkalan
hanya tinggal tubuh kasarnya saja lagi!
Perlahan-lahan pendekar muda ini berlutut di samping
tubuh Kiai Bangkalan. Diperhatikannya kertas tebal empat
persegi yang tergenggam di tangan kiri Kiai Bangkalan.
Ternyata kertas tebal ini adalah robekan kulit sebuah
buku. Dan pada kertas itu tertulis:
SERIBU MACAM ILMU PENGOBATAN
Wiro Sableng tarik nafas panjang yang mengandung
penyesalan. Satu kesimpulan lagi dapat ditarik oleh
pendekar ini. Yaitu bahwa Kiai Bangkalan menemui
kematiannya dalam mempertahankan sebuah buku
ciptaannya. Buku tentang pengobatan itu tentulah sebuah
buku yang sangat berguna bagi dunia persilatan hingga
seseorang telah mengambilnya dengan jalan kekerasan.
Dan Wiro lalu ingat kembali janji Kiai Bangkalan yang
hendak mengajarkan ilmu pengobatan kepadanya.
Rupanya orang tua itu telah membukukan seluruh macam
cara pengobatan yang diketahuinya.
Sepasang mata Wiro Sableng kemudian berputar
memperhatikan dua buah keris kecil yang menancap di
tubuh Kiai Bangkalan. Menurutnya kedua keris itu pasti
mengandung racun jahat karena seseorang yang ditusuk
bahkan yang dicungkil kedua matanya belum tentu,
menemui kematian. Tak pernah dia sebelumnya melihat
keris semacam itu. Kiai Bangkalan bukan seorang berilmu
rendah dan melihat pada keanehan bentuk senjata yang
menancap itu Wiro sudah dapat menduga, siapapun
pembunuh Kiai Bangkalan adanya, manusianya pastilah
bukan orang sembarangan! Dan siapakah kira-kira yang
telah melakukan perbuatan terkutuk ini?
Untuk beberapa lamanya Pendekar 212 masih berlutut
di situ. Akhirnya dia sadar bahwa dia harus menguburkan
jenazah Kiai Bangkalan: Didukungnya tubuh tiada bernyawa
itu dan melangkah menuju ke pintu. Untuk terakhir kalinya,
sebelum meninggalkan ruangan itu, Wiro memandang
berkeliling. Dan saat itulah sepasang matanya membentur
sebuah benda. Benda itu tadi tidak kelihatan karena
tertindih oleh tubuh Kiai Bangkalan yang menggeletak di
lantai. Wiro melangkah mendekatinya. Benda yang mulanya
disangkanya cabikan pakaian ternyata adalah kulit
harimau. Bulunya bagus berkilat, kuning berbelang-belang
hitam. Apakah Kiai Bangkalan telah bertempur melawan
harimau? Mana mungkin seekor harimau bisa
menancapkan dua buah keris aneh di mata orang tua itu?
Atau mungkin harimau siluman? Kulit Itu kering dan bersih.
Ini membawa pertanda,bahwa itu bukan kulit harimau
hidup! Pendekar 212 Wiro Sableng masukkan robekan kulit
harimau, itu ke dalam saku pakaian lalu meninggalkan
ruangan batu tersebut dengan cepat.
Langit di ufuk timur mulai terang disorot sinar merah
kekuningan sang matahari yang hendak ke luar dari
peraduannya Katulistiwa detik demi detik kelihatan dengan
jelas. Di bawah sorotan sinar matahari air laut laksana
hamparan permadani yang indah sekali. Kemudian
mataharipun ke luarlah tersembul di ufuk timur itu
merupakan sebuah bola raksasa seolah-olah muncul
dari dalam lautan luas
Sepasang mata Pendekar 212 tiada berkedip me-
mandang ke arah timur itu. Telah lima kali dia melihat ke-
munculan sang surya di lengah lautan. Betapa indahnya.
Sukar dilukiskan dengan kata-kata. Dan setiap dia mem-
perhatikan keindahan alam ciptaan Yang Maha Kuasa
itu, teringatlah dia pada Si Pelukis Aneh. Dengan keahli-
annya melukis, tentu orang tua itu akan sanggup me-
nuang segala keindahan yang ada di depan mata itu ke
atas kain lukisannya.
Perahu besar itu meluncur laju di lautan yang tenang,
dihembus angin barat. Ke manapun mata memandang
hanya air laut yang kelihatan. Itulah batas kemampuan
penglihatan manusia yang menandakan bahwa
sesungguhnya dia hanyalah makhluk lemah belaka
dibandingkan dengan kehebatan alam.
Angin dari barat bertiup lagi dengan keras. Layar pe-
rahu besar menggembung dan perahu meluncur lebih
pesat. Di.kejauhan kelihatan serombongan burung terbang
di udara. Ini satu pertanda bahwa terdapat daratan di
sekitar situ. Namun demikian daratan itu agaknya masih
terlalu jauh hingga pandangan mata tak kuasa
menangkapnya. Puas memandangi keindahan laut di waktu
pagi itu maka Wiro Sableng memutar tubuh. Dia melangkah
ke buritan. Seorang laki-laki berbaju hitam berdiri di
buritan itu dan memandang tajam-tajam ke arah langit di
sebelah tenggara, Wiro tak tahu apa yang tengah diper-
hatikan laki-laki pemilik perahu ini.
''Ada apakah, bapak?" tanya Wiro.
Tanpa alihkan pandangan matanya pemilik perahu
menjawab. "Orang muda, perhatikan baik-baik. Adakah
terlihat olehmu sekumpulan awan kelabu dr kejauhan
sana...?"
"Awan semacam itu biasanya membawa pertanda
tidak baik."
"Tidak baik bagaimana?" tanya Wiro yang tak tahu
apa-apa segala soal pelayaran ataupun keadaan di laut.
"Akan timbul angin ribut," kata pemilik perahu pula.
Latu dia pergi kehaluan dan menyuruh anak buahnya
merubah arah menjauhi awan kelabu itu.
Wiro Sableng angkat bahu. Awan kelabu itu sangat jauh
sekali. Udara sekitar mereka bagus dan indah. Perlu apa
dikhawatirkan awan kelabu itu? Kalaupun terjadi angin
ribut, tentu terjadinya di sebelah tenggara itu! . Maka
karena, segala sesuatunya dianggap tak perlu di-
khawatirkan oleh Wiro, diapun duduk di buritan itu sambil
bersiul-siul. Tapi menjelang tengah hari kecemasan mulai
membayangi hati pemuda ini.
Di sebetah tenggara, awan yang tadinya kelabu kini
kelihatan menjadi hitam dan bergerak cepat sekali ke arah
perahu. Dan awan itu bukan hanya satu kelompok saja lagi
melainkan berkelompok-kelompok dan menyebar di mana-
mana. Pemandangan yang serba indah kini menjadi
diselimuti kemendungan. Angin pun bertiup keras dan tak
tentu arahnya. Kelompok awan hitam semakin banyak dan
semakin lebaL Cuaca semakin buruk. Air laut bergelombang
dan berputar-putar tak menentu. Jalannya perahu tersendat-
sendat. Kemudian hujan rintik-rintik mulai turun.
"Arahkan perahu ke pulau itu!" teriak pemilik perahu
pada pemegang kemudi.
Jauh di sebelah barat kelihatan sebuah titik hitam.
Kemudi diputar. Perahu menjurus ke barat, ke arah titik
hitam itu. Didahului oleh sabungan kilat, yang disusul
oleh gelegar guntur maka hujan yang tadinya rintik-rintik
kini berubah menjadi hujan lebat yang mendera seluruh
perahu! Angin seperti suara ribuan seruling yang ditiup
bersama karena derasnya, laut marah menyabung ge-
lombang, menghempaskan perahu kian ke mari semen-
tara udara telah berubah laksana malam hari, gelap pe-
kat! Sekali-sekali kilat menyambar menerangi perahu.
Tapi ini hanya menambah rasa ketakutan orang-orang
yang ada di dalam perahu itu.
"Gulung layar besar!" teriak pemimpin perahu.
Namun baru saja perintahnya itu diucapkan satu
angin dahsyat menerpa,perahu.,
"Kraak!" ,
Tiang layar utama perahu patah. Perahu condong
tajam mengikuti arah tumbangnya bagian atas tiang layar.
Dalam pada itu dari samping datang pula satu gelombang
yang luar biasa besarnya. Perahu yang tidak berdaya itupun
ditelan bulat-bulat. Di antara deru angin dan deru hujan, di
antara sambaran kilat dan di antara menggeledeknya suara
guntur, di antara semua itu maka terdengarlah suara jerit
pekik manusia yang mengerikan. Tapi suara jerit pekik itu
hanya sebentar saja karena sedetik kemudian perahu itu
telah amblas digulung gelombang!
Sewaktu perahu itu muncul kembali maka keadaannya
hanya merupakan hancuran dan kepingan-kepingan papan
dan balok-balok belaka yang tersebar kiah ke mari untuk
kemudian dipermainkan gelombang lagi secara ganas.
Setiap manusia yang ada dalam perahu itu, dengan
segala, daya yang ada berusaha menyelamatkan diri.
Tapi apakah daya manusia dalam melawan keganasan
alam yang maha dahsyat itu?!
Pendekar 212 Wiro Sableng bergulat sekuat tenaga
untuk ke iuar dari bencana maut yang mengerikan itu.
Dia berusaha berenang mencapai kayu pecahan-pecahan
perahu namun mana mungkin berenang dalam gelombang
yang menggila seperti itu. Baru saja kepalanya muncul telah
disapu kembali oleh air laut!
Wiro mulai megap-megap kehabisan nafas sewaktu dia
melihat sebuah papan besar kira-kira dua belas tombak
dihadapannya. Dengan sisa-sisa tenaga yang terakhir
pemuda ini berusaha berenang mencapai benda itu. Baru
saja satu tombak, sebuah gelombang mendera tubuhnya.
Pendekar itu amblas lagi masuk ke dalam laut.
Sewaktu kepalanya muncul lagi papan besar tadi telah
lenyap!
"Celaka! Tamatlah riwayatku!" kata Pendekar 212
dalam hati. Baru saja dia mengeluh begitu sebuah
gelombang datang dengan ganas dari muka. Dia menyelam
dengan cepat untuk menghindarkan pukulan gelombang.
Namun tetap saja tubuhnya diterpa sampai puluhan tombak
membuat pemandangannya menjadi gelap!
Ketika dia memunculkan kepalanya kembali di
permukaan air laut dalam keadaan setengah hidup
setengah mati, sesuatu melanda keningnya dengan'keras.
Kulit keningnya robek dan mengucurkan darah! Wiro tak
tahu benda apa yang telah menghajar keningnya itu karena
dia tak bisa membuka kedua matanya. Namun demikian
otaknya masih terang untuk berpikir. Apapun benda itu
adanya mungkin bisa dipakai untuk menyelamatkan
jiwanya! Maka dalam mata terpejam dan muka berlumuran
darah dengan membabi buta Wiro Sableng gerakkan
tangannya untuk menangkap benda itu. Pertama kali dia
cuma menangkap angin. Yang kedua kali dia cuma
menampar air laut di sampingnya. Ketiga kalinya juga tak
berhasil apa-apa namun kali yang keempat baru dia
berhasil menangkap benda itu dan dipegangnya erat-erat.
Beberapa saat kemudian ketika kedua matanya sudah
bisa dibuka ternyata benda itu adalah sebuah balok pendek
yang terpaku pada sepotong papan yang lumayan besarnya.
Wiro Sableng bersyukur. Dengan benda itu dia bisa
mempertahankan diri agar tidak tenggelam untuk
kemudian berusaha berenang mencari daratan. Belum
lama pemuda ini berpegang pada papan itu, terombang
ambing dipermainkan ombak, satu benda meluncur
dihadapannya, sebentar timbul sebentar tenggelam. Ketika
diperhatikan ternyata tubuh seorang anak kecil. Wiro tahu
betul anak kecil itu adalah anak laki-laki yang dibawa oleh
seorang penumpang perahu, Ditangkapnya tangannya.
Sewaktu diperiksa ternyata anak itu dalam keadaan
pingsan, perutnya gembung.
Wiro Sableng menyadari bahwa papan yang di dapatnya
tidak cukup besar untuk menolong mereka berdua
sekaligus! Berarti kalau dia mau selamat terus, dia musti
meninggalkan anak kecil itu! Pertentangan terjadi di lubuk
hati Pendekar 212. Akhirnya pemuda itu membuka
bajunya. Dengan baju itu diikatnya anak yang pingsan pada
papan lalu didorongnya ke tempat yang agak tenang.
"Mudah-mudahan kau selamat anak," kata Wiro dalam
hati.
Dia memandang berkeliling. Tak sepotong papan atau
balokpun yang kelihatan. Laut yang tadi menggila kini mulai
tenang sedikit. Wiro mengeluh dalam hati. Rupanya sudah
ditakdirkan bahwa dia harus mati hari itu, di tengah lautan!
Berdiri bulu kuduknya! Inilah untuk pertama kalinya dia
merasa ngeri! Ngeri menghadapi kematiannya sendiri! Ingin
dia memekik, berteriak setinggi langit. Namun siapa yang
akan mendengar? Siapa yang akan menolongnya? Lagi pula
mulutnya serasa terkancing. Dicobanya berenang. Namun
kekuatannya sudah sampai ke batas terakhir. Kaki dan
tangannya kaku tak sanggup digerakkan lagi. Sedikit demi
sedikit, perlahan-lahan tetapi pasti, tubuhnya mulai
tenggelam. Sebelum kepalanya lenyap ditelan air laut
pemuda ini merasa seperti melihat sesuatu jauh
dihadapannya, meluncur di atas air laut menuju ke arahnya.
Dia tak tahu benda apa itu. Kelihatannya seorang, manusia
berjubah putih, tapi mungkin juga malaekat maut yang
hendak mencabut nyawanya! Pada detik dia menyebut
nama Tuhan dan memanggil nama gurunya pada detik
itupula tubuh pendekar 212 lenyap keseluruhannya dari
permukaan air laut.