Aku keluar dari kamar mandi.
Membersihkan diri dari bau anggur yang aku minum beberapa gelas dini hari tadi.
Saat aku keluar kulihat Devan meluruskan badan nya dengan satu tangan menumpu ke kasur satu nya ia memijit kening nya ia tampak berpikir dan membuang nafas panjang.
Ada yang aneh dari Devan. Ia tampak tak banyak tadi malam. sekarang pun ia masih terlihat punya beban berat, oh aku pun begitu. Berita Jordan terluka ditambah mimpi mimpi tadi malam membuat ku seperti orang linglung sekarang. Ada kenangan Jordan muncul ketika aku memutuskan membangun hubungam baru dengan Devan, berusaha membuat ku bimbang lagi dan lagi.
Setelah melihat ku, kulihat ia memberikan senyum yang mengintip.
" Apa aku kesiangan..." Kata nya dengan suara masih serak.
Jam dinding masih jam 7 pagi. Tentu ini masih pagi. Mungkin karena melihat ku selesai mandi ia pikir sudah telat bangun.
" Baru jam 7" Jawab ku seraya menuju meja rias. Membuka laci bawah dan mengeluarkan sisir.
" Aku ingin melakukan nya..
Kulirik ia dari sana yang beranjak dari tempat tidur.
Devan berdiri dibelakang ku. Mengambil sisir yang aku pegang dan menyisir rambut hitam panjang ini yang sudah setengah kering.
Aku melihat pantulan nya di cermin.
Sekilas bayangan mimpi tadi malam muncul lagi.
Aku mengendik tanpa sadar.
" Ah..
Apa sakit?
" Tidak, teruskan.." Kata ku melihat tangan dari pantulan nya di cermin. Tangan besar nya naik turun menyiris helaian rambut ku dengan pelan dan tenang menyisir keseluruhan rambut ku sampai selesai lalu menyampingkan nya ke sebelah kiri. Devan menunduk sehingga bisa kulihat wajah nya nyampir di bahu ku di cermin.
Ia mengulaskan senyum di sana.
" Aku sudah menjadwalkan hari ini ke dokter psikolog...."
Kulihat ia dari cermin sana. Dokter psikolog? Aku ingat dengan perkataan nya tadi kemaren malam. jadi apa aku akan benar konsultasi dengan dokter spesialis terkait hubungan kami agar lebih baik.
Aku mengangguk kikuk.
Kulihat ia mendekatkan penciuman nya ke rambut ku. Mencium banyak banyak bau shampo yang tadi ku pakai. Aku sendiri merasa tergelitik hanya dengan nafas nya yang membuat leher ku jadi hangat.
" Aku melihat mu bangun dan minum.. " Bisik nya kemudian. Nafas ku tertahan mendengarnya. Jadi dia juga bangun dan mengikuti ku.
Mata kami bertemu di cermin. Apa aku harus bilang padanya, apa aku bilang J terluka aku kebawa mimpi. Mimpi tentang J.
Itu pasti konyol.
" Aku hanya kebangun karena mimpi"
Alis nya naik sebelah " Apa mimpi buruk lagi"
Kali ini aku tak menjawab nya. Bisa kulihat ia berspekulasi lagi. " Apa aku menyakiti mu dalam mimpi?
"Tidak! Hanya kenangan lama" Jawab ku absurd. Ku remas bibir ku dengan gugup. Mungkin ia bisa melihat dari cermin mata ku begetar dalam keraguan.
" Aku mau siapkan sarapan"
Kata ku kemudian segera bangkit dari sana. Dengan cepat aku keluar dari kamar. Aku sulit mengatur suasana hati ku lagi.
Di luar aku bertahan meruntuki kebodohan ku.
Kenapa aku bertindak seperti ini.
Ku buka lagi pintu dengan pelan. Ku lihat dari sana Devan menuju tas kerja nya. Ia mengambil sebuah kertas disana. Ada tatapan bertubi yang susah aku pahami.
Apa itu?
Rasa penasaran ku membuat ku ingin tau, mungkin kah itu keputusan petinggi perusahan yang sudah final. Apa Devan masih menjabat CEO tau sudah berpindah tangan.
Kulihat Devan masuk kedalam kamar mandi, perlahan aku kembali masuk menuju tas kerja nya disana. Segera kutarik kertas tadi.
Alis dan kedua tangan ku kembali berkerut sepanjang membaca isi surat yang berupa gugatan cerai mengatas namakan ku.
Jantung ini rasanya mau melompat. Terkejut! Ya sangat!
Apa ini yang J maksud dari perkataan nya waktu itu.
Tak heran J adalah macam orang yang bisa melakukan nya di belakang ku seperti ia membuat perusahaan Papa di tipu.
Suara air di dalam kamar mandi mengintruksi ku untuk segera pergi. Surat itu aku kembalikan ke tempat asal nya.
Dengan cepat aku kembali keluar.
Rasa khawatir ku pada J berubah kekesalan. Ia bertindak sesuka nya. Andai aku bisa pergi dari sini untuk menemui nya!!
*
*
*
"Apa enak?" Tanya ku sambil melihat Devan memakan sarapan nya.
Ia tersenyum kecil. Lalu mengangguk.
Kemudian suasana sarapan kami hanya ada kebisuan.
Aku menunggu Devan menyinggung mengenai surat gugatan itu.
Tapi ia sama sekali tak menyebut.
Dan aku rasanya juga ingin bertanya. Tapi ada bagian yang membuat ku takut dengan reaksi nya.
Hingga kami menyelesaikan sarapan dengan berbagai pikiran masing masing.
" Ikut lah aku ke kantor! " Kata nya kemudian sembari menutup dua alat sendok yang baru ia pakai dengan rapi.
" Kantor?" Aku terkejut dengan ajakan nya yang tiba tiba. Terlebih rasanya aku belum siap mental menginjakkan kaki ke tempat itu.
Ia membersihkan sisa makanan di sudut bibirnya dengan tissue.
" Kita bisa minta jadwal pagi konsultasi dengan dokter! Dan nanti siang kamu bisa ikut aku ke undangan "
" Itu...
Mata ku berkeliaran sambil berpikir, hingga akhirnya aku mengangguk. Tak ada alasan buat mangkir.
*
Dan sekarang disini lah aku. Berjalan masuk ke loby utama perusahaan yang 2 tahun ini memperkerjakan ku. Aku hanya mengenakan stelan biasa, lebih santai. Tapi pria yang mengamit tangan ku ini membuat ku menjadi lebih istimewa disana, bahkan ini tidak ada dalam perkiraan hidup kalau aku muncul sebagai istri Direktur. Jadi mirip di Novel-Novel yaaach!
Kedatangan ku tentu membuat heboh disana. Apalagi aku yang baru mengalami kejadian tragis oleh salah satu pejabat di sana. Aku yakin kali ini lagi lagi Grup Ghibah itu akan menyirkan tentang ku lagi. Ya walau aku yakin seyakin yakin nya kali ini positif atau banyak jilatan disana. Secara tak ada pun yang berani mengeluarkan di grup itu , bahkan group itu sepi setelah identitas ku menghiasi kehebohan disana. Kecuali mereka bikin grup baru tanpa melibatkan ku.
Aku disambut dengan senyuman lebar dan sapaan ramah oleh semua yang menemukan kami pagi ini. Bahkan bisikan mereka masih saja terdengar, tapi tetap saja wajah Devan bertekstur batu gunung yang kaku. Ia tak mengubris sapaan mereka disana membuat ku lebih extra membalas sapaan mereka, aku tak mau membuat kesan sombong setelah identitas ku keluar.
Hanya saja ada tambahan Ibu Alena dari sapaan mereka, membuat ku senyum kaku saja. Biasanya di panggil Alena atau Mba Alena.
" Kenapa muka mu tegang begitu?" Tanya Devan setelah kami masuk Lift khusus untuk petinggi perusahaan itu.
Kubuka mata sambil menurunkan nafas.
" Aku hanya tidak siap jadi selebriti lagi di dalam group" Jawab ku.
" Grup?" Devan menaikan alis, ia rupanya tidak tau menahu tentang group itu. Oh aku lupa itu hanya group seputar semua karyawan yang ia gaji.
" Bukan apa-apa! " Jawab ku rasa nya akan melanggar kode etik group membocorkan kepada pemilik perusahaan langsung. Bisa bisa group itu ia bubarkan.
Aku melirik ke arah pemandu lift di samping Rudy. Gadis yang masih tergolong muda. Bahkan aku tidak tau kalau lift khusus ini ada pemandu lift nya. Ia tampak menunduk melihat ku memperhatikan nya.
Ting!
Lift terbuka. Dan Devan masih menguasai tangan ku. Bahkan setiap ia melihat ku ia tersenyum. Berbeda dengan situasi sebelum nya. Dan ini membuat ku merasa diistimewakan lagi, rasanya mau meleleh saja.
Di meja Sarah tampak seorang pria muda duduk, postur nya tinggu kurus dengan kacamata bertengger disana. Ia terlihat pintar dengan wajah kaku nya , setelah melihat kami iaangsung berdiri dan membungkuk setengah badan sambil menyapa penuh kesopanan, aku menilik nama Malik di sana.
" Sarah? Apa dia pindah?" Tanya ku bergantian pada Rudy dan Devan.
Devan tampak tak acuh.
" Sudah di keluarkan Nyonya" Sahut Rudy.
Aku membeo kaget. " Di pecat? Ke napa??
Rudy hanya menggeleng patuh, ia lalu ikut masuk ke dalam. Aku mengekori mereka yang lebih dulu masuk. Dan disini aku kembali menginjak ruangan Presiden Direktur perusahaan ini.
Devan melepas mantel nya dan melonggarkan dasi nya. Ia langsung menuju meja kebesaran nya dengan sangat perpecto. Gerakan nya memang keren kalau lagi apapun.
" Siapkan selimut, cemilan dan minuman buat Alena" Kata Devan sebelum Rudy keluar dari sana membawa beberaa dokumen.
Aku mendehem dengan suasana canggung disana,terlalu sering melihat gerakan Devan membuat ku terpesona saja.
Devan langsung menghadap laptop nya. Ia bahkan menenggerkan kacamata membuat pria ini tampak serius dan masuk kedunia nya sendiri, sedangkan aku jadi kambing congek, ah tidak juga aku mengitari sisi ruangan itu yang lebih mengusung konsep milenial. Banyak badan badan alumanium disana membuat ruangan ini sangat terkesan modern juga berkelas tinggi.
Mata ku tertuju pada galon yang pernah aku siram saat pergumulan Devan dan J waktu itu. Membuat ku terkikik mengingat hal itu bagaimana kedua nya lasung memisah seperti 2 kucing. Tapi itu juga mengingatkan ku dengan J lagi.
Ada sisi harapan kecil muncul, aku berharap bisa melihat nya disini. Aku hanya ingin melihat keadaan nya.
Mungkin kan ia ada di sini. Atau di rooftop, tapi susah keluar dengan pengawasan Devan seperti ini.
Suara pintu di buka dan muncul Rudy beserta Malik membawakan permintaan Devan, aku beridiri tidak terlalu jauh hingga bisa mendengar percakapan mereka.
" Malik!Kumpulkan semua laporan nya nanti! Nanti aku keluar sebentar! Dan kamu Rudy! Apa ada informasi yang aku minta kemaren.
" Saya masih mengumpul kan tuan, tapi ini untuk data yang di dapat" Rudy memberikan sebuah Map kuning pada Devan.
Kulihat Devan membuka map itu. Mata nya yang tajam menurun membaca semua yang ada disana dengan garis tipis di bibir nya.
Kulihat Rudy mendekat dan berbisik. Ada hal yang tak bisa aku dengar, kulihat Devan hanya menaikan alis nya sebelah.
" Cegah dia secepat nya!" Kata nya pelan nyaris tak terdengar, tapi gerak bibirnya bisa aku artikan.
Wajah Devan tampak menggelap. Sesaat ia melihat kearah ku. Seperti tercyduk aku langsung melihat mata keatas dan jari ku memutat mutar di kaca sana.
Dari ekor mata ku Rudy dan Malik segera menarik diri dari sana.
Kulihat ia mengitari meja mengambil selimut disana. Aku pura pura kembali fokus melihat pemandangan laut di depan estalase besar didepan ku ini.
" Kalau capek beralih lah ke sofa didalam! Nonton Tv. Ada cemilan juga." Kata nya dengan lembut berbeda dengan saat bicara pada Malik atau Rudy barusan bahkan riak wajah nya kembali seperti semula.
" Iya"
Sahut ku segera mengikuti langkah nya yang menuju sebuah pintu di belahan meja kebesaran nya.
Sebuah ruangan kecil dengan banyak buku menjulang, aksen nya agak berbeda dengan gaya di luar disini lebih sederhana banyak warna warni soft juga dari beberapa perabotan disana bahkan wallpaper nya berwarna hijau, merah dan hitam. Ada sofa lebar juga yang menyerupai kasur kecil berwarna senada dengan wallpaper dengan karpet lembut berwarna hijau daunb dan televisi besar sekitar 50" Di depan sofa.
Melihat ruangan itu memberikan nafas ringan, ada rasa rilek melihat nya berbeda dengan aksen di luar yang memang formal untuk pekerjaan.
Mungkin Devan kalau lagi capek atau jenuh ia akan menonton disini, bersantai saat melepas penat dari pekerjaan nya memberi ruang otak nya biar fresh lagi.
Devan mengambil Remote Tv dan menyalakan nya.
Aku sendiri duduk manis disana merapat kan kaki karena AC disini sangat kencang. Mata ku kembali mengedar melihat lukisan abstrak di sisi dinding, tersusun rapi. Berwarna warni lagi lagi memberikan pola pikir yang sederhana.
" Kamu bisa tidur dulu, 1 jam kita keluar" Katanya yang sudah berada di bawah ku menyelimuti paha ku dengan selimut. Aku bahkan tidak melihat kapan ia di seberang ku.
Aku mengangguk kikuk melihat nya jongkok seperti itu.
" Terimakasih" Ucap ku merasakan situasi awkward. Tentu Devan seperti sedang berlutut.
Ia mengangguk lalu tersenyum lagi, senyum yang manis.
Devan meluruskan kaki nya dan menunduk, gerakan nya cepat dan secara implusit ia mencium bibir ku.
Aku bahkan sampai mematung. Kaget!
Kurasakan ia mencium ku dengan rakus. Membuat jantung ini tak berhenti mau melompat lompat. Oksigen ku sampai menipis. Beruntung ia melepas ciuman nya. Mata kami bertemu. Manih hitam bola mata nya kembaki bersahabat denga seteduh langit sore dan lagi ia ciuman nya membuat ku terlena ciuman lembut sampai kuberanikan mengalungkan tangan ku ke leher nya, ia berubah menjadi lebih agresif.
Devan selalu punya gerakan menuntut dan menguasai teknik ciuman yang penuh candu. hingga ia mengurai ciuman nya untuk kedua kali.
Wajah ku sampai memerah malu melihat mata nya.
" Bersantai lah disini" Bisik nya lalu mencium pipi ku singkat, dan pergi melenggang pergi begitu saja.
Aku menganga dengan takjub. Wajah ini semakin terasa sangat panas dengan gejolak yang timbul dimana mana. Ada rasa bahagia tersendiri. Kalau begini terus aku beneran kembali mencintai nya, memujanya.
1 jam berlalu. Dan dia benar membawa ku ke salah satu Dokter psikolog.
Nama nya Dr. Melisa, beruntung dokter nya wanita membuat ku lebih nyaman berkomunikasi dan dia juga sangat ramah. Dokter ini mengaku juga salah satu teman Devan saat kuliah. Pantas saja mereka tampak seumuran.
Dan lagi Dr. Melisa sudah mengetahui masa kelam ku serta kebejatan teman nya ini tanpa aku ceritakan. Mungkin Devan sudah menceritakan nya dulun.
Untuk tahap awal kami mendapatkan pencerahan secara teory. Ya walau itu lebih ke aku. Aku yang sebagai korban juga traumatis dalam hubungan kami dalam hal hubungan seksual.
Dr. Melisa menyarankan agar kami lebih sering melakukan pendekatan fisik untuk mengurangi traumatis ku. Dan macam jenis saran serta bimbingan nya yang lain dan pada intinya aku harus melibatkan perasaan agar pendekatan kami lebih berhasil.
Konsultasi kami memakan waktu 1 jam lebih.
Aku hanya termenung selesai dari sana. Banyak hal yang muncul di kepala ku, dan aku perlu waktu untuk memahaminya apalagi tentang perasaan. Itu masalah ku disini.
Perasaan membenci-mencintai masih 1:1.
" Apa pertemuan awal ini agak membebani mu?" Tanya Devan setelah kami masuk kedalam mobil, ia masih sama dengan suara lembut nya.
Aku jujur dan mengangguk.
Devan merenung sebentar lalu mengambil tangan ku, kehangatan kulit nya menyebar di tangan ku yang terasa dingin.
" Pelan pelan, okey...
Aku mengangguk lagi dan menyunggingkan senyum. Hingga tangan ku di cium lembut oleh nya. Selipan perasaan seperti mengisi disuatu ruang.
*
*
Mobil tak kembali ke kantor. Lebih tepat nya Devan membawa ku ke sebuah Resort megah disana.
" Acaranya disini dan aku pesan 1 cottage " Kata nya menjelaskan.
Aku mengangguk walau agak ngeh juga. Untuk apa ia pesan 1 tempat kalau hanya menghadiri undangan.
Kulihat jam di ponsel masih jam 11 siang.
" Jam berapa acaranya?"
" Mungkin 2 jam lagi" Jawab nya sambil sibuk mengambil sesuatu di mobil nya semacam FD dan beberapa hal lain.
" Tak usah khawatir, semua persiapan mu sudah disiapkan! Kita menginap 1 malam disini, ga papa kan?"
Menginap?
Wajah ku langsung memerah. Tentu rasanya aneh Devan mengambil 1 malam setelah kuliahan Dr. Melisa tadi.
Aku sampai memikirkan hal gila sendiri.
Walau sebenarnya mau dimana pun juga kami bisa therapi bertahap.
Sebuah cottage indah dengan konsep tradisional tapi tetap mewah dalam sentuhan fasilitas modern didalam nya, aku sampai berdecak kagum melihat tataan kamar ini yang sangat cantik juga pipi merona. Melihat ranjang king size disana berbentuk bulat dengan ada tirai menari nari di terpa ngin laut di depan sana. Tirai menari ini membuat ku familiar.
Sontak kaki ku berhenti. Rasa kagum ku seolah lenyap. Meski tak serupa tapi bayangan tirai menari ini membuat memar di hati ku.
" Ada apa...
Devan ikut berhenti dan matanya mengikuti arah mata ku.
Aku melihat nya dengan rasa benci. Siluet bayangan itu kembali muncul. Saat ia dan Devi ---
" Tempat tidur ini mengingat kan ku dengan kalian"suara ku terasa berat.
Mata Devan memutar dengan berpikir, hingga sudut rahang nya mengeras. Ia paham dengan maksud ku.
Bahkan aku mengendik saat tangan nya menyentuh bahu ku. Aku merasa kembali membenci Devan lagi.
" Kita cari cottage lain" Kata nya pelan mencoba menenangkan kerisauan ku setelah beberapa detik kami terdiam.
Aku masih misuh misuh dengan kondisi jiwa ku yang tampak labil. Ternyata aku masih belum berdamai dengan perbuatan nya.
" Aku ingin pulang.." Kata ku langsung membuang muka. Mood ku benar benar hancur.
Aku pikir ia akan menyetujui ku karena sikap penurut jya akhir akhir ini tapi aku salah. Ia kembali mengajak ku ke cottage yang lain. Serupa tapi ranjang king size tanpa tirai.
Apa ia tak mengerti mood ku sudah kacau.
" Kamu tidak akan bisa terus menghindari Alena, aku tau kamu kesal. Tapi aku tak punya pilihan" Kata nya setelah barang barang yang dari cottage sebelum nya di pindahkan ke sana.
Aku membuang nafas berat. Devan benar menerima sesuatu yang berat adalah pilihan hidup, tapi ini terkesan di paksakan padahal sebelum nya ia bilang pelan-pelan.
Semilir angin siang ini datang dari berbagai arah. Ada angin berusaha menerobos dari jendela luar yang tertutup.
Aku menuju balkon cottage yang langsung disambut ribuan angin dari laut lepas depan sana. Ada jacuzzi kecil yanh mungkin hanya muat 1-2 orang. Air nya sangat jernih dan dipercantik dengam bunga mawar segar didalam sebuah wadah terbuat anyaman bambu. Berenang renang di air yang di mainkan angin.
Aku menuku pagar pembatas
Suasana hati ku rasanya ikut memudar melihat pemandangan di depan. Cottage ini benar benar di tepian laut. Bahkan tampak beberapa kapal pesiar hilir mudik dari kejauhan. Untuk beberapa saat aku merasa sudah lebih baik lagi.
Hingga kurasakan ada tangan yang menyusup disela pinggang ku. Aku berusaha membiarkan nya. Meski ada kecamuk kecil di dalam sana yang berontak, Mungkin ini bagian dari penolakan traumatis ku. Aku bisa mengatasi nya! Pikir ku mencoba mengendalikan otak ini. Mengingat dorongan dan saran dari Dr. Melisa tadi juga perkataan Devan yang aku tak bisa terus menghindar, menguatkan rasa kepercayaan diriku.
Tubuh ku seperti angin di peluk sangat erat. Dan bisa kurasakan nafas nya ada di di belakang leher-bahu sebelah kanan. Menyalurkan kehangatan.
" Sangat berangin! Kamu bisa masuk angin" Suara Devan lembut, dan lagi ia menghirup kulit ku disan dengan panjang, ia mirip jadi vampire yang menikmati aroma mangsa nya sebelum menggigit leher korban nya.
" Aku hanya menenangkan diri" Jawab ku dengan pandangan di depan bukan prioritas ku lagi. Perlakuan nya membuat ku agak kaku juga gugup.
" Apakah berhasil?"
Tanya nya dengan sebelah tangan merambat ke sisi atas dada ku, membuat ku sedikit waspada dan hilang pijakan.
" Ya, tapi sekarang aku merasa sangat gugup.
" Well...
Tangan nya terus memeluk ku dan ia menciumi leher ku berulang kali. Kuduk ku sampai meremang dibuat nya.
" Dev.. Ini...
Suara ku sampai serak.
"Hmmm... Dr. Melisa bilang kita harus coba kan. Apa kamu berubah pikiran...
Aku menahan tangan Devan yang mulai nakal di sana.
Kenapa ia berubah menjadi tak sabaran lagi.
" Bisa kah kita pelan pelan...
Tak ada jawaban. Dan ia berhenti menciumi ku disana. Kurasakan bahu ku sedikit berat. Ia menompang dagu nya disana. Dengan kedua tangan kembali hanya memeluk ku erat mengusap usap kulit lengan telanjang ku.
" Aku hanya tak ingin kamu hilang seperti angin di laut lepas ini! " Bisik nya
" Kentut dong, eh"
"...."
Aku meruntuki mulut ini. Devan selera humor nya sangat rendah. Pasti sahutan ku terdengar menggelikkan padalah moment nya seromantis ini.
Dasar mulut jahanam ini.
Ku dengar ia ketawa ringan lalu jadi tertawaan nya yang besar.
Aku menghadap kearah nya dengan bingung.
" Kamu ini bagaimana, aku bicara serius malah di bilang kentut..
Sahut nya dengan mata sedikit berair.
Aku hanya nyengir kuda, sedikit terkejut juga Devan bisa tertawa lepas begini, padahal hanya candaan receh. Mau tak mau aku ikut tertawa garing.