Naruto merasa tidak harus menyesal telah membatalkan perjalanannya ke Las Vegas. Ia perlu memikirkan masa depan yang menurutnya lebih penting. Padahal, ia tidak menyangka harus terlibat perasaan pada anak perempuan. Memikirkan omong kosong yang kemudian menjadi tujuannya.
Setelah pertemuannya dengan Hinata Hyuuga beberapa tahun silam, mengantarkan Naruto pada sekolah elite yang tak pernah dibayangkannya. Ia seharusnya tinggal di luar negeri, menempati rumah sederhana di negara penuh dosa itu—mendiang orangtuanya menjadikan Las Vegas bukan sekadar kota yang dapat mereka singgahi sementara waktu ketika hari libur tiba.
Meski kota dosa itu sendiri penuh kenangan akan cinta kedua orangtuanya yang berakhir tragis, nyawa mereka terenggut bersama pada sebuah insiden penembakan, Naru sendiri tidak pernah benci pada Las Vegas, karena tempat itu tidak pantas dipersalahkan.
Tahun ini ia merasakan sesuatu yang amat sia-sia, dan mungkin harusnya segera mengakhirinya, kalau memang tidak ada keberanian untuk menghadapi perasaannya yang membingungkan, ia lebih baik menyerah akan tujuan tentang meraih cinta. Meskipun dirinya tak dapat menghindari, tak peduli ini bagian obsesi, Naru menginginkan gadis itu untuk menjadi miliknya.
Seandainya ia berani mengambil risiko, Naru berharap bisa memilih jalan alternatif yang lebih cepat, tapi dia tidak cukup berani untuk menanggung segala risiko itu. Karena bagi pemuda itu sendiri, menambah rumit tidak akan berakhir baik.
Sebelum Naru menggeser pintu di kelasnya, ia menenangkan perasaannya, tak tidur dalam semalaman, juga telah diserang alkohol habis-habisan membuatnya takut mengambil langkah. Kakeknya tak pernah melarang dirinya untuk mendekati gadis itu, ketika sang kakek berpegang teguh pada hukum-hukum kuno tentang akan setianya para samurai dalam membalas kebaikan seseorang, Jiraiya menginginkan cucunya untuk membalas bukan hanya dari materi saja. "Tidak perlu mundur lagi, jika kau menginginkannya, mau sebagai gundik atau memang akan kau jadikan sebagai kekasihmu, istrimu, itu adalah hakmu. Menempatkan gadis itu di tempat yang layak sudah sepantasnya, mengingat apa yang sudah dia berikan padamu."
Asal kalian tahu saja, para Gangster sangat begitu solid, meskipun mereka bagian dari keburukan di negara ini, mereka tahu artinya membalas budi.
Naru menghela napas sebelum akhirnya dia masuk ke dalam kelasnya. Dengan kebingungan-kebingungan yang menyerang, dia menyadari jika hampir terlambat.
Begitu berhasil masuk dan menutup pintu kembali, bel tiba-tiba berbunyi. Suara langkahnya yang berat teredam oleh langkah anak-anak lainnya yang bergegas untuk masuk ke dalam kelas, sebelum wali kelas mereka sampai untuk memulai materi pelajaran.
Naru duduk di belakang Hinata, gadis pujaannya yang tangguh, sekelebat ingatan tentang perkataan kakeknya terus memenuhi isi pikirannya pagi ini. "Gadis itu kukira cocok untuk masuk ke kehidupanmu, zaman sekarang tidak mudah menemukan gadis tangguh seperti itu untuk menjaga dirinya sendiri. Kupikir ini salah satu takdir yang direncanakan oleh Tuhan kepadamu. Kau harus bersyukur akan hal itu, bergegas untuk mengungkapkannya, karena kalau terlambat, kau tidak akan mendapatkan apa-apa."
"Seandainya Hinata Hyuuga adalah wanita-wanita di rumah bordir, aku yakin tidak butuh bertahun-tahun untuk menyatakan cinta kepadanya. Tapi ini berbeda, gadis itu dingin, sukar didekati, menyendiri, dan kutu buku, aku hampir kehilangan rencana di saat berhadapan dengannya, benar-benar sulit untuk memulai semuanya, Hinata terlihat berbeda saat pertemuan kami di hari hujan itu. Aku melihat dia sebagai orang lain sekarang, ia terlihat tidak sepeduli waktu kami pertama kali bertemu."
Itu masalahnya, ada yang aneh pada gadis itu!
Padahal dia sudah menggunakan cara yang paling efektif—menurutnya begitu—sekolah di tempat yang sama, menempati bimbingan belajar yang sama, juga menempati kelas yang sama. Apa yang kurang dari itu?
Menguntit gadis itu pun nyaris tidak setengah-setengah. Naru sendiri hampir berpikir untuk ikut kerja sambilan di kafe yang sama dengan Hinata. Tapi dia pasti akan merasa begitu lelah dan dicurigai habis-habisan, mengingat tidak pernah kerja berat, mengelap meja pasti menjadi hal yang sulit, beramah-tamah dengan orang lain apalagi, menyapa pelanggan mungkin seperti mengajak mereka bertengkar.
Sialnya, ketika Naruto masih rutin ikut bimbingan belajar, setahun yang lalu Hinata keluar dari lembaga dan tidak pernah datang lagi, padahal gadis itu seharusnya bertekad untuk masuk universitas, belum lagi kabar terbaru, gadis itu justru mengundurkan diri dari konsultasi bersama wali kelas soal ke mana seharusnya dia melanjutkan pendidikan setelah lulus SMA. Dan yang menjadi jawabannya, Hinata akan mengambil sekolah kejuruan selama dua tahun supaya dia bisa mendapatkan kerja lebih cepat.
Apakah dia harus melakukan hal yang sama dengan masuk ke sekolah kejuruan juga bersama gadis itu?
Hanya saja, Naru tidak bisa melakukan lebih dari apa yang telah dilakukannya sampai hari ini.
Kalau dia melewatkan masuk universitas, itu akan menyulitkan dirinya sendiri dalam mengurus setiap apa yang dimiliki oleh keluarga ibunya—tidak ada suatu sengketa sengit, ia memutuskan demikian karena akan lebih normal hidup pada lingkup sebagai seorang pebisnis muda. Itu cocok dengan apa yang terjadi padanya, genius, belajar dengan cepat, berambisi, dan berpikir bila tidak memanfaatkan semua yang dimilikinya, itu jauh lebih bodoh dari dirinya yang sekarang menjadi budak cinta.
Setahun belakangan ini dia mulai banyak belajar akan pekerjaan yang nantinya menjadi masa depannya juga, meraih Hinata mungkin bisa dibilang sepaket.
Seusai bimbingan belajar, dia mulai mengambil alih salah satu pekerjaan tak terikat, misalnya dia kini seorang trader—pekerjaan itu hanya bisa dilakukan setiap malam—ia perlu memantau seluruh saham-sahamnya secara langsung, membeli maupun menjualnya kembali. Menurut Naruto, dia harus membiasakan diri mengenal dunia semacam itu. Setidaknya ia tahu bagaimana cara bermain, sebelum akhirnya mengambil tanggung jawab berat yang kini masih dipegang seorang kepercayaan di luar sana, sebaliknya Naruto sendiri sama-sekali tidak berminat untuk masuk ke dalam dunia gelap ayahnya. Sang kakek setuju-setuju saja, toh Jiraiya sendiri tidak pernah memaksa siapa pun untuk menjadi penerusnya. Ia bisa memilih dari orang-orang kepercayaannya, yang mungkin lebih baik dari cucunya.
Naru menghela napas, ia merasa bosan harus mengingat seluruh apa yang dilakukannya itu, ia ingin mensejahterakan hidupnya sendiri, tapi dia juga ingin mengambil Hinata untuk diletakkan pada kehidupannya, sesuatu seperti; ada saatnya kekayaan semakin besar menjadi begitu membosankan kalau terus dipikirkan olehnya, sampai akhirnya dia kadang siap menjadi pembelot dari apa yang telah direncakannya. Anggap itu salah satu hal yang disebut manusiawi.
Naruto kembali mengamati gadis itu secara intens dari belakang dengan gejolak aneh pagi hari. Sialnya, punggung gadis itu seksi.
Lalu membayang-membayangkan suatu hal seronok yang dapat dilakukannya pada Hinata, tanpa menangkap materi dengan benar, tahu-tahu Gaara dan Sasuke muncul di kelasnya pada jam istirahat, karena kedua temannya tidak berada di kelas yang sama, mereka sering kali datang untuk bermain di jam kosong atau saat istirahat tiba.
"Aku kira kau tidak masuk sekolah," sembur Gaara yang duduk di pinggir meja temannya.
Naru merapikan buku-bukunya, lalu memasukkannya ke dalam laci, tetapi bukunya yang lain tiba-tiba terjatuh sewaktu seseorang mendorong mejanya dari depan secara tidak sengaja. Naru mengangkat wajah, menjumpai Hinata yang kemudian memungut bukunya yang terjatuh, kemudian diberikan kepadanya sambil berkata, "Maaf," secara singkat.
"Hati-hati dong, kau membuat kami kaget," Gaara mengomel, tapi Hinata berlalu pergi. "Apa-apaan sih gadis itu, wajahnya membuatku tidak nyaman." Naru memukul perut Gaara cukup keras, membuat si merah lebih dikagetkan.
"Tidak perlu diperpanjang, dia sudah meminta maaf."
Gaara agak terheran, bukankah Naru sendiri yang kelewat emosi kalau ada hal seperti ini?