Gadis istimewa itu sudah berusia sepuluh tahun. Keluarga Utama digegerkan bahwa gadis kecil itu menghilang ketika bermain dengan tiga pelayan pribadinya di belakang rumah—halaman yang menghubungkannya dengan area pemujaan pohon ginkgo. Tersisa kursi roda, selimut kotak-kotaknya, juga mainannya, otedama dan kendama kesayangan anak itu.
Sejak lahir, gadis itu dinyatakan tidak bisa berjalan. Konon kata seorang Shaman, jiwa anak itu sepenuhnya belum terlahir ke dunia. Seorang Dewa Rubah tengah mengunci jiwa anak itu ke suatu tempat di dunia lain. Mungkin tempat tinggal sang Dewa. Anak itu tidak bisa menikah dengan sesama manusia. Benang merahnya terhubung pada seorang anak leluhur yang hidup hampir seribu tahun. Tempat tinggalnya di pohon ginkgo. Siapa lagi kalau bukan Dewa itu sendiri.
Seorang Shaman sedang memuja-muja pohon tua itu, memanjatkan mantra, lalu menari-nari. Tidak lama kemudian sesajen mengelilingi untuk pemujaan, dan permintaan tolong, bahwasanya mereka menginginkan anak perempuan itu pulang dengan selamat. Tapi ritual tersebut sudah dilewati selama dua hari. Tidak ada perubahan, tidak pula ada yang namanya petunjuk apakah bisa kembali, atau apakah anak itu masih hidup.
Hizashi adalah kembaran Hiashi, dengan mata butanya, dia muncul di kediaman Utama, setelah dinyatakan dia sebagai adik kembar Hiashi, Hizashi harus tinggal di keluarga Cabang. "Biarkan aku pergi untuk menjemput keponakanku," kata Hizashi, suaranya tidak terdengar ragu-ragu. "Satu-satunya yang bisa masuk ke dimensi itu hanya para Shaman, aku akan pergi untuk membawanya pulang."
"Tidak boleh!" Hiashi berteriak ke depan wajah adik kembarnya, dengan raut wajah makin khawatir. "Kalau nanti kau tidak kembali bagaimana?"
"Itu sudah tugasku, yang penting Nona Hinata kembali, 'kan?"
"Tidak. Aku tidak setuju, Hizashi, kau tidak boleh pergi." Hiashi merengut sedih, sementara Hiashi tahu, Hizashi mungkin masih dirundung duka, mengingat istrinya baru saja meninggal sebulan yang lalu karena sakit-sakitan. Meskipun keluar dari Okutama, untuk menuju ke rumah sakit besar, tetap nyawa istrinya tak tertolong karena kanker yang dideritanya.
Penyembuhan tradisonal, bahkan meminta pertolongan ke Dewa, tetapi sayang sekali tak ada satu pun dari mereka mau mendengarkan permintaan Hizashi soal kesembuhan istrinya. Mungkinkah, Hizashi pergi ke sana supaya dia bisa bertanya secara langsung mengapa para dewa tidak ada satu pun yang mau mendengarkan deritanya?
Kalau Hiashi menyetujui, Hizashi mungkin tidak akan kembali. Dimensi tersebut—di balik Pohon Ginkgo adalah tempat tinggal para Dewa. Tidak pernah ada orang yang bisa keluar dari sana hidup-hidup. Hiashi bahkan tidak yakin apakah putrinya bisa keluar dari sana nanti, kalaupun Hizashi berhasil menemukan gadis itu. Mereka pasti akan tersesat, cukup mengorbankan satu orang, jangan menambah lagi, batin Hiashi dengan kepala yang diserang rasa bingung.
Hiashi kemudian melirik istrinya yang menangis, dengan usia kandungan yang masih muda, di dalam rahim wanita itu, ada anak kedua.
Bagaimana bisa dia melarang Hizashi pergi, istrinya mungkin akan bersedih, kalau putri mereka tidak ditemukan.
Hikari mungkin tidak peduli dengan keluarga Cabang, karena dia ingin putrinya kembali, sebaliknya Hiashi tidak menginginkan kehilangan adiknya. Ia memikirkan saudara kembarnya—agaknya lebih mementingkan adik kembarnya itu daripada putrinya, yang dia tahu, bahwa mungkin saja yang membawa anak itu pergi adalah si Oinari-sama, Dewa Rubah yang mendiami Ginkgo.
"Inari Daimyojin pasti membawanya pergi ke tempat tinggalnya." Hizashi memberitahu, dan Hiashi makin yakin dengan tebakannya sendiri.
Hiashi merengut di tempat duduknya, ia memandangi cawan tehnya kemudian dengan perasaan dongkol. Tapi kalau dia marah pada takdir seperti ini, pasti sang Inari akan menertawakannya.
Padahal apa yang terjadi sudah tertulis dalam perjanjian mereka. Kalau umur sepuluh tahun, kemungkinan Hinata menghilang, kecil kemungkinan untuk kembali. Tidak tertulis lagi bagaimana nanti kehidupan Hinata. Mana yang katanya bahwa gadis kecil itu istimewa? Kesal sekali kalau pada akhirnya, gadis itu hanya menumpang di keluarga ini, karena sebenarnya anak itu milik Inari, bukan miliknya, mereka hanya mendapatkan tempat untuk membesarkan dan memberikan kasih sayang saja.
Kepergian Hizashi, Hiashi malah mengomel pada istrinya. "Mengapa kau menangisi anak itu?" Hikari terkejut oleh perkataan suaminya. Jarang sekali dia menemukan bahwa suaminya marah. "Kau sudah tahu kalau anak itu pasti menghilang, tidak akan kembali, Inari Daimyojin sudah mengambilnya."
"Apakah kau kesal karena Hizashi mengambil tugas untuk menjemput putrimu?"
Hiashi tidak bisa berkata—menambah omelan sepertinya akan memperkeruh masalah mereka. "Kau terlihat tidak peduli pada Hizashi sedikit pun," balas Hiashi, suaranya pelan, tidak berani meninggi. "Dia tidak akan bisa kembali nantinya, 'kan? Padahal Neji masih butuh sosok ayah, kau tidak ingat, bahwa ibunya baru saja meninggal?"
"Kita bisa menjadi orangtua bagi Neji."
Hiashi terenyuh, ia hampir berteriak ingin marah, tapi kalau dia melakukan hal itu, bisa-bisa, semua masalah itu akan bertambah rumit. Oinari sedang mempermainkannya, ia tidak boleh terpancing. "Tidak semudah itu."
"Neji pasti akan mengerti soal ini. Seorang Shaman siap kapan pun untuk mati, apalagi dia dari Cabang."
"Tidak ingat kau juga dari mana?" Hikari terkejut, suaminya mulai hilang akal. "Hizashi adalah keluarga Utama. Kau sebenarnya yang dari Cabang. Mengapa kau berkata lancang seperti itu?"
"Jika memang aku terlahir sebagai seorang Shaman wanita, aku akan pergi menjemput putriku, dan aku tidak peduli dengan nyawaku, sekalipun sebenarnya anak itu hanya anak titipan yang kau bilang tidak layak hidup. Asal kau tahu saja, aku yang mengandungnya, dan aku yang berjuang untuk melahirkannya. Jelas saja jika perasaan yang kau miliki terasa berbeda, karena kau hanya menanam benihnya." Pipi Hiashi memerah, juga memanas, dia diserang rasa malu, juga ingin marah.
Kemudian, Hiashi minum teh dari cawannya. Tehnya sudah dingin, rasanya entah mengapa jadi hambar.
CATATAN KAKI:
Otedama adalah permainan anak-anak tradisional Jepang. Kantung kacang kecil dilempar dan disulap ke dalam permainan yang mirip dengan jack. Meskipun umumnya merupakan permainan sosial, Otedama juga bisa dimainkan sendiri. Jarang bersaing dan sering disertai dengan bernyanyi
Kendama adalah nama mainan asal Jepang berupa sebuah bola berlubang yang diikat seutas tali ke sebuah palang yang bentuknya mirip sebuah palu. Di Jepang, permainan ini dilombakan dalam kompetisi tingkat nasional.