Safira masih ingat dengan jelas kejadian kemarin malam. Ia tidak bisa tidur setelah melihat anak buah Paman Xavier menodongkan pistol ke arah Paman Edgar. Itu senjata sungguhan. Meski belum pernah melihat senjata api dari dekat, ia yakin senjata yang mereka bawa asli.
[Bagaimana mungkin mereka bisa melenggang masuk ke rumah orang sambil membawa senjata? Bukankah itu melanggar hukum?]
Di sampingnya, Paman Edgar dengan wajah dingin menyetir mobil. Paman sama sekali tidak membahas mengapa semalam Safira keluar kamar dan membuat suasana semakin runyam.
Bahkan, tadi pagi Paman Edgar berpamitan dengan Paman Made tanpa beban. Seakan kejadian kemarin tidak pernah terjadi.
Sebelum melanjutkan perjalanan, Paman Made memegang pundak Safira. "Aku harap kamu mengunjungiku kapan-kapan."
Safira menggangguk sambil tersenyum.
Sekarang Safira penasaran dengan sosok Paman Xavier. Kejadian kemarin masih rancu dalam benak Safira. Siapa pria itu? Bagaimana mungkin dia teman lama Paman Edgar? Mengapa Paman Edgar sangat membencinya setengah mati? Terakhir kenapa Paman Xavier berkata akan segera bertemu dengan Safira? Memangnya mereka akan bertemu lagi?
"Apa yang sedang kamu pikirkan?" tanya Paman Edgar cemas. Paman Edgar dari tadi memperhatikan Safira yang terus diam sepanjang perjalanan.
Safira tersadar dari lamunannya. "Aku masih memikirkan kejadian kemarin. Banyak hal yang membuatku bingung akhir-akhir ini."
Paman Edgar hanya mendengarkan.
"Kemarin sewaktu aku di dalam kamar, aku melihat beberapa pria muncul dari halaman belakang. Pria-Pria itu mengingatkanku pada penguntit tempo hari. Itulah sebabnya aku keluar kamar," cerita Safira.
"Tapi tidak kusangka keputusanku keluar kamar membuat suasana semakin runyam. Yang aku bingung, siapa sebenarnya Paman Xavier itu?" tanya Safira sambil menatap pamannya.
Paman menghela napas. "Dia dulu teman bisnisku. Tapi kami sudah tidak berteman lagi. Aku memutuskan pertemanan dengannya karena dia menjual senjata api ilegal. Intinya dia bukan orang baik, Safira."
Safira kaget.
"Senjata api? Bukankah itu melanggar hukum? Mengapa dia tidak ditangkap?" Sekarang semuanya jadi jelas mengapa Paman Xavier dan para anak buahnya dengan mudah menodongkan pistol. Mereka menjual senjata-senjata itu.
"Kamu benar sekali. Masalahnya jaringan Xavier sangat kuat di Indonesia. Tidak mudah menangkapnya," Paman Edgar menjelaskan.
Safira mengangguk paham.
Selain itu Safira penasaran apa yang dimaksud Paman Xavier dengan 'menagih apa yang harusnya menjadi miliknya.' Belum sempat bertanya, Paman Edgar mengentikan mobilnya di sebuah pantai kecil.
Safira turun dari mobil sambil membawa tasnya. Matanya terkagum-kagum melihat pantai di depan matanya. Pasirnya putih dan air lautnya berwarna biru jernih. Persis seperti pantai-pantai di Hawai yang pernah Safira tonton di BBC Channel.
Safira semakin kagum ketika melihat puluhan perahu nelayan dan feri berlabuh di tepi. Badan perahu itu di cat berwarna-warni jauh dari kesan kumuh perahu nelayan.
Aktivitas di pantai itu juga cukup padat. Para nelayan di pantai mondar-mandir. Ada yang membawa jala ikan, ada yang membawa tombak dan ada juga yang mengecek kapal sebelum berangkat menangkap ikan di malam hari.
Safira berjalan mengikuti Paman Edgar. "Kita mau apa ke pantai ini, Paman?"
"Kita mau menyebrang ke pulau," jawab Paman Edgar sambil membantu Safira membawa tasnya.
"Bukankah aku akan sekolah?"
"Iya. Sekolahmu ada di sebuah pulau. Untuk sampai kesana kita harus menyebrang," Paman Edgar menunjuk ke arah bintik hitam yang ada di tengah lautan.
Safira menyipitkan matanya.
[Apakah di pulau seperti itu ada sekolah?]
Paman Edgar menuntun Safira ke sebuah perahu yang memiliki bentuk berbeda dengan perahu-perahu nelayan lainnya. Deknya berwarna putih. Ada tulisan 'andalas' di badan perahu. Layar besar berwana kuning biru terpasang seolah menandakan perahu ini masih menggunakan angin untuk berlayar.
"Fira, paman hanya bisa mengantarmu sampai sini," kata Paman.
Safira menoleh ke pamannya. "Kenapa?"
"Sekolah tidak mengijinkan orang yang tidak berkepentingan untuk kesana," wajah Paman Edgar menunjukkan raut sedih. "Tapi tenang, perahu ini akan mengantarmu kesana dengan selamat. Paman akan menelponmu begitu kamu tiba disana."
Safira benci perpisahan. Ia tidak suka berpisah dengan pamannya. Apalagi ia tidak tahu sekolah macam apa yang ada di pulau terpencil itu. Safira mulai cemas dengan nasibnya.
"Nah, sekarang pergilah," Paman Edgar menepuk pundak Safira.
Dengan sedih gadis itu memeluk erat orang yang selama ini menjaganya. Safira naik ke perahu dan melambaikan tangan sedih pada Paman Edgar yang berdiri mematung di pinggir pantai.