ดาวน์โหลดแอป
46.66% 1001 Horor Indonesia / Chapter 7: Rumah Eyang

บท 7: Rumah Eyang

Sebelum memulai cerita, perkenankan saya untuk memperkenalkan diri terlebih dahulu. Nama saya Andi (nama samaran), saya akan menceritakan sebuah kisah, kisah yang saya alami sewaktu masih duduk dibangku SMP. Kisah ini saya alami selama kurang lebih 3 tahun di rumah eyang.

Pertama yang perlu saya tekankan, saya bukan penulis, saya tidak pernah menulis buku atau apapun itu. Saya disini hanya akan bercerita tentang kisah saya melalui media tulis. Jika diksi dan penyampaian saya kurang bagus atau bahkan jelek, saya mohon maaf. Niat saya hanya ingin bercerita tentang kisah saya 7 tahun silam, tepatnya dalam rentang waktu 2009-2012.

Dan lagi, kisah ini mungkin tak sepenuhnya akurat, karena demi kepentingan bersama ada satu atau banyak part yang akan saya potong atau saya tambahkan. Jadi, dimohon pengertiannya.

Aku dilahirkan pada hari dimana orang-orang dulu menganggapnya hari yang tak biasa. Ya, aku lahir pada weton1 yang kata orang dulu itu adalah hari yang spesial. Tapi walaupun aku lahir di hari weton itu, tak lantas menjadikanku orang yang "tahu". Aku tak bisa melihat mahkluk lain, aku juga tak bisa meramal, dan tidak sensitif terhadap makhluk mistis seperti teman-temanku yang lain.

Ya, bagaimanapun itu adalah sebuah mitos, mitos orang-orang dulu tentang anak yang lahir di weton yang katanya spesial. Kalian bisa percaya atau tidak sama sekali, semua terserah pada kalian.

Lahir sebagai anak kedua dari 3 saudara yang semuanya lelaki, hari-hariku sama seperti orang lain. Bocah yang pernah nakal, banyak tingkah, dan pernah beberapa kali hampir mati.

Masa kecilku sering dihabiskan dengan bermain ke rumah eyang. Semua itu bukan tanpa alasan. Eyangku adalah seorang wanita tua kelahiran tahun 1945 yang sudah lama ditinggal suaminya. Eyang yang menikmati masa tua sendirian terkadang membuat anak-anaknya yang sudah berkeluarga merasa sedih. Aku sebagai salah satu cucunya sering diberitahu oleh ibuku.

"Ndi, sana temenin eyangmu. Eyang sudah tua, bantuin eyangmu nyuci piring, pijitin eyang kalo badannya pegel-pegel," perintah ibuku.

Ibuku sering pula menengok eyang dan membantu beberapa tugasnya. Tapi, sebagai orang yg sudah berkeluarga, kewajibannya sebagai istri tak kalah banyaknya. Sebagai gantinya ibu menyuruh aku untuk menemani eyang.

"Kalo malem kamu tidur aja di rumah eyang, temenin beliau. Eyangmu tidurnya sendirian," ucap ibuku kala itu.

Setelah kakakku mulai beranjak dewasa dan menentukan pilihanya untuk merantau ke kota orang, Akhirnya sekarang giliranku tiba. Akulah yang akan bergantian menemani dan membantu beberapa pekerjaan di rumah eyang. Ya, sebelumnya, kakakku lah orang pertama yang menemani beliau sepeninggalan sang suami.

Menginjak bangku SMP, aku lebih sering menyempatkan waktuku untuk sekadar mampir ke rumah eyang sepulang sekolah, menengok serta memastikan apa yang tengah dikerjakan beliau.

"Lagi bikin apa eyang?" ,tanyaku.

"Ini, eyang lagi kepengen bikin kue. Udah lama gak bikin kue ini," balasnya sumringah.

Semasa muda, eyangku memang sering membuat kue-kue tradisional, lalu dijualnya keliling desa dengan berjalan kaki. Tapi maaf, aku sudah lupa nama kuenya sekarang.

Selama berhari-hari tidur di rumah eyang, tak pernah sekalipun ada kejadian-kejadian aneh yang aku alami. Selepas tidur, bangun pagi, mandi dan pulang ke rumah untuk kemudian berangkat sekolah. Normal-normal saja.

Hingga tiba di satu malam. Malam yang mengubah pikiranku, sekaligus awal dari rentetan kejadian selama 3 tahun lamanya.

Berbicara tentang rumah eyang, tak ada yang spesial dari bentuk bangunannya, letak bangunannya, ataupun sejarah berdirinya rumah ini. Yang aku tahu rumah ini sudah mengalami renovasi secara total satu kali. Dulunya rumah ini hanya rumah biasa bertembok kayu dan beralaskan tanah. Tak ada yg spesial dari itu.

Sisa sumur yang umurnya mungkin sama dengan rumah eyang juga masih ada. Letaknya di belakang rumah, bersebelahan dengan pepohonan bambu yang sekarangpun masih rindang. Mata airnya jernih dan segar. Sejauh yang kutahu, hanya sumur ini dan sumur samping masjid yang kejernihannya berbeda dari sumur milik warga lainnya.

Kembali ke kisah malam yang tadi sempat kusinggung. Malam itu, ada yang tak biasa dengan aura kamar bekas kakakku tempati sewaktu di rumah eyang, rasanya udara kamar terasa begitu dingin dan lembab.

Aku hanya menggumam, "ah mungkin akibat letak kamar yg berdekatan dengan kamar mandi, jadinya dingin."

Tak sekalipun terbesit pikiran mengenai hal-hal mistis kala itu. Akhirnya aku hanya menghiraukannya dan mencoba memejamkan mata sembari menarik selimut sampai menutupi kepalaku, karena entah mengapa udaranya terasa begitu dingin malam itu.

"Ah kok ga tidur-tidur, padahal sewaktu menonton tv tadi, rasa kantukku sudah memuncak," batinku.

Aku masih berusaha memejamkan mata dan berharap cepat tidur.

Hingga tiba di satu momen, momen dimana aku merasakan ada sesuatu di ujung jemari kakiku, menyentuh pelan dan perlahan-lahan terus naik ke atas tubuhku. Sesuatu entah apa itu, tapi kurasakan sesuatu itu seakan memelukku, mendekap sampai seluruh tubuhku tak bisa digerakkan. Kaku, sulit bernafas, bahkan untuk mengucap kata rasanya aku tak sanggup.

Hanya kalimat doa dan istighfar yang aku lantangkan di dalam hati, mencoba melawan melepas sesuatu yg seakan mendekapku. Aku terus melawan sampai akhirnya aku merasa kewalahan dan menyerah. Sungguh, dadaku terasa sesak, mataku sulit terbuka, kaki dan tanganku kaku.

"Ya Tuhan apa ini. Astaghfirullah, astaghfirullah, astaghfirullah,".

Entah berapa kali aku mengucap kalimat istighfar di dalam hati. Tapi sesak di dadaku masih belum juga reda. Bahkan aku sudah pasrah jika memang ini adalah ajalku, pikirku kala itu.

Lima belas menit berlalu, aku masih berkutat dengan keadaan itu. Sesaknya belum juga hilang, kaku yang dirasakan tubuhku belum juga usai. Hanya doa dan istighfar kala itu yang selalu kupanjatkan, berharap keadaan ini cepat berakhir.

Sampai pada akhirnya kukerahkan seluruh tenagaku sekuat mungkin, mencoba melawan dengan kalimat "Allahuakbar", badanku langsung terbangun dengan kepala terlebih dahulu. Kau tahu? Seperti kalian yang terbangun kaget saat mengalami mimpi buruk.

Kesadaranku berangsur pulih, nafasku tersengal-sengal. Rasa panik, khawatir dan takut sudah menjadi satu, aku masih mencerna kejadian yang barusan kualami.

"Astaghfirullah Hal Adzim, Astagfirullah Hal Adzim".

Entah berapa puluh kali aku mengucapkan kalimat istighfar. Sungguh, hanya rasa takut yang menguasai pikiranku kala itu.

Aku mengatur nafas, memanjatkan ayat kursi untuk menenangkan jiwa serta memijit-mijit dadaku untuk melemaskan otot yang tegang, dan bertanya-tanya dalam hati.

"Apa yang terjadi barusan, apakah tadi itu mimpi? Ah bukan, memang terasa seperti mimpi. Tapi, rasa sesak dan kaku di sekujur badanku benar-benar aku rasakan," batinku.

Sorot mataku mengarah ke penjuru ruangan kamar, melihat sekililing dan tak ada apapun di ruangan ini selain diriku. Dengan segenap doa dan keberanian, aku mengatur kembali posisi tidurku, menarik selimut lagi. Udaranya masih dingin, ujung jemari kakiku menahan selimut agar tidak tersingkap.

"Bismillahirrahmanirrahim".

Aku mulai memanjatkan ayat Qur'an, kubaca surat Al-Ikhlas tiga kali, dilanjutkan Al-Falaq, An-Nas, selanjutnya Al-Fatihah, dan yang terakhir ayat kursi sebagai penutup. Kupejamkan mata ini, mengatur nafas yang masih saja tak beraturan, hingga akhirnya lelap dalam balutan selimut lembut nan tipis itu.


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C7
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ