ดาวน์โหลดแอป
23.07% Duda? Hot Daddy / Chapter 6: Part 6

บท 6: Part 6

"Sayang bangun, udah siang."

Tak biasanya Syafina bangun terlambat, waktu telah menunjukkan pukul 06.49 namun dia masih terlelap dalam tidurnya. Kudekati dan bermaksud mengusap serta membelai kepalanya.

"Astaga."

Aku tersentak ketika mengusap kening Syafina, tubuhnya panas dan mungkin itu alasan Syafina belum terbangun dari tidurnya saat ini.

"Sayang, bangun."

Dengan lembut aku mencoba membangunkannya untuk sarapan dan sesegera mungkin minum obat, Syafina terbangun dengan kondisi tubuh lemah lalu merengek.

"Ayah."

Aku segera menggendong dan menimangnya lalu membawanya ke dapur untuk sarapan dan minum obat agar demamnya bisa segera turun. Aku selalu menyediakan obat-obatan dalam kotak p3k, sekedar untuk berjaga-jaga ketika aku atau Syafina sakit. Sambil tetap menggendongnya, aku menyiapkan roti tawar untuk sarapannya karena yang ku tahu perut tak boleh kosong ketika kita harus minum obat, akan berbahaya untuk lambungnya, apalagi Syafina masih termasuk balita. Setelah mengolesi selembar roti tawar dengan selai cokelat kacang kesukaanya, aku melipat roti tersebut dan menyuapkannya pada Syafina, namun ternyata dia menolak disuapi.

"Gak mau."

Syafina menggeleng lalu kembali merengek. Aku tak langsung memaksanya untuk makan, pelan-pelan aku mencoba memberikan pengertian.

"Sayang, kalau kamu gak makan nanti gak bisa minum obat loh."

Kucoba kembali menyuapkan roti tadi yang masih ada ditangan kananku, namun Syafina masih menolaknya.

"Sayang, kalau kamu gak minum obat nanti gak sembuh-sembuh loh, kalau nanti kamu gak sembuh-sembuh nanti kamu ayah bawa ke rumah sakit terus tangannya nanti ditusuk jarum infusan, mau gak?"

Syafina terdiam sejenak, mungkin dia membayangkan tentang apa yang kuucapkan tadi karena akhirnya dia mau memakan roti selai yang kubuat sebelumnya, walaupun tak sampai habis tapi kurasa cukup untuk untuk sekedar mengisi perutnya yang memang kecil.

"Habis ini minum obat ya."

Aku mendudukkan Syafina di kursi meja makan dan kutinggal untuk mencari obat pereda demam untuk anak-anak yang biasanya selalu tersedia pada kotak p3k di rumahku, namun sayang aku tak menemukannya, mungkin aku lupa membeli obat karena Syafina jarang sekali sakit, dalam kondisi seperti ini aku harus pergi ke toko yang tak jauh dari kompleks untuk membeli obat penurun demam untuk anak-anak. Namun sebelum itu aku membawa Syafina lebih dulu kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

"Sayang tunggu sebentar ya, ayah mau beli obat dulu ke toko yang ada di depan."

Syafina mengangguk pelan, wajahnya mulai pucat dan kurasa suhu tubuhnya bertambah panas. Aku bergegas menuju ke toko dengan hanya berjalan kaki, karena memang toko itu tak jauh dari kompleks rumahku. Cukup dengan lima menit aku sudah kembali berada dirumah dengan membawa obat penurun panas untuk anak-anak.

"Sayang minum obat dulu ya."

Kali ini Syafina tak menolak untuk minum obat, mungkin dia masih ingat apa yang akan terjadi kalau dia menolak untuk minum obat.

"Anak ayah pinter, gak pahit kan?"

Syafina tersenyum, rasa obat untuk anak kecil memang dirancang agar rasanya seperti rasa buah-buahan atau rasa manis untuk mengatasi anak kecil yang susah minum obat. Selain meminum obat, aku juga membeli obat penurun panas yang saat ini sedang aku tempelan di dahi Syafina, semoga dengan di obati dari luar dan dalam bisa dengan cepat menurunkan demamnya.

Dua jam telah berlalu, Syafina tertidur kembali dengan kondisi demam yang sudah mulai turun, aku lega karena sepertinya dia akan sembuh cukup dengan minum obat-obatan biasa saja. Melihatnya tertidur, aku memotretnya dan mengunggah fotonya pada media sosialku lengkap dengan do'a yang kutulis dan diakhiri dengan emoji berharap serta sedih. Foto itu menarik simpat teman-teman media sosialku, banyak dari mereka yang mendoakan kesembuhan untuk Syafina, termasuk Ana.

"Mas, Syafina sakit apa? Nanti sore aku kesana ya."

Komentarnya pada laman komentar status yang kuunggah. Aku tak membalasnya, hanya sekedar memberikan simbol hati untuk komentar Ana itu.

Ponselku berdering nyaring dengan tulisan pada layarnya dengan nama "Ana."

"Halo."

Setelah keluar dari kamar Syafina, baru kuangkat telefon darinya, aku tak mau mengganggu istirahat Syafina dengan obrolanku bersama Ana.

"Mas, Syafina kenapa? Dia sakit apa? Sudah minum obat belum?"

Tanyanya tanpa jeda. Aku menjawab telefonya dengan santai karena mengangapnya lucu dengan nada bicaranya yang seperti itu.

"Dia cuma demam ko, tadi udah minum obat."

Setelah sedikit berbincang dengan Ana lewat telefon tadi, dia menjanjikan bahwa sore ini dia akan menjenguk Syafina di rumah, sempat ku larang namun dia memaksa dan tetap akan datang. Selesai menerima telefon aku kembali ke kamar Syafina untuk memeriksa suhu tubuhnya, selama kurang lebih dua jam ini ku hitung sudah lebih dari 10 kali aku mengecek suhu tubuhnya dan aku bersyukur demamnya sudah semakin turun.

Kembali ponselku bergetar, kali ini tanpa suara, sengaja ku aktifkan silent mode agar tak mengganggu istirahat putri kecilku. Tanpa kulihat tulisan nama pada layarnya aku menjawab panggilan tersebut.

"Halo."

"Mas, Syafina sakit?"

Tak seperti sebelumnya, kali ini suara di ujung ponsel sana bernada datar, aku mengenal suara itu tanpa harus melihat nama pada layar yang tertera.

"Iya, tapi udah mendingan ko."

"Kenapa tadi pagi gak ngabarin?"

"Aku baru tau dia sakit pas kamu udah berangkat."

Entah kenapa obrolan kami saat ini begitu kaku, Mira pun sepertinya sedang tak ingin ramah seperti biasanya, dia begitu dingin, mungkin saat ini sedang banyak yang difikirkan olehnya. Bahkan sampai dia menutup telefon pun terasa sekali kalau dia memang tak seperti biasanya.

"Ayah."

Suara lemah Syafina membuyarkan fikiranku tentang dia.

"Ya sayang, cantik udah bangun, gimana? Badannya udah enakkan belum?"

Syafina tak menjawab pertanyaanku, dia malah berbalik memelukku setelah aku berbaring disampingnya dan mengusap lembut kepalanya. Kurasa panasnya sudah benar-benar turun. Keringat membasahi sekujur tubuhnya, mungkin itu yang membuatnya terbangun.

"Kamu laper gak?"

Syafina menggeleng dalam dekapan ku. Sakit mengurangi nafsu makannya, padahal sejak pagi hingga siang ini dia hanya mengkonsumsi roti saja, itupun tak sampai habis.

"Gak boleh gitu sayang, kamu harus makan, kamu mau nanti panas lagi terus tangannya disuntik infusan?"

Lagi, dia menggeleng namun tak mengatakan apapun. Aku berfikir harus membujuknya dengan cara apa agar dia mau makan.

"Ya udah kalau kamu gak mau makan, ayah tinggal ya?"

Kata-kataku sukses membuatnya merengek namun tak membuatnya takut, justru membuatnya semakin susah untuk dibujuk. Dalam kondisi seperti ini, anak kecil hanya ingin minta dimanja dan dimengerti oleh orang tuanya.

"Ya udah, kamu maunya apa? Mau makan apa?"

Kali ini dia tak menjawab ataupun menggeleng, mungkin dia sedang berfikir tentang apa yang diinginkannya.

"Aku pengen es krim Yah."

Kali ini aku terpaksa memenuhi apa yang diinginkannya, namun aku pun memberikan syarat agar dia harus banyak makan agar cepat sembuh.

Setelah semua keinginan Syafina terpenuhi, dia menepati janjinya yang kurasa bukan sekedar karena itu saja, mungkin Syafina juga tak menginginkan jarum suntik dan infusan menancap pada salah satu tangannya.

Terdengar suara mobil berhenti di depan rumahku, aku yang sedang berada di dalam kamar Syafina segera keluar menuju ke ruang tamu lalu membuka sedikit tirai jendela untuk melihat siapa yang datang, ternyata dia, aku tersenyum melihatnya keluar dari mobil dengan pakaian seksinya, sedikit memperlihatkan tatto dibagian lengan atas, gambar dengan warna kulit putihnya yang kontras. Aku lebih dulu membukakan pintu untuknya sebelum Ana sempat mengetuknya.

"Hai."

Ana terkejut melihatku tengah berdiri dipintu yang terbuka tersenyum dan menyadari kedatangannya.

"Ko tau aku dateng?"

"Iya, tadi kedengeran suara mobilnya, kirain kamu mau ke sini nanti sore?"

"Tadinya sih gitu, cuma gak sabar aja."

"Davina mana? Kamu sendirian aja?"

Belum sempat Ana menjawab pertanyaanku, Syafina yang dari tadi sepertinya mendengar pembicaraan aku dengan Ana keluar dari kamarnya.

"Tante."

Syafina sudah berdiri dibelakang ku tanpa ku sadari, lalu menyapa Ana yang masih berdiri di depan rumah.

"Halo sayang, katanya sakit? Ko udah senyum lagi, udah mendingan?"

Tanpa dipersilahkan masuk, Ana dengan sendirinya masuk dan menggendong Syafina.

"Udah sembuh tante, kak Davinanya mana tante?"

"Kakaknya gak ikut sayang, lagi di rumah."

"Mas, bisa tolong ambilin barang-barang di mobil gak? Semuanya ya."

Tanpa menjawabnya aku yang baru mau menutup pintu depan langsung menuju mobil Ana. Setelah kubuka pintu belakang mobilnya, terlihat beberapa barang dengan dibungkus kantung plastik besar hampir mengisi penuh jok belakang mobil, aku kebingungan dengan apa yang ana katakan sebelumnya sehingga aku tak mengambil satu barangpun dari sana. Aku kembali ke dalam rumah untuk memastikan apa yang harus aku bawa.

"Loh, mana barangnya mas? Belum di ambil?

Ana heran melihatku kembali tak membawa apapun.

"Mmmhhh, Itu yang harus di ambil yang mana ya? Banyak soalnya."

Ana tersenyum dan aku tak mengertia arti dibaliknya.

"Semuanya mas, itu buat kamu sama Syafina."

"Hah? Sebanyak itu?"

"Iya, emang kenapa? Udah tolong cepet ambilin mas, Syafina pasti suka."

Tanpa menunggu Ana mengulangi ucapannya, aku kembali ke mobilnya untuk mengambil semua barang yang berada di jok belakang. Dengan susah payah aku mengambil satu persatu kantung plastik berisi barang belanjaan itu lalu membawa semuanya ke dalam rumah.

"Nah, ini buat kamu sayang."

Ana begitu memanjakan Syafina lewat semua barang yang dia berikan, padahal kurasa Syafina tak membutuhkan itu namun dia lebih membutuhkan yang lebih berharga dari pada itu, yaitu kasih sayang.

"Makasih tante."

Syafina senang menerima semua pemberian dari Ana, namun yang kurasa dia sama sekali tak begitu menginginkannya, itu dapat terlihat dari ekspresinya yang tak terlalu menikmati apa yang Ana berikan. Tak banyak yang kami lakukan selama Ana menengok Syafina, Syafina lebih asik dengan mainannya sendiri, sementara aku lebih banyak mendengar apa yang ingin Ana ceritakan, sampai pada akhirnya pembahasan kami menjadi serius.

"Oh iya, hubungan kamu sama Mira gimana?"

Entah kenapa aku begitu kurang nyaman ketika Ana mulai menanyakan kedekatanku dengan Mira.

"Mmmhhh, biasa aja, emang kenapa?"

Ana tersenyum tak menjawab pertanyaanku, aku melihatnya merasa senang dengan jawabanku tapi aku tak mengerti apa yang membuatnya seperti merasa lega.

Tak terasa beberapa jam telah berlalu, hingga sore pun tiba.

"Aku pulang ya?"

"Loh, mau kemana? Masih sore loh."

Aku sedikit berbasa-basi mencegahnya pulang, padahal dalam hati tak enak juga kalau Ana bertamu dengan pakaian seperti itu, bisa-bisa nanti akan menjadi gosip para tetangga.

"Gak enak ah, keseringan main lama, nanti lama-lama aku pengen nginep loh."

Ucapnya sambil menggodaku lalu beranjak menuju ke mobilnya. Aku mengantarnya hingga ke pintu mobil, dan sebelum pulang tak lupa mengucapkan terimakasih karena sudah menjenguk Syafina dan juga repot-repot harus membawa barang-barang untuknya. Kubukakan pintu mobil untuknya, namun tanpa kuduga dia melakukan sesuatu yang membuatku menjadi salah tingkah.

Cup...

"Makasih ya."

Ana masuk ke dalam mobil bersamaan dengan sebuah mobil lain  yang datang dan berhenti tepat seberang jalan rumahku lalu masuk kedalam garasi rumahnya. Sebelum masuk, pengemudi mobil itu sempat membuka kaca mobilnya dan menatap ke arahku dengan tatapan yang tak ku mengerti. Entah kenapa melihatnya seperti itu adrenalin ku seperti terpacu, detak jantung yang sebelumnya santai berubah menjadi cepat, namun aku berusaha berfikir positif bahwa semua akan baik-baik saja, karena aku menyadari aku tak memiliki ikatan dengannya.


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C6
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ