Seminggu telah berlalu semenjak kejadian itu, syukurlah mereka tak saling bermusuhan tanpa sebab dan kami bertigapun sudah mulai akrab, terutama Ana dan Mira, mereka terkadang suka berkomunikasi di media sosial dengan berbalas komen, namun dari bahasa yang mereka gunakan sepertinya masih sedikit terasa kaku, semoga ketika Ana menginap dirumah Mira kemarin mereka sempat mengobrol. Naskah yang kukerjakan telah selesai dan hanya tinggal menunggu hasil, untuk sementara aku meliburkan diri selama satu minggu agar tubuh dan fikiranku segar kembali. Waktu untuk menulis satu buku hingga selesai cukup melelahkan ditambah lagi waktu tidurku menjadi tak teratur karena terkadang inspirasi itu datang tak tau waktu hingga tak terasa ketika menulis terkadang aku sampai lupa waktu.
Sore hari ini langit tak secerah biasanya, dia sedang bermuram durja, entah apa yang sedang terjadi dengannya atau mungkin saja karena manusia sudah tak begitu menyayanginya dan hanya sebatas butuh ketika dia sedang indah untuk mengabadikan momennya saja. Beruntung hari-hariku kini tak seperti itu, senyum Syafina yang belum terbebani keinginan menggenggam dunia selalu bisa membuatku bahagia. Ada rasa getir ketika setiap hari dia tumbuh semakin dewasa, kasih sayang yang tak pernah didapatkan dari ibunya yang telah tiada, sekilas seperti tak berpengaruh apa-apa, namun aku mengerti dibalik tatapannya yang terkadang kosong, ada sebuah harapan untuk mendapatkan kembali apa yang telah hilang.
"Yah, liat."
Syafina menunjukkan hasil dari apa yang sejak tadi digambarnya dengan bahagia, memang tak sempurna namun memiliki arti begitu dalam yang menggambarkan perasaan rindunya, rindu seorang ibu. Syafina cukup suka menggambar bahkan dari usianya masih dua tahun dia sudah mulai suka mencoret-coret kertas di meja kerjaku, sampai pada akhirnya perlahan tapi pasti, kemampuannya dalam menggambar sudah cukup lumayan untuk anak seusianya, kalau aku mendukungnya untuk berkembang dengan apa yang menjadi minatnya, mungkin saja suatu saat nanti kemampuan Syafina akan menjadi jalan hidupnya seperti apa yang aku jalani.
"Bagus sayang, ternyata anak ayah hebat."
Dibalik pujian yang kuberikan, terbersit rasa haru yang mampu menyentuh perasaan hingga tanpa sadar setitik air menetes diujung mata melihat gambar seorang wanita tanpa wajah yang berdiri menggandeng tangan gadis kecil disampingnya, yang kuyakini gadis kecil itu adalah dirinya sendiri.
Selaras dengan apa yang kurasa saat ini, rintik hujan mulai turun perlahan namun pasti berubah menjadi hujan deras, sempat terfikir olehku untuk mengajak Syafina menikmati masa kecilnya bermain air hujan, yang pada zaman sekarang ini mungkin saja sudah jarang seorang anak bisa menikmati masa kecilnya dengan pengalaman menikmati alam, banyak dari anak kecil yang harus terus dibius oleh perkembangan yang bisa saja merusak tumbuh kembang mentalnya jika tanpa edukasi dan pengawasan yang benar dari orang tuanya.
"Sayang, kalau Ayah ngajakin kamu main ujan-ujanan mau gak?"
Mendengar ajakanku Syafina sumringah dan antusias, dia langsung membereskan perlengkapan menggabarnya dan membawanya kekamar untuk disimpan di meja belajarnya.
"Ayo Yah."
Syafina segera berlari keluar, hujan yang semakin deras membuat aku dan Syafina langsung basah kuyup. Aku menggendong dan sesekali memutar tubuhku dan Syafina yang berada dalam gendonganku hingga sedikit terasa pusing, namun tawa Syafina semakin pecah, aku bahagia bisa melihatnya bahagia seperti ini, beban yang terasa berat itu seperti sejenak terangkat.
"Tante."
Syafina berteriak ketika melihat Mira yang sejak tadi tersenyum melihat tingkah laku konyol kami didepan rumahnya. Mira melambaikan tangannya pada Syafina.
"Ujan-ujanannya jangan lama-lama, nanti sakit."
Mira menasihati kami yang masih asik menikmati hujan yang sejak tadi belum mereda. Lima menit tentunya takkan cukup untuknya bermain air hujan kali ini. Gemericik hujan menyamarkan suara Mira, yang pada akhirnya membuatnya menghampiri kami. Setelah kurang lebih sepuluh menit berlalu, Mira mengajak Syafina untuk berhenti.
"Sayang, udah yuk, nanti sakit loh."
Tanpa perlu diminta dua kali, Syafina pun akhirnya mengikuti apa yang Mira katakan. Mira menggendong Syafina dan membawanya masuk ke dalam rumahku, dia tak peduli dengan bajunya yang basah karena menggendong Syafina yang basah kuyup oleh air hujan.
"Langsung mandi ya, tante mandiin."
Aku menunggu mereka di luar dengan pakaian basah kuyup, namun tak berapa lama Mira keluar kembali dan membawakanku handuk untuk sementara mengeringkan tubuh dan rambutku.
"Makasih."
Entah kenapa aku seperti tamu di rumahku sendiri sampai aku tak berani masuk ketika Mira dan Syafina masih berada di kamar mandi, aku lebih memilih menunggu mereka sambil duduk di kursi tempat biasa aku mengobrol dengan Mira. Hujan masih belum berhenti, namun sudah tak sederas seperti sebelumnya, aku mulai tersenyum namun bukan karena hujan yang diperkirakan sebentar lagi akan berhenti, tapi di otakku kini sedang terbayang sesuatu yang gila yang mustahil terjadi, aku membayangkan kalau saat ini aku, Mira dan Syafina adalah satu keluarga bahagia, dan itu membuatku malu pada diriku sendiri terlebih ketika aku tak menyadari orang yang ada dalam bayanganku tengah berdiri di ambang pintu dan tersenyum aneh menatapku.
"Kamu kenapa?"
"Eh, enggak, gak kenapa-kenapa, aku mandi dulu ya."
Demi menghindari pembahasan tentang apa yang membuatku tersenyum-senyum sendiri, aku bergegas menuju ke kamar mandi. Setelah selesai mandi kukira Mira telah pulang, namun ternyata dia masih ada di kamar bersama Syfafina.
"Udah?"
Menyadari kedatanganku, Mira tersenyum lalu mendekatiku, aku yang tak memiliki riwayat kelainan jantung merasa aneh, jantungku berdetak dengan cepat sepersekian detik sampai akhirnya kembali normal ketika Mira melewatiku dan berjalan menuju dapur rumahku. Entah apa yang ingin dia lakukan, tapi aku tak menanyakan ataupun melarangnya. Tak berapa lama Mira kembali dengan membawa tiga cangkir minuman hangat pada nampan yang ada ditangannya, dua cangkir teh untukku dan dia serta satu gelas susu untuk Syafina.
"Biar gak dingin."
Ucapnya seraya menaruh minuman itu di meja belajar Syafina. Mira sudah beberapa kali masuk kerumahku dan sepertinya dia sudah tau dimana biasanya aku menyimpan semua kebutuhan dapurku sehingga dia tak perlu bertanya lagi ketika tadi membuat teh dan susu hangat, tapi kurasa karena memang rumah dan dapurku juga kecil jadi sangat mudah untuk mengingat atau mencari barang-barang disana.
"Aku didepan ya."
Aku meninggalkan Mira dan Syafina dikamarnya, bagaimanapun tak enak rasanya yang bukan muhrim berada dalam satu kamar yang sama walaupun disana masih ada Syafina.
Untuk sejenak aku kembali menikmati rintik hujan yang telah berubah menjadi gerimis kecil ditemani secangkir teh yang dibuat Mira yang mampu menghangatkanku dari dalam sementara dari luar kubalut tubuhku dengan sweater tebal lengkap dengan tudungnya yang kukenakan hingga menutup telinga dan pendengaranku. Tenang rasanya menikmati sepi dan kesendirian, namun itu semua tak berlangsung lama karena hidungku tiba-tiba terganggu oleh wangi aroma masakan yang sudah begitu kuhafal. Aku terbiasa memasak telur dadar untuk Syafina ketika tak ada pilihan lauk untuk makan. Wangi ini sepertinya berasal dari dalam rumahku sendiri, aku menebak kalau Mira sedang di dapur dan menyiapkan makanan untuk Syafina, nasi sudah ada pada rice coocker yang sejak tadi siang aku masak, jadi kurasa Mira hanya membuat lauknya saja. Aku membiarkannya melakukan apapun yang dia mau hanya untuk sesekali dan tak setiap hari.
"Mas makan yu? Makanannya udah siap."
Aku sedikit mengernyitkan dahi, ternyata Mira menyiapkan makan untuk kami semua.
"Ayo, mumpung masih anget."
Melihatku yang diam saja, Mira menarik tanganku menuju meja makan kecil yang berada di samping dapur, disana sudah tertata rapi piring, nasi dan lauknya, walaupun hanya sebatas telur dadar saja namun cukup menggugah selera.
"Aku ikut makan disini ya."
Aku tersenyum mengiyakan, tak pantas rasanya menolak permintaan orang yang sudah membantuku, bahkan jika Mira tak makan disini pun aku akan mengajak dan memaksanya makan bersama. Mira mengambilkan nasi untukku dan Syafina yang sudah lebih dulu duduk dibalik meja makan, sungguh terasa seperti keluarga bahagia, namun sayangnya disaat seperti ini bayangan ibu kandung Syafina tiba-tiba saja melintas, membuat senyumku terasa getir.
"Mas, ko ngelamun? Masakanku gak enak ya?"
Lagi, Mira ternyata memperhatikanku, dan berkat ucapannya tadi kini Syafina pun menatapku seraya mengunyah makanan dalam mulutnya, tatapannya seperti seolah bertanya "ayah kenapa?"
"Eh, gak ko, enak...iya kan sayang? Masakan tante enakkan?"
Aku berusaha mengalihkan pembicaraan dan berusaha membuat suasana makan menjadi hangat. Syafina mengngguk dan melanjutkan makan dengan riang. Sekilas kulihat Mira tersipu malu, terlihat jelas pipinya yang sedikit memerah merona dan aku akui, Mira memang cantik, namun aku akan tetap mengubur mimpi untuk mencari pengganti Viona, apalagi dengan statusku saat ini. Setelah selesai makan, aku membereskan piring dan sendok yang kami gunakan, sengaja aku lakukan agar tak merepotkannya. Kami duduk kembali di meja makan untuk mendengarkan celotehan Syafina yang membuat aku dan Mira tertawa. Namun tiba-tiba Syafina turun dari kursinya dan merajuk minta digendong setelah suara petir tiba-tiba datang dan aliran listrik seketika padam, perhatianku terfokus untuk menggendong Syafina hingga tanpa sadar tangan mira menggenggam erat tanganku, mungkin suara petir dan padamnya aliran listrik tadi juga membuatnya kaget. Perlahan aku melepaskan genggaman tangannya lalu menggendong Syafina kemudian memangkunya, tak kusadari tanganku refleks menggenggam kembali tangan Mira yang tadi ku lepaskan, yang masih berada disana. Aku menyalakan aplikasi senter pada ponselku dan kemudian kutaruh di atas meja. Cahayanya cukup untuk sekedar menerangi kami bertiga. Syafina semkakin erat memelukku sementara Mira terkadang semakin erat menggenggam tanganku ketika petir silih berganti datang menggelegar. Aku kembali melepaskan genggaman tangan Mira sambil tetap menggendong Syafina, kugeser kursi yang kududuki agar lebih dekat dengan Mira, dan setelah duduk, kembali kugenggam tangannya namun kali ini Mira menolak genggaman tanganku dan lebih memilih menyandarkan kepalanya dibahuku, tangan kirinya mengusap-usap punggung Syafina yang berada dipangkuanku, sementara tangan kanannya kembali menggenggam tangan kiriku. Aku merasa seperti membeku dalam situasi seperti ini walaupun aliran darahku sepertinya memanas akibat detak jantungku yang semakin kencang, namun tak berlangsung lama, aliran listrik mati hanya sekitar satu jam saja. Mira melepaskan genggaman dan sandaran kepalanya, tatapan kami bertemu dengan senyum simpul salah tingkah yang saling tergambar jelas pada ekspresi wajah, beruntung Syafina tak melihat kejadian itu, dia sudah terlelap dalam pangkuanku saat aliran masih terjadi tadi. Segera aku membaringkan Syafina dikamarnya, Mira menungguku diruang tamu, cuaca diluar sepertinya sudah kembali normal dan tak menakutkan.
"Hhhmm, mau langsung pulang apa mau..."
Belum selesai dengan kalimatku, Mira langsung memotongnya.
"Aku pulang aja ya, gak enak udah malem."
Aku mengantar Mira pulang kerumahnya, setelah mengucapkan terimakasih atas semua yang dilakukannya tadi aku segera kembali kerumah, khawatir dengan Syafina yang tertidur sendiri dikamarnya.