ดาวน์โหลดแอป
24.44% Am I Normal? / Chapter 11: Kepura-puraan

บท 11: Kepura-puraan

Di siang hari ini, Haru bersiap-siap untuk menepati sebuah janji. Ya, Akhir pekan. Haru dan Kanna akan berkencan pada pukul satu nanti, dan sekarang setengah jam sebelum waktu yang sudah mereka sepakati.

Ia tampak biasa saja dengan berpakaian kasual seperti biasa. Ia memang tidak begitu mempedulikan penampilannya dalam mengencani seorang wanita, begitupun dengan kesehariannya. Akan tetapi, pria tampan sepertinya selalu terlihat menarik dengan apa yang dikenakannya.

Ia tidak begitu bersemangat hari ini, tatapi janji tetaplah sebuah janji. Ia harus melakukannya karena sudah berjanji, dan ia bukanlah tipe seorang pengingkar janji dalam hal seperti ini.

Sebelum ia pergi, ia menyempatkan diri untuk menghubungi Daiki terlebih dahulu dan memintanya untuk datang ke lapangan basket yang berada tidak jauh dari sekolah mereka pada pukul tujuh malam nanti. Daiki mengiyakan dengan suara yang sedikit serak; terdengar seperti ia baru saja terbangun dari tidurnya.

Setalah itu, Haru pun bergegas pergi; menyusuru jalanan yang begitu ramai; di bawah terik sinar matahari yang seolah menyemangatinya dengan cuaca cukup mendukung bagai bertepuk tangan.

Setibanya di tempat yang mereka sepakati, matanya mulai mencari keberadaan kanna di keramaian, lalu meraih ponselnya; berniat untuk menghubunginya karena tidak menemukannya, tetapi sebelum ia melakukannya, wanitu itu menepuk pundaknya dari belakang hingga membuatnya terkejut.

"Senpai!" Sapa Kanna sambil tersenyum.

"Kau terlambat, senpai…" Lanjutnya dengan memanyunkan bibirnya yang membuatnya terlihat begitu menggemaskan.

Kanna tampak begitu cantik dengan baju merah muda yang ia kenakan hari ini, dengan aksesoris rambut yang tampak cocok untuk potongan rambut pendeknya. Begitu cantik. Ia tampak berbeda dari sebelumnya, saat mereka bertemu di samping sekolah; terlihat lebih cantik hari ini dengan polesan halus yang diberi pada wajahnya, dan liptint yang menambah keindahan bibirnya.

"Hmm...maafkan aku...tadi aku menelpon temanku, jadi aku terlambat" Kata Haru.

"Nishimiya-chan? Kau terlihat sangat cantik hari ini" Lanjutnya.

"Hmm...Senpai, panggil aku Kanna saja ya..." Balas Kanna.

"Ah...baiklah...Kanna-chan, ya?" Kata Haru sembari menunjukkan senyum terbaiknya.

Kanna tampak tersipu malu dengan pipinya yang merah merona seketika setelah Haru berkata seperti itu, dan membuat Haru tersadar bahwa ucapannya adalah sebuah kesalahan. Ia tidak seharusnya berkata seperti itu padanya; khawatir Kanna akan semakin berharap padanya; dan ketakutan jika berakhir dengan menyakiti perasaan seseorang, lagi.

Mereka pun pergi ke berbagai macam tempat. Mulai dari aquarium, bioskop, restaurant, dan lainnya. Mereka juga membicarakan banyak hal di perjalanan mereka, dan berpikir bahwa Kanna adalah seorang yang menyenangkan juga.

Kanna terlihat begitu menikmatinya dan tampak begitu senang hari ini. Namun, tidak bagi Haru yang hanya sebagai seorang yang bersembunyi dibalik senyumannya sendiri. Dimana, jauh dari lubuk hatinya, ia tidak ingin menyakiti siapapun dengan terlihat ikut menikmatinya.

Haru hanya mengikuti semua keinginan Kanna tanpa mengeluh sedikit pun. Ia sama sekali tidak menunjukka sikap tidak sukanya atau bermalas-malasannya pada hal seperti ini.

Bukan tidak menyukai hal seperti ini, hanya saja berkencan dengan seseorang tanpa sebuah rasa yang menyertainya memanglah tidak semenyenangkan seperti bersama seorang kekasih. Namun, sebuah janji menuntutnya untuk melakukan hal ini dan lagi pula untuk sehari ini saja. Jadi, bukanlah sebuah masalah. Pikirnya dengan tetap bersikap profesional sebagaimana mestinya.

*****

Tepat sebelum pukul tujuh malam, Haru sudah berada di depan rumah Kanna karena sebagai seorang pria harus dapat tepat waktu dan memastikan wanitanya pulang dalam keadaan baik-baik saja, walau Kanna hanya menjadi wanita seperempat harinya saja.

"Senpai?" Panggil Kanna dengan lembut, dan membuat Haru segera menoleh padanya.

"Hmm...bolehkah aku...hmm..." Kanna tidak melanjutkan perkataannya.

Haru menyentuh kepala seorang wanita yang sedang tersipu malu di hadapannya sambil menundukkan kepala itu. Ia tersenyum. Ada hal apa lagi yang ingin Kanna sampaikan padanya? Pikirnya.

"Senpai, hmm...bolehkah aku menciummu?" Kata Kanna yang menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca.

Haru tersenyum dibuatnya. Ia pun segera membungkukkan sedikit tubuhnya untuk menyamai tinggi badan Kanna agar ia bisa mengecup keningnya. Akan tetapi, bukannya mengecup keningnya, Kanna malah mencium bibirnya.

Ia bisa merasakan tangan dingin dari Kanna menyentuh wajahnya; merasakan bibir kecil yang begitu lembut menyentuh bibirnya; dan menatap wajahnya yang sedang memejamkan kedua matanya. Terkejut? Sudah pasti. Ia tidak pernah menduga seorang wanita yang tampak pemalu akan melakukan hal seperti ini. Bahkan, jauh dari pemikirannya.

Tidak berlangsung lama hingga Kanna menyudahinya, dan segera Haru menegakkan tubuhnya kembali. Ia menatap Kanna yang masih menundukkan kepalanya, dan mengetahui bahwa saat ini Kanna sedang tersenyum walau ia tidak menunjukkan wajahnya.

"Senpai, terima kasih untuk hari ini" Kata Kanna yang masih enggan menatap wajahnya.

"Selamat malam..." Lanjutnya, lalu segera masuk ke dalam rumahnya dengan terburu-buru.

Haru pun bergegas menuju ke tujuan berikutnya. Lapangan basket. Walau sedikit kelelahan, sama sekali tidak menghalanginya untuk pergi ke tempat dimana ia dan Daiki akan bertemu.

Di perjalanan, kepalanya terus saja memikirkan kejadian yang sama sekali tidak ia pikirkan sebelumnya. Sudah cukup lama sejak terakhir ia merasakan bibir seorang wanita hingga ponselnya berdering, dan segera mengalihkan pemikirannya.

Tampaknya Daiki sudah berada disana sejak tadi dengan pesan singkat yang baru saja ia kirimkan padanya. Haru pun memintanya untuk menunggu sesaat lagi, dan segera mempercepat langkah kakinya karena ia tahu bahwa menunggu adalah hal yang paling menyebalkan. Namun, nyatanya ia begitu sering membuat seseorang menunggu, atau mungkin ia hanya tidak bisa tepat waktu? Orang Jepang macam apa dia? Hal bodoh yang ia pikirkan untuk menemaninya pada perjalanan yang begitu membosankan.

Sesampainya di tempat tersebut, Haru tersenyum melihat Daiki yang duduk pada kursi besi di sebelah lapangan. Daiki tampak menatap langit seolah sedang mengamati bintang tanpa menyadari kehadirannya sama sekali. Haru pun memanggilnya dan membuat Daiki sedikit terkejut.

Sangat lucu. Dibuat Haru terbahak dengan ekspresi terkejutnya itu. Namun, Daiki mengabaikannya seolah ia sudah cukup terbiasa, dan mengetahui jika Haru hanya sedang menggodanya saat ini.

Haru segera duduk disampingnya, lalu merangkul tubuhnya, dan membuat Daiki segera memalingkan wajah kearah Haru yang juga menatapnya sambil tersenyum. Entah apa yang sedang ia pikirkan dengan kedua matanya terus mengamati wajah Haru seolah sedang mencari tahu. Haru pun menanyakan sikapnya yang seperti itu, tetapi Daiki segera mengalihkan wajahnya kembali tanpa berkata apa-apa.

"Kukira kau tidak akan datang" Kata Haru dengan melepas rangkulan tangannya pada tubuh Daiki.

"Bagaimana kencanmu?" Tanya Daiki yang tidak mempedulikan perkataan Haru.

"Oh…ya...menyenangkan..." Jawab Haru.

Haru menyadari bahwa perkataannya adalah hal yang tidak ia benarkan sama sekali. Kebohongan untuk diri sendiri; untuk mengetahui suatu hal yang ia rasa pasti mengenai perasaan Daiki. Namun, hanya ada kekecewaan berulang kali dengan Daiki tampak tak peduli.

Haru pun berdiri dari tempat duduknya, lalu menuju ke tengah lapangan untuk mengambil bola basket yang tergeletak begitu saja. Ia menatapnya sesaat, lalu menoleh kearah Daiki dan tersenyum sinis padanya.

"Mau main?" Tanya Haru dengan penuh percaya diri.

"Tentu. Kau akan kalah dariku" Jawab Daiki sambil beranjak menuju kearah Haru; tersenyum tak kalah sinisnya dari Haru seolah yakin dengan perkataannya.

"Hoo...kita lihat saja" Kata Haru dan membuang bola ke atas.

Mereka berdua melompat untuk meraih bola tersebut, dan sepertinya Haru dikalahkan dalam hal seperti itu. Namun, tidak butuh waktu lama baginya untuk merebut bola itu kembali dari tangan Daiki.

Haru pun terus berlari dan mencoba beberapa kali untuk memasukkan bola, tetapi Daiki terus saja menggagalkannya. Begitupun sebaliknya. Ini seperti pertandingan yang begitu sengit di antara mereka berdua yang memang cukup hebat dalam permainan ini sebab belum ada dari mereka yang bisa memasukkan bola ke dalam jaring.

Tak heran jika Haru begitu hebat dalam permainan bola basket sebab ia memang sering memainkan permainan ini, dan Daiki? Yang sama sekali tidak pernah sekali pun Haru melihatnya memainkan permainan ini sebelumnya. Mengagumkan.

Sudah sejam lamanya, dan tampaknya mereka berdua menikmati permainan ini. Sesekali mereka saling mengolok; membanggakan diri masing-masing, tetapi nyatanya belum ada satu pun yang berhasil mencetak angka.

Beberapa saat kemudian, mereka berdua menghentikan permainnya. Bola dibiarkan saja jatuh dan menggelinding di atas lapangan hingga berhenti karena terhalang oleh pagar kawat.

Keringat bercucuran tidak hanya pada wajah mereka, melainkan juga tubuh yang membuat kaos yang mereka kenakan menjadi basah pada daerah tertentu. Mereka berdua tampak begitu kelelahan dengan napas yang tersengal-sengal.

"Haruhiko…pergilah…membeli minum…aku sudah mau mati disini…" Kata Daiki yang berusaha mengatur napasnya.

"Hah?! Kenapa…harus aku?...Aku juga hampir mati disini…" Kata Haru dengan sedikt kesal, lalu melepaskan kaosnya hingga menunjukkan otot-otot pada bagian tubuhnya sembari juga berusaha mengatur napasnya saat itu.

"Bodoh! Cepat pergi!" Tegas Daiki pada Haru.

Bukannya menuruti perkataan Daiki, Haru malah bertingkah aneh malam ini. Haru dengan tiba-tiba menyambar tubuh Daiki dan memeluknya dengan erat. Daiki begitu terkejut dan berusaha melepaskan diri. Akan tetapi, setiap kali ia berhasil, Haru juga kembali melakukannya.

"Haru! lepaskan!" Tegas Daiki dengan suara yang iatahan.

Haru hanya terdiam tanpa berkata apa-apa. Ia tidak melakukan apa yang Daiki katakan dan sama sekali tidak ingin melepaskannya. Bahkan, semakin kuat Haru memeluk tubuhnya hingga membuat Daiki sedikit sulit untuk menarik napas.

"Haru! aku mohon lepaskan! Orang-orang akan melihat kita..." Kata Daiki sekali lagi sambil terus berusaha untuk membebaskan tubuhnya.

"Hanya sebentar...biarkan tetap seperti ini..." Balas Haru yang berbisik lembut di telinganya dengan sedikit melonggarkan tangannya, tetapi tidak sampai melepaskannya.

Haru tidak mampu lagi menahan air matanya, dan keluar begitu saja hingga membasahi kaos yang dikenakan oleh Daiki. Begitu memalukan. Pikirnya. Air matanya benar-benar mempermalukan dirinya saat ini.

Daiki berhenti untuk mencoba melepaskan diri dari Haru dan membiarkannya tetap seperti ini, dengan perasaan terkejut yang nampak jelas pada raut wajahnya saat ini.

Ada apa dengannya? Mungkin pertanyaan ini sedang muncul di kepalanya, tetapi dengan bibir yang kaku, ia tidak bisa mengatakan sepatah kata.

Haru melepaskan pelukanya ketika sudah merasa lebih baik, tetapi dengan kedua tangannya masih memegang kedua lengan Daiki. Ia tertunduk, tidak ingin memperlihatkan wajahnya yang begitu memalukan itu.

"Haru?" Kata Daiki dengan mengecilkan suaranya.

Haru belum mengatakan apa-apa dan masih saja menundukkan kepalanya tanpa melepaskan tangannya pada lengan Daiki. Namun, hal itu malah membuat Daiki semakin penasaran terhadap sikap Haru yang begitu aneh saat ini dengan terus menyebut namanya.

"Daiki…" Kata Haru dengan mengangkat kepalanya, lalu menatap Daiki.

"Aku mencintaimu…sangat mencintaimu" Lanjutnya.

Daiki membalas tatapannya untuk sesaat, lalu menundukkan kepalanya seakan sedang memikirkan sesuatu mengenai perkataan Haru, dan kembali menatapnya lagi.

Ia belum berkata apa-apa, dan entah dengan mimik wajah seperti apa yang sedang ia tunjukkan kepada Haru saat ini. Terkejut? Bingung? Ataukah keduanya? Haru tidak dapat menebaknya.

"Haru…" Kata Daiki dengan tidak begitu jelas.

Haru kembali memeluk Daiki. Erat dan semakin erat, lalu mulai menarik napasnya pada leher Daiki hingga membuatnya bisa merasakan tiap tarikan napas Haru yang menimbulkan rasa geli di lehernya. Daiki pun berusaha untuk membebaskan diri sekali lagi, tetapi Haru tidak membiarkannya sama sekali.

"Aku menyukai bau keringatmu..." Kata Haru dengan suara berbisik.

"Aku ingin sekali menciummu, tapi aku tau…kau tidak akan membiarkanku" Lanjutnya.

Kali ini Daiki terdiam. Dengan ragu, perlahan ia menggerakkan kedua tangannya, lalu membalas pelukan Haru dengan menutup kedua matanya sambil tersenyum.

"Bodoh...jika kau melakukannya, aku akan menghajarmu" Kata Daiki dengan mengecilkan suaranya.

Haru dibuat sedikit nyengir oleh perkataan itu. Walau tidak ia beritahu, Haru sudah mengetahui hal yang akan terjadi setelahnya. Namun, hal itu tidaklah menjadi alasan utamanya dan ketakutan untuk dijauhi oleh Daiki adalah momok yang paling menakutkan dalam dirinya.

Daiki melepaskan tangannya, diikuti oleh Haru yang juga melakukannya. Dengan tangan kirinya, Daiki meremas tengkuk leher Haru; meraba-raba sekitaranya dengan lembut. Ia merapatkan kedua jarinya pada tangan yang lain, lalu menyentuh bibirnya, dan pada bibir Haru setelahnya.

Ciuman tak langsung, dan membuat Haru tersenyum. Mereka berdua tersenyum. Dengan wajah yang begitu dekat, Haru bisa memandang dengan jelas wajah dari seseorang yang tampak begitu dingin, tetapi memiliki sisi romantis dalam dirinya.

Malam ini, Haru mulai menjelaskan kepada Daiki bahwa berpura-pura atas perasaannya sendiri adalah hal yang begitu menyakitkan. Kepura-puraan yang membuatnya membodohi diri sendiri. Begitu melelahkan. Melelahkan untuk berpura-pura menyukai hal yang tidak ia sukai, tetapi apa boleh buat? Katanya. Dengan sebuah kepura-puraan, ia bisa menjaga hati untuk tidak menyakiti.

Ia juga mengeluhkan kencannya yang tidak semenyenangkan seperti berkencan dengan seorang kekasih. Begitu menyebalkan. Seakan kepura-puraanlah yang mengendalikan dirinya siang tadi.

Daiki cukup menjadi pendengar yang baik untuknya. Ia mengangguk; sesekali tersenyum walau ada hal yang tidak ia mengerti. Namun, bagaimana perasaan Daiki sesungguhnya? Apakah ia mengambil peran yang sama sepertinya? Berpura-pura?

Daiki adalah seorang yang membingungkan. Bersikap seolah ia juga menyukainya, dan bersikap seolah tidak memiliki perasaan terhadapnya dengan selalu mengabaikannya. Hal yang paling membingungkan dari dalam dirinya. Namun, walau rasa ingin tahu mengenai perasaan Daiki seakan sudah pada batasnya, kedekatan ini adalah hal yang utama untuk sekarang ini.

Ambigu. Hubungan ini. Bukanlah sebuah masalah untuk hal yang tak pasti. Dengan Daiki menunjukkan sisi lain dari dirinya, hal itu sudah cukup untuk mengetahui bahwa ada jalan menuju hal yang lebih pasti.

*****


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C11
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ