Ruangan selebar 1,2 meter. Gelap. Menakutkan. Untung saja Andre membawa senter dalam daftar perlengkapannya. Ia mengeluarkannya dari dalam tas besar berwarna hijau tua miliknya. Tampak jelas kini apa yang ada dalam ruangan sempit itu. Seperti Lorong panjang. Mereka berjalan beberapa langkah dari sana. Lalu menuruni sebuah tangga. Kira-kira 15 anak tangga dituruni. Perlahan tapi pasti dilewati, takutnya ada orang yang mengikuti atau datang dari arah lain.
" Ini salah satunya jalan bawah tanah agar kita bisa sampai ke rumah Pak Kepala desa, semoga dia bisa mendengarkan usulan kita dan mendukungnya", ucap Dr. Ben yang memecah keheningan kala itu.
Tiba-tiba Andre yang berjalan paling depan terhenti karena ada sebuah persimpangan disana. " Arah mana yang harus kita pilih? ", tanya Andre sambil membalikkan badannya ke arah teman-temannya.
Dr. Ben yang mengetahui jalan itu, ia berkata, "Waktu terakhir kali aku kesini, aku tak menemukan persimpangan sama sekali".
Mereka kebingungan disana. Tapi mereka juga harus dengan cepat bergerak sebelum aksi mereka diketahui orang lain. Beno berencana untuk berpencar. Andre dan Dr. Ben ke arah kiri. Dan Candra juga Beno ke arah lainnya. Mereka dibekali handy talky juga agar bila salah satu menemukan jalan yang tepat, bisa memberitahu yang lainnya.
Beno dan Dr. Ben mulai pergi ke arah kiri sesuai perintah Beno. Beno dan Candra ke arah kanan. Dengan berharap mereka mendapat jalan yang tepat.
Berjalan berdua, mencari jalan keluar dalam heningnya malam. Dinginnya udara kala itu tak mampu menembus jaket hangat milik Beno. Ia selalu merasakan kehangatan pelukan ayahnya bila memakai jaket pemberian ayahnya itu. Berbeda dengan Candra yang hanya memakai kaos seragam tahanan berlengan pendek.
Berjalan kira-kira sejauh puluhan kilometer. Menghabiskan waktu 8 jam lamanya. Cukup melelahkan. Tak jua jalan keluar menuju rumah Kepala desa mereka temukan. Setiap tikungan yang ditemui oleh mereka membuat mereka semakin hati-hati. Ketidaktahuan mereka tentang apa yang ada di ujung lorong itu. Membuat mereka selalu waspada. Jauh sebelum tikungan selanjutnya, mereka melihat sinar memantul di balik tikungan di depan mereka.
" Itu jalan keluarnya", ucap Candra sambil berlari kegirangan meninggalkan Beno di belakangnya.
Beno tak mau ditinggal sendirian, ia berlari mengejar Candra dan berkata,"Tunggu aku!!".
Setibanya di tikungan itu, Candra menganga terkagum-kagum. Beno yang baru datang di belakangnya, ia juga ikut terkagum, "Woaw, sinar dari mana ini?".
Mereka melangkah mendekati sinar yang datang dari balik pintu berwarna merah yang sedikit terbuka. Rasa penasaran membuat mereka mencoba mendekati asal datangnya sinar itu. Pintu itu semakin terbuka lebar dengan sendirinya, entah siapa yang membukanya, mungkin hembusan angin. Tapi itu tak mungkin, pintu itu terlalu berat jika terbuka angin. Semakin terang sinar terpancar dari sana. Beno dan Candra menghalangi mata mereka dengan kedua lengannya. Setelah beberapa saat, mereka mulai membuka singkapan lengan mereka. Semakin mereka mendekatinya. Dan tinggal beberapa langkah lagi mereka mencapai asal sinar itu. Tiba-tiba handy talky di tangan Beno mengeluarkan suara, "Andre disini, kami menemukan jalan keluarnya".
Langkah mereka terhenti seketika itu juga. Beno menjawab panggilan Andre, " Beno disini, kami segera kesana".
" Dari tadi kami mencoba memanggilmu namun sepertinya jaringan terganggu, siap kami menunggu", kata Andre lagi. Dia dan Dr. Ben telah tiba di rumah Kepala desa. Sejak 1 jam yang lalu, Andre telah mencoba menghubungi Candra dan Beno, tapi selalu tak bisa.
Beno mengajak Candra untuk kembali ke arah lain agar bisa segera menyusul Andre dan Dr. Ben. Tapi Candra malah semakin mendekat ke pintu itu. Membukanya, dan... Akhirnya ia masuk kesana. Beno yang tadinya akan berbalik arah malah mengikuti Candra yang sudah terlanjur masuk ke pintu itu.