Karena rasa penasaran menyelimuti dirinya, Ia pun menerobos masuk melewati celah dinding yang terbelah. Langkah kaki terus Beno hentakkan disana. Ia berjalan lurus mengikuti batas dinding di samping kanan dan kirinya. Decak kagum terus bergumam di mulutnya. Matanya terus melirik kesana kemari melihat betapa menakjubkannya dinding itu. Terbuat dari beton yang sangat kuat sepertinya. Dinding itu rasanya cukup sulit dirobohkan. Tinggi menjulang kira-kira 7 meter.
Saat semakin masuk, langkahnya terhenti, Beno melihat ada dua persimpangan di depannya, ia melihat ke arah kanan persimpangan kemudian melirik ke arah sebaliknya. Baik arah kanan atau kiri, jalan berbataskan dinding itu cukup panjang bila disusuri. Ia mencoba melangkahkan kakinya lagi. Ia memutuskan untuk mengambil jalan beberapa langkah ke bagian kiri. Siapa tahu dia bisa menemukan seseorang yang bisa menolongnya.
Malam pun tiba. Udara dingin menembus kulit putih milik Beno. Lagi-lagi tak menemukan orang, Ia memutuskan untuk kembali ke pinggir pantai, tempat ia pertama kali datang kesini. Setelah berputar-putar mencari jalan masuk tadi, Ia tak berhasil menemukannya, semua bagian tampak sama. Ia tersesat.
"Dimana sih gerbangnya?!" Geram Beno yang sudah mulai kebingungan ditambah lelah.
Beno lelah mencari gerbang itu. Sehingga ia memilih untuk beristirahat saja disana. Menyandarkan tubuhnya di dinding tinggi itu.
Malam semakin mencekam, udara dingin semakin menusuk tubuhnya. Untung ia memakai jaket yang memang ia pakai sejak pergi memancing. Meskipun tadinya basah kuyup. Namun karena matahari sangat terik siang tadi. Keringlah jaket hangat pemberian Ayahnya itu. Jaket itu berbahan wol dari bulu domba bagian dalamnya, dengan motif loreng seperti pakaian tentara di bagian luarnya.
Jaket hangat menyelimuti tubuhnya. Badan kekar tersandar di dinding kokoh. Beno kini tengah terlelap dalam mimpinya.
~~~
Dunia begitu gelap saat Beno membuka matanya. Ia tak bisa melihat apapun yang ada di sekitarnya.
Tiba-tiba ia melihat setitik cahaya, namun sepertinya sangat jauh. Ia berlari mendekatinya sambil berteriak, "Hei!! Tunggu aku!! Tolong!!"
Beno terus berlari tanpa bisa melihat apa yang ada di hadapannya. Yang menjadi tujuannya adalah mengejar orang yang membawa cahaya itu. Hingga ia tersandung sebuah benda yang tak tahu apa itu. Ia berusaha berdiri. Namun kakinya terlalu sakit untuk dipaksakan berjalan.
"Hei!! Kalian yang membawa cahaya! Tolonglah aku! Disini gelap, kakiku tak dapat digerakkan," Teriak Beno sambil merengek kesakitan.
Usaha Beno sepertinya berhasil, orang yang membawa cahaya itu pun semakin mendekat ke arah Beno. Beno senang orang itu bisa mendengar suaranya.
Setelah semakin dekat, wajah orang itu semakin terlihat jelas. Ternyata orang itu tak sendiri, ia ditemani seorang wanita.
Semakin dekat, mereka tampak tak asing bagi Beno.
"Ada yang bisa kami bantu?" Tanya pria itu.
Beno mengenal mereka, mereka adalah orang tua Beno.
"Ayah!! Ibu!!" Rintih Beno sambil meneteskan air mata.
Kedua orang itu yang memang benar orang tua Beno merasa terkejut saat Beno memanggil mereka dengan sebutan Ayah dan Ibu.
"Anak kami telah tiada, nak. Ia hilang, kata orang-orang sih diculik mahluk laut," Jelas Ayahnya.
"Tapi Aku anak kalian, apa kalian tak mengenaliku?" Tanya Beno dengan herannya, mengapa mereka tak mengenal Beno.
"Anak kami telah tiada," Jelas Ayahnya lagi.
Ibunya menarik sang Ayah untuk pergi dari hadapan Beno. Mereka pergi menjauh dari Beno sambil berteriak, " Anak kami telah tiada".
Beno sangat sedih, orang tuanya telah menganggapnya telah tiada, dia hancur, menangis dan berteriak, "Ayah!! Ibu!! Aku mau pulang".
~~~
"Ayah!! Ibu!!" Teriak Beno.
Matanya terbuka dengan nafas yang tak beraturan seperti habis dikejar setan. Mimpinya terhenti saat kadal hijau melompat ke wajahnya. Geli sekali.
"Aku mau pulang," Ucap Beno.
Air mata mengalir di pipinya. Mengingat terakhir kali ia melihat ibunya ,setelah ia sakiti hati kecil Ibunya itu.
Ia harus pulang. Tapi gerbang besar itu tak pernah terbuka lagi. Namun Beno tak pernah putus asa. Ia mencoba berjalan ke bagian lain. Semoga ia bisa menemukan jalan keluar.
Ribuan langkah ia jalani. Sembari memperhatikan bagian bagian dari dinding itu. Siapa tahu ada celah untuk keluar, pikirnya.
Langkahnya terhenti. Ada sebuah pertigaan jalan disana. Sehingga ia bingung harus memilih jalan yang mana. Haruskah ia lurus atau berbelok?
Beno mengamati ke arah bila ia berbelok, Ia melihat semacam hewan ternak, sejenis sapi mungkin. Ia berpikir, bila disana ada hewan ternak, ada kemungkinan disana juga ada peternaknya yang mungkin manusia.
Ia mencoba berlari mendekati hewan yang ia anggap sapi itu. Sampai langkahnya kembali terhentukan oleh sebuah pertigaan lagi. Langkah sapi itu memang agak lamban sehingga Beno masih bisa melihat ke arah mana sapi itu melangkah, Ia pun mengikuti sapi itu. Namun setelah ia perhatikan, cara berjalan sapi itu berbeda dengan sapi biasanya. Ia terlihat seperti robot. Kaku. Ia terus mengejar sapi itu.
Hingga langkah seekor sapi itu terhenti. Ia telah bertemu dengan Ibunya. Begitu manisnya kedekatan mereka. Beno menjadi teringat kepada Ibunya. Ibunya yang selalu dianggap beban oleh Beno. Padahal Ibunya selalu memberikan yang terbaik baginya.
Ia mendekati sapi itu. Hendak mencoba menyentuhnya. Tapi tiba-tiba terdengar suara seorang wanita dari belakang Beno berkata, "Hei! jangan sentuh mereka!".
Beno menoleh ke belakang. Ia melihat seorang wanita. Cantik parasnya. Rambut yang agak kemerahan, sepertinya sering terkena paparan matahari. Pakaian agak lusuh di badannya, namun dilihat dari modelnya, seperti pakaian tahun 80an.
"Siapa kamu?"Tanya Beno.
"Ahh! Judah jangan banyak tanya dulu! Ayo ikuti aku!" Ujar wanita itu yang kemudian berlari ke lain arah sembari menarik tangan Beno kasar.
Tangan dan badan Beno yang tertarik oleh Elia sehingga kakinya pun ikut menyelaraskan. Langkah kakinya mengikuti Elia. Belokan, persimpangan, semuanya dilalui begitu saja oleh mereka. Sepertinya gadis itu sudah tahu setiap detail dinding ini. Tempat ini seperti labirin. Dibatasi dinding kokoh juga tinggi. Luas. Menyeramkan. Membingungkan.
Gadis itu tetap berlari. Sedangkan Beno, ia mulai terengah kelelahan. Tangannya memaksa melepaskan diri dari genggaman gadis itu. Sontak saja gadis itu berbalik ke arah Beno. "Ayo!! Sapi itu akan terus mengejar kita!" Ucapnya cemas. Ia lagi-lagi menarik tangan Beno sehingga Beno dengan terpaksa harus ikut berlari kembali. Langkah gadis itu terus berlanjut hingga akhirnya nampak gerbang lain terbuat dari besi terpampang di depan mereka sebelar 4 meter. Dua penjaga berdiri gagah disana lengkap dengan senjata. Namun, saat jarak mereka dengan gerbang itu tinggal 100 meter lagi, Beno sudah terlampau kelelahan hingga ia pun melepas genggaman tangan Gadis itu dan berhenti disana.
"Ayo!! Kita harus sampai kesana!" Seru gadis itu seraya menunjuk ke arah gerbang.
"Tunggu!! A..ku hhh lelah," Timpal Beno terputus-putus karena kelelahan. Kedua tangannya bertumpu pada lututnya semacam rukuk. Dia benar-benar kelelahan.
"Cepat!!" Pinta Gadis itu.
Beno masih tetap terdiam, malah sekarang dia terduduk menyandar di dinding menjulang.
Tiba-tiba dari ujung tikungan muncul sapi-sapi tadi. Mereka mengejar Beno dan gadis itu. "Ayooo!!!" Teriak Gadis itu seraya menarik kembali tangan Beno.
Jarak mereka tinggal 50 meter lagi menuju gerbang. Gadis itu berlari sekuat tenaga untuk mencapainya. Perlahan ia melepas genggamannya pada Beno. Kemudian berlari lebih cepat meninggalkan Beno.
"Buka gerbangnya!!" Teriaknya pada kedua penjaga disana.
Gerbang pun terbuka selebar 80 cm saja. Beno tak mau mati disana. Ia pun menambah kecepatan berlarinya meski sudah sangat kelelahan dirasa kakinya. Gadis itu melihat ke belakang tapi masih sambil berlari. "Ayo!! Cepat!!" Teriaknya.
Gadis itu segera masuk melalui celah gerbang dengan badan menyamping. Dari sana ia kembali meneriaki Beno," Cepat!!"
Jarak Beno dan gerbangnya semakin dekat. Dan begitu pula sapi-sapi itu kian mendekat. Gadis itu memutuskan untuk menutup kembali gerbangnya perlahan.
"Hei!! Jangan tinggalkan aku!!" Teriak Beno. Kini jaraknya hanya tinggal 10 langkah lagi. Celah gerbang itu semakin menyusut. Beno harus bisa menembusnya sebelum itu kembali tertutup rapat.
Celah makin menyusut menjadi 50 cm. Beno semakin mempercepat larinya. Hingga akhirnya ia berhasil menerobos celah yang kini tinggal selebar 40 cm lagi itu.
Beno langsung terbaring disana setelah akhirnya berhasil melewati Gerbang itu. Diatas rangkaian rumput pendek yang sudah mulai menguning. Napasnya tak beraturan.
Gerbang kembali tertutup rapat. Bruukk..