ดาวน์โหลดแอป
94.79% JEJAK WAKTU / Chapter 91: BAB 90. KE UTARA

บท 91: BAB 90. KE UTARA

Sosok itu membuatku terkejut setengah mati.

Aku mundur sejenak. Tapi rasa penasaranku mengalahkan semuanya. Aku kembali berjalan mendekatinya.

Hanya dengan cahaya bulan, aku mencoba mengenalinya. Sosok itu jatuh tertelungkup di mulut gua. Dengan gugup aku menyentuhnya dengan menggunakan ujung ranting yang kutemukan di dekatnya.

Dia menggeliat.

Aku segera menjauh sambil siaga. Dia terduduk.

Sosok manusia itu terduduk.

Aku tidak tahu apakah dia orang baik ataukah orang jahat. Aku memilih menjaga jarak darinya.

Dia mengusap kepalanya. Sepertinya dia sedang terluka. Sesaat dia tampak terkejut melihatku.

"Kau siapa?" tanyanya dalam bahasa Jawa.

Aku tidak menjawabnya.

"Hei Noni, apa kau tersesat?" tanyanya lagi sambil berusaha berdiri. Tapi kemudian dia terjatuh lagi. Dia kembali pingsan. Sepertinya dia benar-benar terluka.

Setelah mempertimbangkannya, akhirnya aku memutuskan untuk menolongnya. Dengan sekuat tenaga aku menyeret tubuhnya masuk ke dalam gua kudekatkan dia di perapian yang sudah kubuat dengan susah payah dan nyaris menyerah.

Dengan cahaya api, aku memeriksa lukanya. Seorang laki-laki berusia sekitar awal dua puluh an dengan luka-luka hampir di sekujur tubuhnya. Dan kakinya seperti baru saja terjepit sesuatu. Aku terpaksa membuka pakaiannya untuk melihat luka sayatan yang memanjang di dadanya.

"Apa yang sudah terjadi dengannya?"

Aku hanya berusaha menutup lukanya. Kondisi malam seperti ini, tidak mungkin bagiku mencari tanaman obat untuk mengobati lukanya.

Aku terjaga sepanjang malam karena khawatir akan ada lagi orang yang datang, mengingat aku menaruh kudaku tidak jauh dari gua itu.

Hari sudah pagi saat kulihat lelaki itu siuman. Aku baru saja kembali dari mencari tanaman obat untuknya.

"Aku akan mengobati lukamu." kataku kepadanya.

"Apa aku sudah mati?" tanyanya.

"..."

"Pasti aku sudah mati. Mana mungkin di hutan ada bidadari. Atau jangan-jangan kau setan penunggu hutan ini."

Ingin rasanya aku jejalkan dedaunan ini ke mulutnya.

"Apa kau manusia hutan?" tanyanya lagi.

Aku berdecak.

Tanpa mempedulikan dia, aku menarik lengannya dan mengobati lukanya. Dia mengaduh kesakitan.

"Apa kau juga ingin membunuhku?" ejeknya sambil meringis kesakitan. "jij ziet er prachtig uit" lanjutnya (*Kau tampak cantik)

Sial! Apa aku sudah membantu seorang pria mesum?

Aku menjejalkan obat ke lukanya dengan lebih keras.

"Auu... Aauu..!!!" teriaknya kesakitan

Setelah selesai aku segera berjalan menjauhinya. "Wah... Kau jahat sekali." katanya. "Tapi omong-omong, bagaimana mungkin ada boneka Belanda di hutan seperti ini."

Aku tidak menanggapinya.

Aku mengemas barang-barangku dan hendak pergi dari gua itu. Dia sudah kutolong. Paling tidak, dia bisa bertahan sampai dia cukup kuat.

"Heii... Kau sedang hamil?" tanyanya terkejut. "Apa kau wanita yang sedang mereka bicarakan?"

Aku seketika menoleh kepadanya

"Wanita apa? Siapa?"

Dia tertawa tergelak.

"Akhirnya kau mau juga bicara denganku."

Sial!

Aku segera berdiri dan hendak menuju kudaku, tapi pria itu segera saja memanggilku.

"Mooi meisje, mereka sedang mencarimu." katanya lagi. "Serdadu kumpeni itu sedang mencarimu." jelasnya

Aku menghentikan langkahku tanpa menoleh kepadanya.

"Mereka ada di arah selatan." katanya lagi "Apa kau tawanan di kamp pelatihan prajurit Jawa?" tanyanya

Aku tidak tahu harus menjelaskan apapun. Tapi jika Serdadu Kumpeni ada di arah selatan, maka sebaiknya aku berlari terus ke utara.

"Terimakasih." kataku kepadanya dan kembali berjalan.

"Hei!" serunya "Apa kau akan meninggalkanku begitu saja? Ayolah... Aku sedang terluka. Kau membawa kuda. Tidakkah kau ingin membantuku?"

"Aku sudah menolongmu." kataku kesal.

"Nah... Alangkah sia-sia pertolonganmu, jika kemudian kau tinggalkan aku mati disini."

Ha! Menjengkelkan sekali orang ini.

"Apa urusanku, kau mati atau tidak!"

"Ayolah... Kau sudah berusaha menyelamatkanku.. Tentu aku juga tidak ingin usahamu itu sia-sia, maka jangan tinggalkan aku disini." ucapnya sambil meringis, menampilkan deretan giginya. "Aku bisa membantumu keluar dari hutan ini. Aku tahu setiap jalur di wilayah ini." lanjutnya, ketika melihatku tidak peduli. "Aku bisa mengantarmu pulang!"

Aku berhenti sejenak untuk mempertimbangkannya. Aku tidak memiliki kompas atau apapun yang bisa membantuku agar tidak tersesat. Belum lagi kemungkinan bertemu hewan buas.

"Bagaimana aku bisa mempercayaimu?"

"Ayolah... Aku sudah kesulitan untuk berjalan. Jika aku salah memberikan arah. Kau bisa membuangku dimana saja." katanya.

Kami sudah berjalan cukup jauh. Kakiku bahkan mulai membengkak.

"Noni, kita bisa naik kuda ini berdua. Kau tidak perlu jalan kaki seperti itu." katanya

"Tak apa." sahutku.

"Kau bilang, kau tidak boleh bertemu serdadu-serdadu itu? Bukankah artinya mereka mengejarmu. Kita harus bergerak cepat. Ayolah! Naiklah keatas kuda bersamaku. Itu akan mempersingkat waktu." tawarnya. "Dan ke utara tentu saja itu yang terbaik. Karena aku tinggal disana. Kita bisa singgah di tempat tinggalku."

Melihat kondisi kakiku yang sudah tidak baik-baik saja dan sesuai kata-kata lelaki itu, akhirnya aku memutuskan untuk naik keatas kuda bersamanya. Dia depanku dan aku yang dibelakangnya.

"Tenang saja, aku bukan pria mesum. Noni aman bersamaku." katanya. "Lagipula kakiku sepertinya patah. Jadi tidak mungkin aku berbuat macam-macam kepadamu, mooi meisje." (*gadis cantik)

Kami terus berjalan kearah yang berlawanan dengan Serdadu Kumpeni.

"Apa kau yakin, tidak ingin ditemukan oleh prajuritmu sendiri? Apa kau seorang pengkhianat Belanda?"

"Bisakah kau berhenti berbicara?!" bentakku. "Mulutmu benar-benar sulit untuk diam." gerutuku.

Posisiku benar-benar tidak nyaman. Tubuhku harus berhimpitan dengannya diatas pelana kuda.

Dia sesekali melihatku sambil tertawa.

"Sudah berapa bulan?" tanyanya lagi.

Padahal aku sudah mengabaikannya, tapi masih saja dia terus bertanya.

"lima." jawabku ketus.

"Hmmm..." timpalnya sambil mengangguk-angguk.

"Namaku Barna... Sobarna"

Melihatku hanya diam, dia kembali berbicara.

"Namamu siapa?" tanyanya

"Apa aku perlu memberitahumu?" tanyaku ketus.

"Tentu saja. Untuk mencapai wilayah utara, perjalanan kita masih jauh. Aku tidak tahu tujuanmu dan.. Bukankah lebih dekat ke selatan, bergabung dengan orang-orangmu."

"Itu bukan urusanmu!" selaku

"Tentu. Tentu saja... Hahahaha.. Wanita yang sangat dingin." komentarnya. "Omong-omong siapa suamimu? Apa salah satu serdadu itu? Dan ini.." Dia menunjuk perutku. "Apa ini bukan anak suamimu, jadi kau melarikan diri."

Sialan! Aku benar-benar harus menahan diriku untuk tidak menampar mulutnya yang lancang.

Dia semakin tertawa melihatku tampak marah.

"Kau sangat cantik." katanya kemudian.

"Jika kau masih saja bicara yang tidak penting. Aku akan melemparmu disini!"

Sepanjang perjalanan kami, Barna terus berceloteh tentang banyak hal

"Margaret, namamu mengingatkanku pada seseorang yang pernah disebut-sebut oleh nenekku." katanya sambil tertawa.

Neneknya?

Siapa neneknya?

Ah, bisa saja ada gadis lain yang bernama Margaret disini, selain aku.

"Dasar Belanda biadab! Aku akan mengulitinya, jika bertemu dengannya." umpatnya marah.

Aku terkejut dengan umpatannya yang sangat serius. Padahal sebelumnya dia seorang yang sangat ceria.

"Aah.. Maaf, tentu tidak semua Belanda seperti dia. Aku yakin kau sangat baik." lanjutnya dengan nada seperti sebelumnya, "Buktinya kau mau menolongku."

"Kenapa kau membencinya?"

"Anak buahnya menculik nenekku. Dan sampai sekarang aku belum berhasil menemukannya." jelasnya. "Aku sudah mencarinya kemana-mana. Aku benar-benar tidak tahu dimana mereka menyembunyikan nenekku. Paling tidak kalau memang dibunuh, tentu aku harus menemukan jasadnya."

Dia menghela nafas kesal

"Tapi aku yakin, nenek masih hidup. Dia akan pulang. Dia tidak akan mati semudah itu."

Hari begitu cepat menjadi gelap.

"Kita akan singgah di tempat tinggal nenekku. Aku yakin kau sudah sangat kelelahan." katanya

Aku harus mengiyakan mengingat kondisi fisikku yang perlu istirahat.

"Sebentar lagi kita sampai." katanya.

Dari kejauhan kita bisa melihat gubuk kecil yang jauh dari pemukiman. Tidak ada rumah satupun disekitarnya. Aku gugup. Semoga dia benar-benar orang baik.

Ada sinar dari dalam gubuk itu. Menandakan bahwa ada orang didalamnya.

Barna tiba-tiba menarik kekang kuda, agar kuda itu berhenti.

"Tunggu dulu." katanya setengah berbisik. "Aku tinggal sendiri. Jadi tidak mungkin ada orang lain di gubukku."

Aku turun dari kuda.

"Apa aku harus memeriksanya?" tanyaku

"Jangan... Jangan." tolaknya. "Aku tidak ingin membahayakan penolongku."

Dia tiba-tiba melompat turun dari kuda.

Bukankah sebelumnya kakinya sakit?!

"Sepertinya kakiku sudah sembuh." kekehnya setelah melihatku terkejut.

Secepat itu? Atau jangan-jangan dia menipuku.

"Heiii..kemarin aku benar-benar sakit. Berkat pertolongan bidadari cantik, aku bisa cepat sembuh" lanjutnya sambil tertawa. "Tunggu disini. Aku akan memeriksanya. Kau perlu tahu, bahwa aku memiliki banyak sekali musuh. Bisa saja mereka orang yang ingin menangkapku."

Dia berjalan pelahan mendekati gubuk itu. Aku mengikutinya.

Dia mengendap-endap untuk mengintip dari pintu yang sedikit terbuka.

Tapi tiba-tiba pintu itu terbuka lebar.

"Kau?!" seruku terkejut.


Load failed, please RETRY

สถานะพลังงานรายสัปดาห์

Rank -- การจัดอันดับด้วยพลัง
Stone -- หินพลัง

ป้ายปลดล็อกตอน

สารบัญ

ตัวเลือกแสดง

พื้นหลัง

แบบอักษร

ขนาด

ความคิดเห็นต่อตอน

เขียนรีวิว สถานะการอ่าน: C91
ไม่สามารถโพสต์ได้ กรุณาลองใหม่อีกครั้ง
  • คุณภาพงานเขียน
  • ความเสถียรของการอัปเดต
  • การดำเนินเรื่อง
  • กาสร้างตัวละคร
  • พื้นหลังโลก

คะแนนรวม 0.0

รีวิวโพสต์สําเร็จ! อ่านรีวิวเพิ่มเติม
โหวตด้วย Power Stone
Rank NO.-- การจัดอันดับพลัง
Stone -- หินพลัง
รายงานเนื้อหาที่ไม่เหมาะสม
เคล็ดลับข้อผิดพลาด

รายงานการล่วงละเมิด

ความคิดเห็นย่อหน้า

เข้า สู่ ระบบ