"Pindah?" Shina tiba-tiba bangun terduduk, sambil menatap Aris tidak senang
"Iya. Apa kau keberatan kalau kita pindah dari sini?" tanya Aris kembali
"Kenapa kita yang harus pindah dari sini? Kenapa tidak mereka saja?"
"Shina.." ucap Aris seolah tidak setuju
"Iya tapi kenapa harus kita yang pindah dan bukan mereka?" tanya Shina tak terima
"Karena kita yang telah mengusik keberadaan mereka disini. Sebelum kedatangan kita kemari, seharusnya mereka bisa hidup lebih baik lagi.. tapi semenjak kepindahan kita itu, mereka berdua jadi sering bertengkar dan salah paham.. Tidak hanya itu, bahkan peristiwa buruk lainnya sering kali terjadi akibat kesalahpahaman hubungan kita dengan mereka.."
"Aku tahu, semua kesalahan ini berawal dariku. Aku yang memulainya. Seharusnya dari awal aku tidak memutuskan untuk tinggal dan menetap di apartemen ini.."
"Oleh karena itu Shina, tidak bisakah kau membantuku untuk mengurangi rasa bersalah dan semua penyesalanku itu terhadap mereka, kita semua pergi meninggalkan tempat ini, hmm?" Aris kembali membujuk Shina
"Mungkin bagi mereka kepindahan kita kemari merupakan musibah atau ancaman, tapi bagiku kepindahan kita kemari merupakan awal bagi hubungan kita. Pernikahan kita yang tadinya hanya sebatas kontrak.. Kita yang tadinya hanya sebatas orang asing yang memiliki keterikatan karena masalah Rani.. Bagiku apartemen ini mempunyai nilai tersendiri bagi kehidupan rumah tangga kita, Aris. Begitu banyak peristiwa besar terjadi disini untuk pertama kalinya. Aku belum siap untuk meninggalkan semuanya, kenangan keluarga kecil kita disini.." dan Shina pun bangkit dan memilih pergi keluar kamar sambil menahan kesedihannya itu.
"Shina.." Aris memanggil seraya mengikutinya pergi keluar kamar.
"Shina dengarkan aku.." Aris masih tetap membujuknya
Namun disisi lain, Shina ternyata dia terduduk diruang tengah sambil menangis.
"Aku tahu kau mungkin belum siap dengan semuanya, oleh karena itu aku juga telah memberikan tenggang waktu bagi kepindahan kita itu. Aku tahu Rani juga pasti akan sulit menerimanya sama seperti dirimu.. Tapi bagaimanapun kita tetap harus pindah dari sini." Aris masih mencoba membujuk dan menjelaskan situasinya
"Apa mereka yang memaksamu?" tanya Shina tidak senang
"Mereka tidak memaksaku. Ini atas inisiatifku sendiri. Aku benar-benar merasa bersalah dan menyesal pada mereka.. Selain itu, aku juga sudah berjanji bahwa setelah proyek pembangunanku itu berakhir, aku akan segera pindah dari sini.."
Shina, dia hanya bisa semakin menangis dan bersedih mendengar perkataan Aris tadi. Dirinya benar-benar tidak rela jika harus meninggalkan apartemennya itu. Melihat hal ini pun Aris kemudian berhenti membujuknya dan berusaha menenangkannya. Dia terlihat memeluk Shina yang sedang menangis saat itu.
"Maafkan aku.." ucapnya sambil berusaha menenangkan Shina dalam pelukannya.
Setelah peristiwa itu, siang harinya Shina menghubungi Ryan. Tidak seperti biasanya, kali ini Ryan terlihat merespon panggilannya. Bahkan Ryan pun tidak menolak ketika Shina meminta untuk mengajaknya bertemu di sela-sela waktu kesibukannya.
Dan pada saat mereka berdua bertemu disebuah cafe yang tidak jauh dari kantor Ryan,
"Ryan.." ucap Shina memanggil sambil melambaikan tangannya.
Ryan pun terlihat menghampiri mejanya dan kemudian duduk disana.
"Ada masalah penting apa?" tanya Ryan
"Apa kau yang mendesak Aris untuk segera pindah dari apartemen kami?" tanya Shina tanpa basa-basi
Ryan menggeleng merespon pertanyaan Shina. Kemudian dirinya kembali berkata
"Aku memang tidak suka melihatnya berada disekitar, tapi aku juga tidak bisa mengusirnya begitu saja karena hal itu akan membuat Lena marah dan tidak senang. Lagipula, seandainya aku bisa mengusirnya dari sana, untuk apa aku bersusah payah membujuk Lena waktu itu untuk pindah dari apartemen kami. Kau tahu Lena sangat menyukai tempat itu."
Shina terlihat bingung saat itu mendengar jawaban Ryan.
"Selain itu, bukannya kau yang memaksaku untuk pindah dalam kurun waktu seminggu? Kau lupa bagaimana dulu kau mengancamku dengan menggunakan Rani. Kau bilang kalau kau akan memperkenalkan Rani pada Papa mertuaku jika aku tidak mau pindah dari sana?" ucap Ryan kembali dengan ekspresi tidak senang
"Kalau bukan kau, lalu siapa yang menyuruhnya untuk pindah? Tidak mungkin Papanya Lena kan? Aku tahu beliau sangat menyukai Aris. Bahkan, dia yang menyuruh Aris untuk tetap berada disisi putrinya untuk menjaganya, sebab dia tahu kau sama sekali tidak bisa diandalkan sebagai seorang suami.." ucap Shina yang berhasil membuat Ryan yang mendengarnya menjadi tidak senang.
"Apa mungkin itu Mamamu Ryan?"tanya Shina kembali
"Mama?" ucap Ryan heran
"Apa sebelum ini Mamamu pernah bertemu dengan Aris?"
"Tidak mungkin. Bagaimana bisa Mama bertemu Aris, sedangkan Mama sendiri tidak mengenalnya." jawab Ryan
"Kau lupa, waktu di Villa, Mamamu pernah menyinggung tentang hubungan Aris dan juga Lena. Dia bahkan tahu kalau sebelumnya Aris sempat menyatakan perasaannya pada Lena.." Shina kembali menjelasakan
"Tapi bagaimana bisa mereka berdua bertemu?" pikir Ryan heran
Saat itu, sebelum Ryan memikirkan semua jawabannya, tiba-tiba Shina
"Papanya Lena!! Pasti dirumah Papanya Lena. Aku yakin itu. Mungkin Papanya Lena yang menyuruhnya datang sehingga mereka berdua bisa bertemu.."
"Darimana kau yakin?" tanya Ryan yang masih tidak percaya
"Insting seorang wanita.." jawab Shina. Padahal dia tahu karena sebelumnya dia telah mengecek handphone Aris dan melihat ada panggilan terakhir dari Pak Han disana.
Ryan yang masih tidak percaya dengan semua dugaan Shina itu kembali disadarkan ketika Shina tiba-tiba berkata padanya
"Ryan.. Aku mohon bilang pada Mamamu itu untuk jangan menyuruh Aris pindah dari apartemen. Katakan padanya bahwa kau dan Lena yang akan pindah dari sana."
"Ryan.. Aku sangat menyukai tempat itu. Aku, Aris, dan Rani.. Bagi kami apartemen itu mempunyai arti tersendiri. Bisakah kau membicarakan hal ini pada Mamamu?" ucap Shina memohon dengan sungguh-sungguh
Ryan terlihat gelisah. Dia tahu tidak akan mudah membujuk Mamanya untuk melakukannya.
"Apapun.. apapun yang kau mau akan kukabulkan Ryan.."
"Apa kau masih bertengkar dengan Lena?" tanya Shina kembali
"Aku berjanji aku akan membuat hubunganmu dan Lena kembali membaik seperti dulu. Aku akan menjelaskan padanya bahwa di Villa itu kita tidak melakukan apapun.." Shina masih terus membujuk Ryan untuk mengikuti keinginannya.
"Lena.. dia kini sangat marah dan membenciku. Bahkan dia berniat ingin menceraikanku.." ucap Ryan tiba-tiba dengan ekspresi sedih
Shina yang mendengar hal itu pun terkejut. Seketika itu dirinya merasa bersalah pada Ryan.
"Ryan.. Maafkan aku..!"
"Gara-gara dia melihatku dan kau berada didalam kamar saat itu, dia benar-benar marah dan kecewa. Terlebih, saat itu aku lebih memilih untuk bersama denganmu dan meninggalkannya sendirian dilobi.. Bahkan, sampai sekarang Lena masih tidak mau berbicara sama sekali denganku.." ucap Ryan menjelaskan sambil frustasi
"Ryan, aku benar-benar menyesal.. Saat itu aku menciummu karena aku sengaja memang ingin membuatnya kesal dan cemburu. Maafkan aku Ryan. Aku tidak mengira bahwa situasinya akan berakhir seperti ini.." Shina benar-benar merasa bersalah dan menyesal. Bahkan ketika dia mengucapkan semua itu, dia terlihat memegang tangan Ryan sambil berusaha untuk memohon permohonan maaf darinya.
"Tidak perlu meminta maaf. Lagipula ini semua juga merupakan salahku. Aku seharusnya langsung menjelaskan mengenai situasinya. Aku juga tidak seharusnya mengabaikan semua panggilannya saat itu.. Aku benar-benar menyesal telah membuatnya kecewa padaku.." Ryan terlihat menundukkan kepalanya
Saat itu Shina, dia tiba-tiba bangkit dari duduknya dan memeluk Ryan yang sedang bersedih.
"Maafkan aku.." ucap Shina sambil memeluk Ryan
"Aku tahu kau sudah begitu baik dengan berusaha menghiburku. Kau bahkan memilih untuk meninggalkan Lena disana demi untuk menenangkan kondisiku yang saat itu sedang merasa tertekan.. Aku sangat menghargai niat baikmu Ryan. Terima kasih. Berkatmu aku merasa benar-benar tertolong.."
"Ryan dengar, sekarang izinkan aku untuk memperbaiki semua masalahmu dengan Lena. Akan kupastikan Lena nanti tidak akan jadi menceraikanmu."
"Tidak usah.." ucap Ryan tiba-tiba sambil melepaskan diri dari pelukan Shina
"Lena, dia justru semakin marah dan kesal saat dia melihatmu nanti. Biar aku sendiri yang menyelesaikan masalahku dengannya.."
"Tapi Ryan.." ucap Shina khawatir
"Kau tidak perlu cemas. Nanti aku akan berusaha membujuk Mama untuk membuatmu dan Aris agar kalian semua bisa tetap tinggal di apartemen kalian.." ucap Ryan
"Tapi Ryan.. Bagaimana dengan masalahmu dengan Lena?"
"Kau tidak perlu khawatir. Aku yang akan menangani semuanya. Aku yakin Lena pasti mau memaafkanku nanti.." Ryan mencoba tersenyum
"Terima kasih Ryan.." ucap Shina
Dan Ryan pun pergi meninggalkan Shina.
Saat itu dirumah Papa, waktu menunjukkan hampir pukul 9 malam, tapi Ryan belum juga pulang kerumah. Aku sangat mengkhawatirkannya, tapi disisi lain aku merasa gengsi untuk menelponnya.
Tiga menit aku menunggu sambil menatap layar ponselku (menantikan kabar darinya), akhirnya aku memutuskan untuk menghubungi Heru.
Menurut Heru, Ryan sudah pergi meninggalkan kantornya sebelum mahgrib tadi, tapi bagaimana sampai jam 9 seperti ini dia masih belum pulang. Aku yang khawatir kemudian menyuruh Heru untuk menghubunginya dan menanyakan dimana keberadaannya.
Saat itu hampir pukul setengah sepuluh malam dan Heru juga masih belum tahu dimana keberadaan Ryan. Handphonenya mati dan itu semakin membuatku merasa cemas dan khawatir padanya. Aku sudah coba menghubungi Oka, tapi dia bilang Papanya itu tidak ada diapartemen. Dia juga tidak tahu dimana keberadaannya. Malah dia balik bertanya padaku apakah kami berdua sedang bertengkar. Saat itu aku berbohong dengan menjawabnya tidak. Aku tidak ingin membuatnya khawatir memikirkan keadaan kami. Terlebih lagi niatanku yang ingin segera berpisah darinya.
Mendadak aku jadi memikirkan mengenai perceraian kami. Kalau seandainya aku dan Ryan bercerai nanti, Oka akan tinggal dengan siapa? Apa dia akan baik-baik saja jika kami berdua bercerai?
Aku tahu anakku itu, walaupun dia terlihat cuek dan biasa saja menghadapi kami yang terbilang cukup sering bertengkar dihadapannya, tetapi dia juga merasa sedih jika salah satu dari kami harus pergi meninggalkan rumah. Saat sedang melamun memikirkan itu semua, tiba-tiba terdengar suara pintu gerbang terbuka dan sebuah mobil memasuki halaman rumah Papa. Aku pun segera berlari ke arah jendela dan mengintip untuk memastikan apakah mobil tersebut adalah mobil Mas Ryan. Ternyata benar itu dia. Aku melihatnya turun dari mobil dengan ekspresi yang tidak biasa. Mukanya kusut seperti sedang mengalami banyak masalah. Apa yang sedang dihadapinya? Apa aku harus pergi keluar dan menyambutnya?
Saat itu, tiba-tiba saja ada suara Ryan membuka pintu depan. Dengan segera aku kemudian berlari naik ke atas kamar dan berpura-pura tertidur disana. Ketika Ryan membuka pintu kamarku, dia melihatku tertidur. Tidak mau membangunkanku, akhirnya Ryan pergi ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya.
Selesai mandi, Ryan membereskan kasur lipatnya itu dilantai. Lalu aku,
"Kasur lipatnya tidak usah digelar. Mas bisa tidur disini bersamaku."
Ryan kemudian mengembangkan senyum diwajahnya seolah tak percaya.
"Kamu sudah memaafkanku Sayang?" tanyanya
Tanpa menjawab pertanyaannya, aku malah kembali bertanya
"Kenapa Mas baru pulang jam segini?"
Saat itu Ryan, dia tiba-tiba mendekat ke arahku dan duduk ditepi ranjang (tepat disebelahku yang sedang berbaring). Dengan memperlihatkan raut wajah yang gembira sambil tersenyum, dia terlihat begitu senang mendengarkanku menanyakan itu padanya.
"Kenapa malah senyum? Jawab!!" ucapku kesal
"Aku senang kamu mengkhawatirkanku.."
Melihat ekspresiku yang malah semakin cemberut, Ryan tiba-tiba
"Ahh, iya.. iya.. Tadi aku ada sedikit urusan. Aku tadi telat pulang karena.." Ryan terlihat sedikit memutar bola matanya ke atas sambil memikirkan sesuatu. Kemudian dia lanjut berkata
"Ohh, Heru tadi menyuruhku menyelesaikan beberapa pekerjaan dikantor. Karena menurutnya aku ini sering bolos, maka dia sengaja menumpuk semua pekerjaan itu dan menyuruhku menyelesaikannya hari ini juga. Makanya aku bisa pulang telat Sayang. Maafin aku ya.."
Hatiku kecewa mendengar jawaban darinya. Padahal Heru bilang dia sudah meninggalkan kantor dari sebelum mahgrib tadi. Bagaimana bisa dia membohongiku seperti ini. Apa jangan-jangan tadi dia pergi bersama dengan Shina, pikirku tidak senang.
"Kenapa cemberut seperti itu. Aku kan sudah disini. Jadi kamu tidak perlu cemas lagi.." ucap Ryan kembali
Saat itu Ryan hendak menciumku, namun aku segera berbalik badan dan menghindarinya.
Ryan kemudian naik ke atas kasur dan begitu dia menghadapkan tubuhnya ke arahku, aku pun segera berbalik badan kembali (membelakanginya). Tidak lupa aku juga menaruh guling pembatas diantara kami berdua, agar Ryan tidak bisa mendekatiku atau tiba-tiba tangannya itu memelukku. Aku masih kesal dengannya. Dia tidak mau berkata jujur mengenai alasan keterlambatannya pulang.
Saat itu, respon Ryan ketika aku menaruh bantal guling diantara kami berdua
"Yahh.. padahal berharap bisa tidur nyenyak malam ini dengan meluk guling favoritku itu, malah dapatnya yang kw gini.." ucap Ryan sambil memegang guling yang memisahkan kami.
"Tapi gak apa-apa deh. Setidaknya malam ini aku bisa tidur satu ranjang bareng, dibanding harus tidur dilantai.." Ryan kemudian menghentikan kata-katanya
"Tapi dilantai kemarin aku bisa meluk guling favoritku itu. Nyaman sekali.. tidak seperti sekarang. Kalau aku pindah tidur dilantai lagi, apa kira-kira aku bisa meluk gulingku itu.."
Saat itu Ryan, dia terkejut dan menghentikan kata-katanya karena aku tiba-tiba saja berbalik menghadap ke arahnya sambil memandangnya dengan ekspresi tidak senang. Lalu Ryan,
"Gak kok Sayang. Cuma bercanda! Kamu jangan nantap aku tajam kayak gitu dong.."
"Kenapa Mas berbohong padaku?" tanyaku tiba-tiba
"Berbohong?" ucap Ryan mengulang perkataanku
"Iya. Mas berbohong padaku. Mas bilang Heru yang menyuruh Mas mengerjakan tugas kantor, tapi tadi aku menelpon Heru dan dia bilang Mas sudah meninggalkan kantor sebelum mahgrib tadi.."
Ryan, dia terlihat terkejut mendengarkanku mengatakan semua itu padanya.
"Apa Mas sebegitu seneng bisa membohongiku? Mempermainkan aku dan membuat aku cemas memikirkanmu yang semalaman telat pulang? Mas pikir menurut Mas itu lucu.. bisa membuatku merasa khawatir terus menerus saat menunggumu pulang. Apa itu membuat Mas bahagia, hah?" ucapku marah, kecewa, sambil menatap Ryan dengan menitikkan air mataku itu.
"Tidak Sayang. Aku gak bermaksud kayak gitu. Aku memang senang melihatmu mengkhawatirkanku.. tapi aku tidak berniat mempermainkanmu. Apalagi membuat rasa cemas dan kekhawatiranmu itu sebagai lelucon yang membuatku merasa bahagia. Aku sama sekali gak mikir ke arah sana.." Ryan berusaha menjelaskan
"Lalu, kenapa Mas berbohong soal Heru tadi? Apa ada sesuatu yang Mas sembunyikan dariku?"
"Apa Mas tadi pergi bersama dengan Shina seperti waktu di Villa?" tanyaku kembali masih sambil menangis.
Saat itu, aku bisa menyadari ekspresi terkejut Ryan ketika aku mengungkit soal Shina. Ada perubahan sedikit di bola matanya. Dan itu membuatku yakin bahwa memang benar dia tadi pergi bersama dengan Shina.
Saat sedang memikirkannya, tiba-tiba saja Ryan berkata
"Maafkan aku.."
"Aku mempunyai alasan tersendiri kenapa aku gak mau menceritakan yang sebenarnya mengenai alasan keterlamabatanku itu padamu. Aku tidak ingin membuatmu berpikiran negatif dan menjadi marah. Aku.."
"Karena Shina?" tanyaku tiba-tiba memotong penjelasan Ryan yang sebelumnya
Ryan terlihat terdiam saat itu. Beberapa saat setelahnya, kemudian dia pun mengangguk pelan.
Seketika tangisku pun pecah. Aku kemudian menutup kedua mataku itu sambil menangis. Ryan yang melihat hal itu pun lalu berusaha menenangkanku sambil memelukku.
"Maafin aku Sayang. Aku gak mau cerita hal yang sebenarnya karena khawatir kamu akan nangis kayak gini dan mencurigaiku yang macam-macam.. Sungguh, aku gak berbuat apapun dengan Shina tadi." Ryan masih berupaya menjelaskan padaku
"Kalau memang tidak ada apa-apa, kenapa Mas terus saja bertemu dengan Shina? Kenapa kalian selalu saja bertemu secara diam-diam seperti ini, hah? Apa Mas berniat ingin kembali pada Shina??" tanyaku emosi sambil menangis
"Tidak Sayang. Aku tidak bermaksud seperti itu. Sungguh! Aku tidak mau berpisah darimu. Kalau aku memang berniat pisah darimu untuk apa aku melakukan semua ini. Menyuruhmu untuk tinggal dirumah Papa, walaupun itu membuatku tidak nyaman.."
"Kau tahu kenapa aku mengambil handphonemu kemarin dan berkata seperti itu pada Papa? Alasanku melakukannya adalah karena aku tidak ingin pertengkaran kita semakin menjadi-jadi. Kalau pada saat kita pulang kemarin kita kembali tinggal di apartemen, maka kau akan terus mendiamkanku dan menuntutku untuk segera bercerai darimu. Setidaknya dengan tinggal dirumah Papa, kau tidak akan mendiamkanku (didepan Papa), karena kau tidak ingin Papa mengetahui tentang pertengkaran kita itu."
"Kalau memang aku berniat ingin kita berpisah, lalu untuk apa juga aku menyuruh Mama untuk membujukmu agar memberikanku waktu 2 minggu untukmu berpikir ulang mengenai perceraian kita. Untuk apa aku melakukan semua hal yang bisa merubah sifatku itu.. termasuk upayaku untuk tidur dilantai kemarin.."
Ryan, dia kembali menatap mataku dengan lekat. Sambil menghapus air mataku menggunakan tangannya, dia kembali berkata
"Sayang dengar, aku mencintaimu dan bukan Shina. Rasa cintaku padanya telah lama hilang semenjak aku pergi meninggalkannya waktu itu.. karena aku merasa kecewa dia telah membohongiku selama ini.."
"Walaupun aku tahu belakangan darinya bahwa itu semua hanya salah paham, tetapi aku tetap tidak bisa mengembalikan perasaanku yang dulu padanya. Aku hanya merasa iba, simpati, dan kasihan padanya.. Kau bisa bayangkan bagaimana perjuangannya membesarkan Rani sendirian, sementara dirinya tidak bisa sekalipun menghubungiku atau memberitahukan padaku bahwa semua pertengkaran kami dulu yang terjadi hanyalah sebuah salah paham saja. Bahkan, gara-gara hal itu dia sampe harus mengalami depresi berat. Sampai saat ini dia terlihat masih mengkonsumsi obat anti depresannya itu. Dan itu membuatku semakin merasa bersalah padanya."
"Kau tahu mengapa aku lebih memilih untuk menenangkan Shina saat itu, walaupun aku sangat ingin berusaha untuk pergi denganmu. Orang-orang seperti Shina mereka bisa melakukan apapun ketika merasa sangat tertekan. Aku hanya tidak ingin dia nantinya berbuat hal konyol padamu atau pada dirinya sendiri dengan mencelakai dirinya, apalagi kalau sampai dia bunuh diri.."
"Tapi aku tidak suka melihatmu pergi dengan Shina.." ucapku menjelaskan pada Ryan
"Kini akhirnya kamu tahu bagaimana perasaanku saat melihat kamu dengan Aris berdua-duaan, kan?" ucap Ryan sambil tersenyum
Aku yang malu mendengar perkataan darinya itu, akhirnya membenamkan kepalaku didadanya dengan memeluk dirinya dengan sangat erat. Namun saat itu respon Ryan malah
"Sayang.. aku kangen banget sama kamu."
Ryan kemudian melepaskan kedua tanganku yang memeluknya erat itu dan langsung menciumku. Selanjutnya, kalian pasti tahu apa yang kami lakukan kan. Ya, dia benar-benar menyiksaku. Tidak hanya sekali, bahkan kami melakukannya sampai tiga kali. Sebenarnya hanya dua kali, tapi pada saat itu dia berkata padaku
"Kamu tidak mau aku melakukannya dengan perempuan lain diluar sana, kan? terlebih lagi Shina.."
Setelah mengatakan itu, akhirnya kami melakukannya sekali lagi.
Ryan, dia selalu bisa membujukku untuk melakukan hal sesuai dengan keinginannya itu. Tapi aku senang, karena bagaimanapun hubungan kami dapat kembali hangat seperti dulu. Terima kasih Tuhan! Telah menyelamatkan rumah tanggaku sekali lagi dari kehancuran. Aku benar-benar menyukai sifatnya yang setia ini, ucapku dalam hati sambil sekali lagi mengecup bibirnya.
Saat itu, Ryan tiba-tiba bangun dan
"Kamu mau kita ngelakuin itu sekali lagi?" tanyanya
"Gak Mas. Aku capek. Aku mau tidur. Besokkan harus bangun pagi.."
"Bangun pagi apa? Memangnya besok kamu mau berangkat kerja?" bantahnya
"Tapi Mas.. Besok kan Mas harus berangkat pagi buat ngantor." tolakku
"Besok aku gak ke kantor juga gak apa-apa.." jawabnya
"Tapi.." ucapku kembali berusaha menolak
Dan akhirnya kami pun melakukannya sekali lagi.
Di apartemen Aris dan Shina, saat itu terlihat Shina yang baru saja kembali ke unitnya.
"Kau darimana saja? Apa kau tidak tahu bahwa aku sangat cemas menghubungi daritadi. Kenapa kau tidak menjawab panggilanku?" tanya Aris begitu Shina mulai masuk kedalam.
Tanpa mempedulikan perkataan Aris, Shina lalu berlalu masuk kedalam kamarnya.
"Shina.." Aris terus mengikutinya untuk meminta penjelasan darinya
Dan bagitu Aris masuk kedalam kamarnya,
"Kau itu berisik sekali.." ucap Shina tiba-tiba pada Aris
"Aku bertanya kau itu darimana saja sehingga jam segini baru pulang?" tanya Aris marah
"Aku tadi habis bertemu dengan Ryan." jawab Shina yang membuat Aris begitu terkejut
Melihat ekspresi Aris yang seperti itu kemudian Shina lalu tersenyum dan tiba-tiba dia langsung mencium Aris.
*Cup.. (Shina mengecup bibir Aris singkat)
"Lucu sekali melihat ekspresimu yang seperti ini Aris. Aku senang melihatmu bisa cemburu padaku.." lanjut Shina berkata
"Shina kau.."
"Tadi aku memang bertemu Ryan dan memintanya agar kita bisa tetap tinggal diapartemen kita ini.." ucap Shina tiba-tiba memotong pembicaraan Aris
"Hanya membicarakan masalah apartemen sampai malam begini? Shina kau itu kan sedang hamil. Bagaimana bisa kau melakukan semua itu?" ucap Aris tidak senang
"Aku tadi sempat pingsan dan Ryan membawaku ke klinik.."
"Kenapa kau tidak menghubungiku dan malah meminta Ryan menemanimu?"
"Ahh iya aku lupa. Seharusnya pada saat aku pingsan, aku langsung menelponmu ya Aris.." jawab Shina meledek karena bagaimana mungkin dirinya yang sedang pingsan itu kemudian menghubungi Aris.
"Apa kata dokter? Apa semuanya baik-baik saja?" tanya Aris kemudian cemas
"Aku baik-baik saja.."
"Bagaimana dengan janin yang ada didalam kandunganmu itu?"
Shina lalu memperlihatkan hasil foto usgnya itu pada Aris. Aris tersenyum bahagia melihatnya.
"Besok kita pergi ke dokter kandungan untuk melakukan kontrol rutin. Kali ini kau tidak boleh pergi bersama dengan Ryan dan bertemu lagi dengannya. Apa kau mengerti?"
"Siap paduka.. Apapun titah darimu.." jawab Shina yang membuat Aris tersenyum.
Sementara itu di kediaman Pratomo, Ibu Tomo (Mama Ryan) terkejut melihat beberapa gambar foto dihandphonenya yang telah dikirim oleh orang suruhannya. Dirinya seolah tidak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya dihandphonenya itu. Setelah itu, dirinya menelpon orang yang mengirimkan foto tadi dan menyuruhnya untuk melakukan sesuatu.
ความคิดเห็นย่อย
คุณลักษณะความคิดเห็นย่อหน้าอยู่ในขณะนี้บนเว็บ! เลื่อนเมาส์ไปที่ย่อหน้าใดก็ได้แล้วคลิกไอคอนเพื่อเพิ่มความคิดเห็นของคุณ
นอกจากนี้คุณสามารถปิด / เปิดได้ตลอดเวลาในการตั้งค่า
เข้าใจแล้ว