Katerina tiba di rumah Sara jam setengah tujuh malam dan mendapati anak perempuan itu sedang memasak air panas sementara menunggu kedatangan Katerina.
"Hai... masak apa?' tanya Katerina saat melongok ke dapur. Tidak ada yang berubah sejak terakhir ia kemari...bertahun-tahun yang lalu.
"Cuma masak air... Aku nggak bisa masak," kata Sara malu-malu. "Biasanya kalau makan sendirian aku beli mie instan atau pesan delivery pizza."
"Kamu memang payah... seharusnya kamu belajar banyak dari buku." Katerina berjalan ke arah tangga. "Chris dulu begitu, kurasa buku-buku masaknya masih ada di kamarnya... Apakah ada kuncinya ada di sini?"
Sara mengangguk ragu-ragu. Ia mengambil seikat kunci dari dalam toples di lemari dan mengacungkannya kepada Katerina.
Kamar Chris terletak di lantai 2 dan selama bertahun-tahun hampir tak pernah disentuh oleh keluarganya. Dulu Katerina dan teman-temannya sering bermain kemari karena rumah ini seringkali kosong. Bahkan Katerina pergi kemari saat ia kabur dari rumah.
Katerina membuka pintu kamar, yang hampir kaku karena jarang dibuka, dan masuk ke dalam. Sara mengikutinya dari belakang. Di dalam ruangan itu semua jejak Chris bertebaran. Koleksi topinya, sepatu-sepatu dan kaus kaki yang diatur rapi, buku-buku tentang astronomi, beberapa komik petualangan, foto-foto kelompok mereka... foto ibunya yang masih muda, sehelai kanvas dengan lukisan setengah jadi dan cat yang sudah mengering, serta buku-buku drama dan sehelai wig serta beberapa perlengkapan aneh lainnya di atas meja kecil di samping tempat tidur.
Katerina memeriksa di antara tumpukan buku itu dan menemukan dua buah buku masak praktis. Sambil tersenyum ia mengacungkan keduanya pada Sara, "Ketemu! Kamu bisa mulai bereksperimen sekarang."
Sara tertawa dan menerima buku itu, membolak-balik halamannya yang dihiasi gambar dan memilih satu yang disukainya. "Sepertinya masak steak gampang, deh..."
"Memang. Kamu mau coba sekarang?"
Sara mengangguk. "Tapi di kulkas lagi nggak ada apa-apa.'
"Kalau begitu kita belanja dulu, ayo..."
Katerina dan Sara belanja kilat ke supermarket terdekat. Saat berada di sana keduanya hampir tergoda ke counter fast food terdekat. Apalagi ketika bertemu Andy yang sedang makan di sana dengan seorang anak perempuan.
"Andy...malam-malam ke sini untuk pacaran, bukannya belajar untuk ujian hari senin nanti?" tegur Katerina. Sara menyikutnya dengan geli dan membisikkan sesuatu. Andy tampak salah tingkah.
"Hai, Miss... tadi sore sudah belajar, kok.." kilahnya. Ia tampak tidak tahu bagaimana harus bersikap.
"Kenalin, Miss... ini Lucy..."
"Hallo, Lucy..." sapa Katerina ramah. "Kamu kelas berapa?"
"Hallo, Bu... saya kelas 2..." jawab Lucy malu-malu.
"Kamu juga sudah belajar untuk ujian?"
"Iya, diajarin sama Andy..."
"Ooh.. bagus kalau begitu." Katerina tersenyum simpul. "Kami pergi dulu, ya..masih harus belanja."
"Iya.. eh... kok Miss bisa bareng Sara ke sini?" tanya Andy kemudian. "Kalian janjian?"
"Iya... Ibu guru kan mau makan malam di rumahku, jadi kita masak barengan..." ujar Sara bangga.
"Wah, Miss.. boleh, dong ke rumahku juga..." cetus Andy gembira. "Soalnya pembantu lagi mudik... he.. he.."
Katerina memukul bahunya sambil tertawa lalu berjalan pergi bersama Sara.
"Kalian kok akrab sama guru?" tanya Lucy setelah Katerina dan Sara tidak kelihatan. "Rasanya kayak temen aja, deh..."
"Kita memang teman, kok." jawab Andy.
***
Katerina mengamati cara kerja Sara memasak. Melihat hasilnya, ia bingung bagaimana Sara bisa bertahan hidup sampai sekarang ini, mengandalkan makanan instan tentu tak mungkin.
Akhirnya ia mengambil alih dan membereskan semuanya. Hampir jam 9 malam baru akhirnya mereka bisa menikmati nasi dan steak sapi dengan saus pedas manis sesuai resep yang diinginkan.
"Sudah malam sekali...aku harus segera ke rumah sakit." kata Katerina setelah membereskan peralatan makan mereka. Ia mengambil jaket dan tasnya lalu keluar. "Kamu cepat istirahat, biar tidak sakit di hari ujian. Besok kamu bisa jenguk Rio di rumah sakit kalau mau."
"Iya, Kak.."
Sara menutup pintu setelah melihat Katerina keluar dari gerbang depan. Di antara kunci-kunci yang berada di tangannya ada juga kunci-kunci ruangan di atas. Ia berjalan ke atas dan membuka pintu kamar Chris, lalu duduk di meja belajarnya dan merenungi seluruh isi kamar.
"Kakak beruntung sekali memiliki teman seperti Kak Katerina...dari caranya bercerita tentang Kakak...kadang-kadang aku berpikir bahwa ia menyukai Kakak... Tapi sebenarnya itu cinta yang bertepuk sebelah tangan, kan? Cintamulah..." Sara menopangkan tangannya ke dagu dan memandangi foto Chris di atas meja belajar. "..Kalau kau masih hidup, apa yang akan kaulakukan?"
Chris tersenyum. Seperti biasa senyumnya manis dan agak jahil.
>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>>.
.
Siang itu adalah hari terakhir sekolah menjelang ujian, dan kebetulan malam minggu. Anak-anak kelas 2E dengan semangat membereskan buku-buku saat jam menunjukkan angka 12. Masih satu jam lagi sebelum bel pulang berbunyi tapi ketidakhadiran guru membuat mereka sudah tak sabar lagi dan memutuskan keluar duluan.
"Hai, Rin... met ulangtahun, ya...!"
"Selamat ulangtahun... yang ke berapa?"
"Masa kamu lupa? Enam puluh!"
Katerina tersenyum saja sambil menerima jabatan tangan teman-temannya. Ia sangat senang karena mereka memperhatikan bahwa hari ini adalah hari ulang tahunnya.
Tadi pagi Denny sudah memberi selamat duluan dan memberinya kado kecil, sebuah gantungan kunci berbentuk boneka Superman, tokoh kartun favorit Katerina. Benda itu cukup sulit didapat dan Katerina sangat menyukainya.
Katerina sudah merencanakan sepulang sekolah akan mentraktir teman-temannya di kantin bakso, tetapi rupanya Chris punya rencana lain. Begitu keluar kelas ia segera menyerbu Katerina dan Denny yang menunggu di depan kelas mereka, sambil mengacungkan sederetan kunci.
"Mobil Papa bebas! Kita jalan-jalan, yuk!" serunya gembira. "Aku kepikiran untuk jalan-jalan ke Lembang. Kalo pergi sekarang, kita nggak akan kena macet..."
Mereka saling pandang gembira. Katerina lebih lagi. Ia sangat suka bila mereka jalan-jalan ke Lembang dan minum susu murni. "Aku setuju! Kalian akan kutraktir makan jagung bakar dan susu murni."
Semuanya berseru gembira, kecuali Rio yang keluar terakhir diikuti oleh Irma. Wajahnya tampak agak kurang senang.
"Teman-teman semua, maaf, ya...hari ini Rio aku pinjam karena aku harus beli beberapa perlengkapan pesta pesanan Mama." Kata Irma kemudian.
"Wah... padahal sekarang kan ulang tahun Katerina dan kita mau merayakannya di Lembang..." keluh Chris. "Kamu bisa saja pilih waktu, Ir..."
"Sudahlah, Chris...ini memang tanggung jawabku," sahut Rio. "Kalian pergi saja duluan, nanti kususul."
"Serius? Kita bakalan ke tempat biasa, deh... Kita tungguin kamu sampai jam 5...soalnya kalau pulang kemalaman aku takut nggak sanggup nyetir dalam gelap..." kata Chris akhirnya. Rio mengangguk dan berlalu bersama Irma.
Katerina tampak sangat kecewa. Sebelum pergi Rio memang menyalaminya dan mengucapkan selamat ulangtahun dengan manis, tetapi rasanya menyakitkan melihat ia harus pergi bersama Irma, tak bisa ikut mereka kali ini.
"Rio... janji, ya, kamu bakal datang..." kata Katerina tiba-tiba.
Rio menoleh dan agak lama meneliti Katerina, lalu mengangguk.
Mereka berpisah di gerbang sekolah. Rio menemani Irma ke mal. Ia mempunyai begitu banyak barang yang harus dibeli dalam daftar.
Rio sebenarnya heran kenapa Irma tidak belanja sendiri dengan ibunya atau siapa, kek, pembantu misalnya... malah mengajak Rio. Memanfaatkan hari terakhir hak lelangnya.
"Yo... kamu tahu nggak kira-kira ngasih hadiah apa untuk cowok yang mau tunangan?" tanya Irma kemudian. "Mama dan aku saingan mau ngasih hadiah yang spesial untuk Kakak... Kalau cuma ngasih kartu doang, kayaknya kurang pas, deh..."
Barulah Rio mengerti kenapa Irma mengajaknya. "Kakakmu itu orangnya seperti apa? Mungkin kita bisa kasih hadiah yang terbaik."
"Mm... kakak itu sifatnya mirip banget sama kamu, cool gitu, deh... Makanya kira-kira yang kamu suka pasti dia suka juga," jawab Irma. "Kalo kamu yang tunangan pengennya dikasih apa?"
"Aku sih...hmm..." Rio berpikir sebentar, membayangkan dirinya suatu saat jatuh cinta kepada seorang gadis dan memutuskan untuk kemudian bertunangan dengannya, "Aku akan senang sekali kalau adikku memberikan sesuatu untuk tunanganku... sebagai tanda bahwa ia menerimanya sebagai kakaknya sendiri."
"Jadi, Kakak akan lebih senang kalo aku ngasih hadiah untuk tunangannya?"
"Kurasa begitu."
Irma mengangguk-anggguk. "Hm...kalau begitu harus nyari hadiah cewek... Itu, sih, aku sendiri saja."
"Jadi kamu nggak butuh aku lagi?"
"Mmh... butuh, sih... tapi nanti buat beli barang-barang keperluan pesta pesanan Mama. Sekarang aku mau cari kado dulu... Kamu bebas, deh, mau ke mana... Sejam lagi kita ketemu di depan Food Court, ya... makan siang dulu."
Ia masuk ke sebuah toko aksesori. Saat melihat berbagai aksesori di toko itu tiba-tiba terbetik sesuatu di benak Rio. Ia segera berlari keluar.
Di depan mal banyak pedagang kaki lima yang menggelar pelbagai pernak-pernik dari aksesoris HP, barang-barang Punk, diary, dan aksesoris ringan. Ia segera menghampiri seorang penjual gelang dan berusaha meneliti semua barangnya. Tak ada gelang Katerina.
"Pak... kemarin teman saya beli gelang di sekitar sini, dan waktu nyoba gelang yang baru yang lama ketinggalan... padahal barang itu sangat penting untuknya..." kata Rio kemudian.
Pedagang itu mendengarkan baik-baik.
"Apa mungkin Bapak menemukannya? Ehm..bentuknya berupa bola-bola perak yang dijalin pakai tali dan setiap bola mewakili huruf yang membentuk nama Katerina ...?"
Pedagang itu menggeleng. "Mungkin di tempat lain, Nak..."
"Terima-kasih, Pak."
Rio berjalan kembali menelusuri sekitar tempat itu dan menemukan seorang pedagang gelang lain. Ia meneliti semua gelang yang ada di situ tetapi tidak menemukan apa yang dicarinya. Terpaksa ia kembali bertanya.
"Maaf, Pak...kemarin teman saya beli gelang di sekitar sini, tapi waktu nyoba gelang baru yang lama ketinggalan... Bentuknya bola-bola perak di..." Ia terhenti saat pandangannya menemukan gelang yang dicarinya melingkar di pergelangan tangan laki-laki itu. "...Sepertinya Bapak sedang memakainya..."
Laki-laki itu mengangkat tangannya. "Uh..gelang ini memang bagus... Saya sangat menyukainya. Ini tidak dijual."
"Tapi itu bukan milik Bapak!"
"Maaf. Saya sudah bilang ini tidak dijual..." Laki-laki itu menyeringai, "kecuali kalau kamu memaksa... Saya bisa merelakannya dengan harga 100..."
"Seratus ribu?"
Dari tatapannya, Rio mengerti bahwa laki-laki itu bersikeras dengan tawarannya. Ia bingung. Di dompetnya tidak ada uang sebanyak itu, hanya ada untuk ongkos dan makan ke Lembang. Tapi gelang itu...mungkin tak akan ada kesempatan lagi untuk mendapatkannya.
Ia bangkit berdiri dan berjalan masuk ke dalam mal. Irma masih ada di toko perhiasan, sibuk membandingkan dua pasang anting-anting. Rio mendekatinya.
"Boleh, nggak, aku pinjam uang seratus ribu?" tanyanya kemudian. Irma menoleh kaget. Rio mengangguk pelan. "Ini sangat penting."
"Hmmh...seratus ribu?" Irma membuka dompetnya dan menaksir jumlah uang yang ia butuhkan lalu mengeluarkan dua lembar uang limapuluh ribu rupiah dan menyerahkannya pada Rio. "Rasanya masih cukup... Kamu boleh pakai ini. Tapi... boleh aku tanya untuk apa?"
Rio menggeleng dan berlalu. Tindakannya ini membuat Irma sangat penasaran. Akhirnya ia ikut keluar dan diam-diam mengamati gerak-gerik Rio. Dari jauh ia melihat Rio pergi ke seorang pedagang gelang, menukarkan uang itu dengan sebuah gelang yang rasanya familiar bagi Irma. Ia tidak ingat di mana pernah melihat gelang itu.
Ia cepat-cepat kembali ke bagian aksesori dan menunggu Rio di sana.
"Sudah urusan pentingnya?" tanya Irma saat Rio muncul. "Aku sudah dapat kado, sekarang makan dulu, yuk, baru belanja pesanan Mama..."
"Aku nggak lapar... setidaknya kita selesaikan pesanan mamamu dulu, sesudahnya kamu bebas untuk makan." sahut Rio. Ia telah melihat jam tangannya dua kali untuk bisa menghitung waktu yang ia butuhkan untuk mencapai Lembang sebelum jam 5.
"Jelas saja kamu nggak lapar, kan mau ke Lembang..." omel Irma. "Tapi aku mesti makan sekarang supaya nggak sakit maag. Belanjanya ditunda, deh..."
"Kalau begitu kamu makan saja, kemarikan daftarnya biar aku yang belanja," tukas Rio cepat. "Dengan begini semua beres."
Dengan setengah hati Irma menyerahkan daftar pesanan ibunya dan dompet agar Rio yang berkeliling dan mencari semuanya. Dalam hati ia kasihan juga melihat anak laki-laki belanja, padahal untuk melakukan tugas ini saja ibunya telah memberi Irma upah yang sangat tinggi. Ia ingin menemani Rio tapi perutnya memaksa diisi makanan secepatnya. Akhirnya mereka berpisah.