Lorong istana tampak sunyi begitu seseorang menapakkan kembali kakinya di sana. Seorang pria bermantel kerah bulu hitam berjalan tegap menuju ruangan tempat dimana Raja Tigreal berada. Beliau memerintahkannya untuk menemuinya di ruangan pribadi miliknya, tempat biasa beliau mengadakan pertemuan secara tertutup dan rahasia.
Selama perjalanan, pemuda bermanik cokelat itu sempat melihat ke sekeliling tempat ini sebelumnya, seperti dugaannya, tak banyak yang berubah dari istana ini. Pilar-pilar emas yang kokoh. Lantai marmer yang berkilauan. Taman istana yang terawat serta tertata rapi. Dekorasi dalam istana yang mewah dan indah menyejukkan mata. Para penjaga yang siap bersiaga. Pelayan yang sibuk melaksanakan tugasnya. Semuanya masih terlihat sama.
Seketika, seulas senyum menghiasi wajah sang pemuda. Ia senang bisa kembali ke tempat ini.
Lalu, langkah kakinya pun menemui akhirnya. Dia sampai di depan pintu ruangan pribadi milik Raja Tigreal. Ada dua penjaga yang berjaga di sana. Mereka menunduk hormat pada sang pemuda, yang tak lain adalah Ksatria mereka di tanah Calestine Land ini.
Kedua penjaga membukakan pintu untuknya. Dengan langkah mantap, dia berjalan memasuki ruangan.
Tak banyak dekorasi mewah di dalam ruangan berkarpet merah marun itu. Hanya terdapat meja dan kursi, serta dua lemari besar yang berisikan buku-buku, juga lemari kecil untuk menyimpan peralatan minum teh. Jendela mengarah langsung ke halaman samping istana yang ditumbuhi pepohonan hias serta belasan jenis bunga indah lainnya.
Di sanalah, Raja Tigreal menunggu kedatangannya. Di sampingnya, juga ada Aaron yang menunggunya.
"Salam, Yang Mulia. Hamba, Flavian, datang untuk memenuhi panggilan Yang Mulia." Flavian, sang Ksatria, bersujud di hadapan Raja Tigreal dengan segala hormat.
"Berdirilah, Flavian. Aku sudah menunggumu," ucap sang Raja dengan nada ramah.
Lalu, Raja Tigreal mempersilakan Flavian duduk. Mereka duduk saling berhadapan. Kemudian Aaron menuangkan teh di cangkir mereka, setelah itu dia kembali berdiri di samping tempat duduk Raja Tigreal.
Aaron memilih berdiri karena baginya akan lebih mudah untuk membaca setiap gerak-gerik Flavian dalam posisinya sekarang. Siapa tahu pemuda itu sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
"Bagaimana kabarmu? Sudah lama sejak aku memanggilmu terakhir kali." Raja Tigreal mulai berbasa-basi setelah menyesap tehnya. Aroma teh seketika menguar di udara, yang secara praktis tertangkap oleh indera penciumannya. Aroma khas yang menenangkan.
"Sangat baik, Yang Mulia. Senang rasanya bisa kembali."
"Syukurlah," ucap sang Raja merasa lega. "Flavian, dalam waktu dekat aku akan secara resmi menarikmu dari Kerajaan Awaken Light. Bukan hanya kau, Fabien dan Irina juga akan kutarik dari sana. Kalian bertiga akan kembali bertugas di Calestine Land."
Mendengarnya, Flavian agak terkejut, namun senyum kembali menghiasi wajahnya. "Ah, begitu."
"Ya, aku sudah mendapat kabar dari raja dan para ratu bahwa mereka merasa sudah cukup menerima bantuan dari kita, dan mereka tak bisa menahan kalian lebih lama lagi di sana. Biar bagaimanapun, kalian tetap Ksatria Calestine Land."
"Apapun keputusan Yang Mulia, akan kami terima," jawab Flavian tenang.
"Dan alasanku memanggilmu secara mendadak ke sini... karena aku ingin mempertemukanmu dengan seseorang."
"Seseorang?"
"Maaf, Flavian... mungkin ini akan mengejutkanmu karena yang akan kita bahas kali ini adalah mengenai perang yang terjadi 150 tahun yang lalu."
Flavian tampak bingung. Jelas terlihat dari ekspresi wajahnya saat ini. Karena ini pertama kalinya sang Raja membahas langsung masalah itu saat pertemuan mereka berlangsung.
"Silakan saja, Yang Mulia," kata Flavian cepat yang tak ingin membuat rajanya jadi terlalu lama menunggu jawaban darinya.
"Aaron..." Raja Tigreal menyebut nama Aaron yang berdiri si sisinya.
"Baik, Yang Mulia. Akan kupanggilkan."
Aaron bergegas keluar ruangan setelah mendapat titah dari sang Raja untuk memanggil seseorang bersamanya. Tak lama, Aaron kembali ke ruangan bersama seseorang yang wajahnya masih sama terkesan datar.
Alucard. Pemuda itu menatap lurus-lurus ke arah sosok Flavian yang duduk menikmati tehnya.
"Alucard, silakan duduk."
Setelah dipersilakan duduk oleh sang Raja, Alucard bergabung dengan mereka. Dan Aaron juga menuangkan teh ke dalam cangkir milik Alucard. Pemuda itu memandang tiga cangkir teh berbahan kristal dengan tatapan tak senangnya. Juga duduk santai seperti ini, apa-apaan ini? Apakah percakapannya akan lebih santai? Tidak ada pembicaraan serius?
"Tenanglah, membicarakan sesuatu yang penting akan lebih baik jika tubuh kita juga merasa lebih santai. Dengan begitu, kita bisa berpikir jernih. Benar, kan?" Tiba-tiba sang Raja berseloroh setelah melihat kekakuan diri Alucard.
Alucard melirik tajam Raja Tigreal. Seolah melayangkan protes tak senangnya.
"Hei, apa-apaan pandanganmu itu?? Kau berani menatap Yang Mulia dengan pandangan seperti itu?! Mau mati, hah?!" Flavian berteriak ketika menyadari sikap Alucard yang kurang pantas di matanya.
Alucard tak peduli. Dia menenggak habis tehnya tanpa tersisa. Dan hal itu membuat Flavian tercengang. Dia saja masih bisa merasakan panasnya teh itu, bagaimana Alucard bisa menghabiskannya dalam sekali minum?
Raja Tigreal tertawa melihat tingkah pemuda yang mudah emosional itu. Begitu juga dengan Aaron. Ternyata Alucard bisa juga bersikap kekanakan.
"Flavian, ini Alucard, orang yang ingin kupertemukan denganmu," kata Raja Tigreal memperkenalkan sebelum Flavian semakin jadi salah paham.
"O-oh..."
"Ceritanya panjang, mungkin kau lupa, dulu aku pernah memberitahumu tentang keluargaku yang tersisa saat aku masih tinggal di Kota Empire. Sekarang aku sudah bertemu lagi dengannya," terang Raja Tigreal.
"D-diakah orangnya?? A-ah, m-maafkan aku." Flavian menundukkan kepala ke arah sang Demon Hunter, merasa bersalah karena bersikap tidak sopan padanya.
Alucard lagi-lagi tak mempedulikan ucapan maupun permintaan maaf Flavian. "Cih, apanya yang keluarga?"
Mendengarnya, Flavian kembali kesal. "Orang ini!! Apa sih masalahmu dengan Yang Mulia?! Kenapa sikapmu begitu?!"
"Tak apa, Flavian, maklumi saja. Dia memang seperti itu." Kali ini Aaron turut menyuarakan sarannya. Dan Flavian kembali bungkam.
"Flavian, kami ingin menanyakan sesuatu padamu. Kau masih ingat perang besar yang terjadi 150 tahun yang lalu, bukan?"
Kini Raja Tigreal mulai serius. Flavian pun menanggapinya serius.
"Tentu saja masih, Yang Mulia. Mana mungkin aku bisa melupakan perang yang menewaskan banyak orang di tiap penjuru dunia," ucap Flavian kembali mengenang kejadian saat itu.
"Dan kau masih ingat dengan iblis terakhir yang kau habisi waktu itu? Yang memberimu informasi tentang Dark Witch padaku dan di depan ksatria yang lain?"
"Ya, Yang Mulia. Tapi... kenapa anda menanyakannya?"
Raja Tigreal menatap Alucard sebentar sebelum melanjutkan perkataannya. Dia hanya ingin memastikan bahwa Alucard bisa menahan diri selama dirinya menanyakan masalah ini pada Flavian.
"Kau yakin saat itu dia hanya memberitahumu informasi tentang Dark Witch saja?"
"Ya, Yang Mulia."
"Tidak ada informasi lainnya?"
"Tidak ada," jawab Flavian yakin, juga bingung, karena Raja Tigreal seolah sedang menginterogasinya untuk masalah yang amat serius. "Semua yang kukatakan waktu itu benar adanya. Hanya itu saja informasi yang dia sampaikan padaku sebelum aku menghabisinya."
Mendengarnya, jari-jari tangan Alucard mengepal kuat. Rahangnya mengeras. Tatapannya berkilat marah. Jadi inikah orangnya, orang yang telah menghabisi saudaranya? Sang pembunuh begitu dekat dengannya, akan lebih memuaskan jika dirinya menghabisi Flavian saat ini juga. Namun niat itu tentu tak dilakukannya. Mendapat informasi dari Flavian itu jauh lebih penting sekarang.
Sang Raja bisa menangkap ekpresi kemarahan Alucard, dan dia salut terhadap pengendalian diri lelaki itu. Beliau tahu, bahwa dia ingin sekali memberi pelajaran pada salah satu orang kepercayaannya ini, orang yang dulunya telah menghabisi saudaranya dalam medan pertempuran.
"Alucard, dia berkata benar," kata Raja Tigreal setelah beberapa saat terdiam.
"Apa?!"
"Gelombang pikirannya stabil. Dan dia tanggap menjawab pertanyaanku tanpa ragu sedikitpun."
BRAKK!
Alucard menggebrak meja di depannya hingga menimbulkan suara dentingan yang cukup keras dari masing-masing cangkir dan cawan mereka. Dia menatap marah pada sang Raja. "Aku tak peduli dengan kemampuan konyolmu itu! Itu tak membuktikan kalau dia bicara yang sebenarnya!!"
"Alucard, kendalikan dirimu. Kau sedang bicara pada seorang Raja sekarang," tegur Aaron memperingati. Dia tak ingin ada kekacauan yang muncul di ruangan ini.
"Maksudmu aku harus tenang?! Harus tenang saat pembunuh kakakku ada di depan mataku?!"
"A-apa yang dia bicarakan, Yang Mulia? Sungguh, aku tak mengerti. Dan juga kenapa anda mengungkit peristiwa lama?" Flavian tak kuasa menahan diri untuk tak ikut campur dalam pembicaraan mereka. Dia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi sekarang.
Raja Tigreal menghela napas. Rupanya pengendalian diri Alucard hanyalah bersifat sementara. Tak bisakah lelaki itu diam dan duduk manis saja selagi dia berusaha memecahkan masalahnya? Itu membuatnya pusing.
"Iblis yang kau habisi waktu itu... adalah saudara dari orang ini." Raja Tigreal menunjuk Alucard yang berusaha mati-matian untuk tak menghajar Flavian.
Mata Flavian membulat. Terkejut mendengar pengakuan dari sang Raja. Dia tak menyangka bahwa keduanya memiliki hubungan seperti itu. Mustahil.
"I-itu artinya... orang ini... adalah iblis??"