Ella menggengam rangkaian bunga Lili ditangannya, tiupan angin yang lembut seringkali menerpa wajahnya. Matahari sudah mulai memancarkan sinarnya, tetapi udara dingin lebih menguasai. Bahkan Ella bisa melihat nafasnya sendiri mengepul dipermukaan udara.
Calvin berdiri tepat disamping Ella, lelaki tersebut ikut diam menatapi sebuah papan nisan yang terbuat dari batu yang sudah terbentuk dengan rapi.
Sebuah nama terukir dengan rapi. Nama yang cukup membuat kesedihan sahabatnya.
"Ella..." Ucap Calvin, Ella mulai menyeka sesuatu dari balik kacamatanya. Calvin yakin bahwa ia sedang menyembunyikan air matanya, Calvin memandangi bunga lilinya sendiri. Perlahan ia meletakkan diatas makam tersebut.
"Apa kau tau apa arti dari bunga Lili?" Tanya Ella tiba-tiba, ia masih memengangi rangkaian bunga lilinya. Menyeka hidungnya dengan punggung tangannya.
Calvin terdiam, tidak menjawab pertanyaan Ella. Pria itu merangkul sahabatnya, Ella terlihat begitu rapuh saat itu. "Apa kau baik-baik saja?" Tanyanya.
"Konon, Lili merupakan bunga yang melambangkan rasa ketidakbersalahan dan rasa simpati. Dan itulah yang terjadi dengan ibuku, Calv."
Ella sedikit menunduk untuk meletakkan rangkaian bunganya, membayangkan wajah ibunya yang terakhir kalinya. Ella membuka kacamatanya, bulir air matanya sudah tidak bisa ia pendam lagi. Terus mengalir melewati pipinya yang sudah merona merah.
Calvin tidak nyaman dengan situasi ini, Ia ingin Ella berteriak atau melakukan sesuatu untuk melampiaskan kesedihan ataupun kekesalannya. Calvin menjadi ikut terenyuh dengan sikap Ella saat ini.
"Ibu, aku sangat merindukanmu." Ucap Ella masih dalam tangisnya.
"Ibu, aku tidak tau apakah aku bisa terus bertahan. Tapi aku tau kau lebih kuat dariku, aku tidak boleh menyerah dengan semua keadaan ini."
Calvin memperhatikan Ella yang masih tertunduk sedih, memegangi batu nisan seakan sedang memeluk sosok ibunya.
Memberikan Ella sebuah ruang, untuk bisa menumpahkan isi hatinya yang sedang terluka.
Udara semakin dingin, Calvin melepaskan mantelnya. Menyelimuti tubuh temannya yang masih saja meringkuk dengan sedih. Ikut merangkul sahabatnya, orang yang mulai ia sayangi dengan cara yang berbeda.
***
"Apa kau sudah lebih baik?" Tanya Calvin.
Ella sudah melepaskan kacamatanya, kali ini terlihat jelas matanya yang sembab. Memegangi secangkir kopi hangat, dan menyeruputnya dengan perlahan.
"Mmmm.... ini lebih baik." Ella sedikit menaikkan bahunya, berharap temannya percaya dengan apa yang ia katakan.
"Kau tidak perlu menceritakan apapun, aku tidak akan memaksamu.."
"Semalam aku menyeret keluar wanita itu, itu sudah cukup membuatku senang. Setidaknya Alfred, tidak bersama wanita lain semalam.." Ucap Ella, tapi nada suaranya terlihat bergetar saat mengatakannya.
"Ella, sudah kukatakan kau tidak perlu bercerita apapun.OK." Calvin berusaha menolak, ia bahkan melihat mata Ella yang mulai berkaca-kaca lagi.
"Aku tidak apa-apa Calv, aku serius.."
"Dan aku serius mengatakan kalau kau tidak perlu bercerita apapun. Apa kau ingin membuat matamu menjadi sebesar bolas basket?" Sindir Calvin.
Ella menutup kedua matanya dengan kedua tangannya, berusaha menutupi air mata yang masih saja ingin keluar. Padahal Ella sudah bersusah payah untuk tidak menangis dihadapan Calvin.
"Hk...hk... Huhhhh.....fuhh...." Ella mencoba mengatur nafasnya, mungkin cara itu akan berguna agar dia tidak menangis lagi.
"Kau masih mencintai Alfred?" Tanya Calvin dan memegangi dagu Ella membuatnya menegakkan wajahnya, kali ini mata mereka saling menatap. Tapi Ella merasakan ada tatapan yang berbeda dari sahabatnya.
"Apa kau mencintainya Ella?" Tanya Calvin masih terus memegangi dagu Ella, bahkan kali ini wajah Calvin semakin mendekat ke arah Ella.
"Calvin..?" Ella merasa aneh dengannya yang masih terus mendekat, bahkan Ella sudah bisa melihat jelas bibir Calvin yang cukup dekat dengannya.
"AAAAuuuuuuwww...."
Pekik Calvin kesakitan memegangi kepalanya, sebuah sendok kopi sudah melayang di atas kepalanya. Ella melakukan dengan cepat, hingga pria itu tidak menyadarinya.
"Apa yang sedang kau lakukan? Kau cukup gila, Calv!! Kalau aku tidak mengenalmu aku akan berpikir kau akan menciumku barusan." Ucap Ella, masih memegangi sendok kopinya.
Calvin masih mengusap-ngusap kepalanya, masih bisa merasakan denyutan di area tempat Ella memukul kepalanya tadi. Calvin tidak menjawab pertanyaan Ella, dan lagi dia hanya menatap Ella dengan sebuah tatapan.
"Apa?? Kau serius Calv? Hahh.....?" Ella tidak percaya temannya tidak menyanggah perkatannya, "Kau tadi benar-benar ingin menc....??Ahhh... KAU GILA CALVIN!!"
"Ella aku tidak GILA? Dimana salahku??" Calvin sudah mulai membuka suaranya, sudah cukup lama dia menyembunyikan perasannya.
"Sejak kapan kau melihatku sebagai seorang wanita?" Tanya Ella masih tidak percaya.
"Wanita?? Maksudmu?? Memang sebelumnya kau bukan seorang wanita ya?" Calvin menyeringai dengan sengaja,
"Ella apa kau seorang transgender... Ahh aku tidak menyangka.... Auuuwwww..... Ella hentikan itu sangat sakit."
Ella mulai mengayunkan sendok kopinya dengan kesal, sedangkan Calvin semakin tertawa melihat tingkah laku temannya.
"Nahh.... aku lebih suka dengan Ella yang seperti ini.. Sudahlah jangan menangis lagi, OK." Ucap Calvin.
"Hahh... apa? Jadi kau sengaja melakukan ini? Untunglah Calvin, aku pikir kau benar-benar akan menciumku.." Ella merasa lega, karena temannya hanya berkelakar saja.
Tangan Calvin mengepal dengan erat, ada perasaan kecewa ketika Ella berkata seperti itu. Tadi itu bukanlah sebuah gurauan, tadi itu memang adalah pernyataannya secara spontan.
Melihat Ella yang begitu sedih, ingin sekali Calvin memeluknya dan mengatakan bahwa ia bisa melindungi Ella. Tapi wanita itu, terus saja membentengi dirinya sendiri. Terlihat bahwa dia baik-baik saja, dan tidak membutuhkan pertolongan apapun.
"Calv?? Calvin... Ada apa dengan kau?"
Perkataan Ella membuyarkan lamunan Calvin, "Ahh... sorry... Jadi bagaimana dengan Sarah? Bukankah kau mengatakan akan bertemu dengannya?"
Ella pun mulai bercerita mengenai pertemuan tidak sengajanya dengan Sarah, ia juga cukup terkejut dengan Ron yang selama ini mengenal baik dengan Sarah.
Sama halnya dengan Sarah, Calvin pun dibuat terkejut dengan pertemuan antara Ella dan Sarah.
"Ternyata dunia semakin menjadi sempit." Ucap Calvin. "Jadi kapan kau akan bertemu dengannya?"
"Pekan ini aku akan bertemu dengan Sarah, aku berharap Sarah bisa memberikan banyak informasi mengenai ibuku." Sarah
Ella merenggangkan kedua tangannya, menatap jalanan luar dari balik kaca tembus pandang.
Coffe shop yang mereka singgahi, tampak sepi dan tidak terlalu banyak pengunjung. Pemilik restoran memutarkan beberapa lagu lama dari grup band The Beatles, Ella mulai menikmati alunan musik direstoran tersebut.
"Tidak percuma hari ini aku membolos, Nancy akan menggantungku besok." Gumam Ella.
ia menatap dari kejauhan seorang perempuan yang sedang bergandengan dengan ibunya. Anak perempuan dengan rambutnya yang dikuncir dua, menunjuk-nunjuk kearah toko gulali. Dari raut wajah ibunya, Ella bisa menebak ketidak setujuan ibunya untuk membelikan permen pada putrinya.
"Apa kau akan terus bertahan dengannya?" Tanya Calvin kembali.
"Alfred? Lagi-lagi kau bertanya mengenai ini.. Sudah kuputuskan aku akan tetap tinggal dengannya."
Calvin langsung terperanjat, mulai kesal dengan pertahanan temannya yang masih sulit untuk ia tembus.
"Tapi Ella, dengan apa yang sudah dilakukan oleh Alfred. Pria itu tidak pantas untuk kau pertahankan."
"Hei... tenanglah.." Ella memberikan sebuah senyuman, berusaha menenangkan Calvin yang sedang membara dengan kekesalan terhadap dirinya.
"Aku mengenal Alfred cukup baik, jauh sebelum ia bersikap seperti ini . Aku berusaha untuk memulai dan untuk mencoba mencintainya. Dan... untuk saat ini aku harus tetap berada disana Calv.."
"Tapi Ella, bagaimana kalau kau dalam bahaya nanti. Sebenarnya apa yang sedang kau pikirkan... TIDAK... Apa yang sedang kau rencanakan ELLA??" Protes Calvin kembali.
"Aku belum bisa menceritakannya kepadamu Calv, kumohon bersabarlah." Jawab Ella dengan sebuah senyuman, ia tahu Calvin masih saja ingin membalas ucapannya,
"Ahhh... gadis itu.." Ucap Ella riang, kembali memandangi dari kejauhan si gadis kecil dan ibunya yang baru saja keluar dari sebuah toko permen.
"Apa Ella? Gadis?" Calvin ikut memandangi apa yang sedang dilihat oleh Ella.
"Dia bisa membujuk ibunya untuk mendapatkan permen, apa kau lihat?" Ucap Ella seraya menunjuk kearah si gadis kecil dan ibunya,
"Dan itu yang akan aku lakukan pada Alfred." Lanjut Ella, lagi ia tersenyum dengan bertopang dagu. Sedangkan Calvin semakin cemas dengan apa yang sedang dipikirkan oleh Ella.