Sandra masuk ke dalam IGD dengan tergesa-gesa, didalam ia menemui dr. Reva dan keluarganya, ibu Diana, istrinya, serta Deva, anak tertuanya, Dera sendiri sedang berbaring ditempat tidur. Ibu Diana masih terisak-isak, dr. Reva masih berusaha menenangkannya. Tangisnya berhenti saat melihat Sandra,
"Dok, malam" sapa Sandra, tersenyum kepada dr. Reva dan keluarganya. Sandra langsung memeriksa Dera sambil menanyakan kejadiannya. Ternyata dia terlempar batu saat menunggu jemputan di dekat bimbingan belajarnya, kebetulan ada sekelompok pelajar yang sedang tawuran disana dan terjadilah lempar-lemparan batu. Setelah memeriksa dengan seksama, Sandra menjelaskan kalau mata Dera baik-baik saja kepada dr. Reva dan keluarganya. Sandra menginstruksikan beberapa terapi kepada perawat. Setelah selesai, ibu Diana langsung memegang lengan Sandra, tepat didaerah luka Sandra, yang membuat Sandra meringis kesakitan. Ibu Diana kaget saat melihat Sandra terlihat kesakitan.
"Lengannya kenapa dok?" tanyanya sambil mengamati lengan Sandra, dr. Reva ikut melihatnya. Sandra menarik pelan lengannya sambil menahan nyeri. Dia membuka mulut untuk menjawab, tiba-tiba ada seseorang yang menarik pelan lengannya.
"Aku yang nabrak tadi Tante, pas mau kesini," jelas lelaki yang sedari tadi berdiri dibelakang.
Sandra sedikit terkejut, dia pikir lelaki itu sudah pergi dari tadi. Tapi, Tante..siapa dia ya memanggil ibu Diana dengan Tante, tanya Sandra dalam hati.
"Ayo, ini mesti dijahit,", sang lelaki menarik Sandra menuju tempat tindakan bedah, ia menginstruksikan seorang perawat untuk mengambilkan hecting set (¹), dan mulai membersihkan luka di lutut Sandra.
Sandra masih bingung, "siapa ya dia ini, kenapa bisa menyuruh perawat disini dengan seenaknya, apa dia kerja disini?dia tampak kenal sekali dengan keluarga dr.Reva," berbagai pertanyaan muncul di benak Sandra, sambil menatap wajah lelaki itu.
"Saya Evan, keponakannya dr.Reva, saya baru pindah kesini, saya kerja di rumah sakit ini, saya dokter bedah," jelasnya, seolah tahu semua pertanyaan Sandra.
"Dokter bedah, kenapa aku ga tahu ya," pikirnya.
"Ini hari pertama saya kerja, mungkin kita belum pernah ketemu ya?" jelasnya lagi.
Sandra hanya mengangguk.
"Sandra, " ujarnya pelan,
Evan mulai menjahit luka di lutut Sandra, Sandra hanya diam memperhatikan semua gerakan Evan, "coba Lila disini, pasti dia heboh, dia ga akan tahan melihat ada dokter baru yang agak bening sedikit, pasti sudah dijodoh-jodohkan ke aku," pikir Sandra, sambil mengingat kejadian pagi tadi saat Lila mempromosikan Keenan, dia tersenyum sedikit. Senyumnya menghilang saat terdengar bunyi perutnya sendiri, Sandra dengan cepat memeluk perutnya.
"Aduh, malunya" batinnya. Sandra baru sadar kalau dia sama sekali belum makan apapun hingga malam ini, diliriknya jam di dinding ruangan itu, sudah hampir jam 9, pantas saja dia kelaparan.
Evan tersenyum kecil, tapi masih tetap fokus dengan pekerjaannya, sengaja ia pura-pura tidak mendengar suara itu. Selesai menjahit luka di lutut Sandra, Evan pamit pergi sebentar, lalu kembali lagi untuk merawat luka di lengan Sandra.
"Duduk seperti ini dulu ya," ujarnya sambil membantu memposisikan Sandra. Evan mengamati luka itu.
"Tidak perlu dijahit, dibersihkan saja ya," jelasnya. Sandra hanya mengangguk.
Setelah selesai, Evan membantu Sandra berdiri,
"Saya antar pulang ke rumah ya, sebentar saya ambil mobil ke depan IGD dulu, biar ga jauh jalannya", ujar Evan. Sandra menggeleng, dia teringat mobilnya masih diparkiran dekat apartemen Sena.
"Antar aja saya ke parkiran mobil saya tadi," pintanya,
Evan menggeleng,
"enggak," jawabnya langsung. Ia menatap Sandra sedikit kesal dan heran. Baru kali ini ada seorang wanita yang terus-terusan menolaknya.
Evan memegang tangan Sandra, berjalan menuju keluarga dr. Reva.
"Om, Tante, aku pamit dulu ya, mau antar dr. Sandra dulu ke rumah,"
Sandra sudah bersiap-siap untuk menolak Evan, tapi dr. Reva dan ibu Diana langsung mengangguk, mereka terlihat khawatir,
"Iya, hati-hati ya, kamu kalau nyetir jangan kencang-kencang, Van, untung aja dr. Sandra enggak luka parah," ibu Diana mengomeli Evan,
"Tunggu disini ya,",perintah Evan. Sandra terpaksa menuruti kemauan Evan.
"Nanti aku tinggal minta diantar ke parkiran apartemen bang Sena,"pikirnya.
Setelah masuk kedalam mobil, Sandra langsung meminta Evan mengantarkannya ke tempat mereka tabrakan.
"Dokter Evan, antarkan saya ke tempat tadi ya, besok saya ada operasi pagi, agak repot kalau tidak ada mobil," pintanya dengan hati-hati.
Evan hanya diam, dia tetap fokus menyetir. Tidak ada percakapan lagi setelah itu, sampai tiba-tiba Sandra menyadari Evan menuju arah rumahnya,
"Bagaimana lelaki ini bisa tahu rumah aku?" pikir Sandra, bingung,
"Silakan," ujar Evan setelah menepikan mobilnya tepat di depan rumah Sandra.
"Bagaimana dokter tahu rumah saya?" tanyanya penasaran.
Evan hanya tersenyum, dia membuka pintu mobilnya, segera berlari untuk membukakan pintu mobil Sandra. Dibantunya Sandra untuk keluar mobil, lalu dia mengambil dua bungkusan dari pintu belakang.
"Saya tadi tanya ke om dan Tante, karena pasti dokter nolak lagi kalau saya bilang, ya kan?" jelasnya.
"Ini ada obat untuk luka dokter, dan ini makan malam, saya enggak tahu makanan kesukaan dokter apa, tapi rasanya tidak ada yang menolak nasi goreng di cafe rumah sakit, katanya rasanya enak..dokter sepertinya belum makan malam, lagipula dokter harus makan sebelum makan obat," lanjutnya lagi.
"Terimakasih ya dok," jawab Sandra singkat, dia bingung harus berkata apa, terlebih lagi ternyata Evan sadar kalau dia kelaparan, sial sekali, kenapa ini perut harus berbunyi tadi, pikirnya.
Namun tindakan Evan menurutnya manis sekali, walaupun itu menunjukkan rasa bersalahnya, tapi tetap saja, manis sekali.
"Tidak perlu terimakasih, saya yang harus berterimakasih, karena dokter tidak memperpanjang masalah tabrakan ini," jawabnya.
"Kita sama-sama salah menurut saya. Salah saya juga tidak melihat jalan dengan benar, lagipula lukanya sudah ditangani.." ujar Sandra datar.
Evan tertawa kecil.
"Baru kali ini bantuan saya ditolak berkali-kali sama perempuan," ujarnya terus terang.
"Ohya, untuk mobil dokter, besok saya minta supir saya untuk mengambilkan ya, jangan khawatir,", Sandra sudah ingin menolak bantuan Evan,
"Saya pamit ya," lanjut Evan, tanpa memberi kesempatan Sandra untuk berbicara. Evan langsung masuk ke mobil, dan sebelum pergi meninggalkan Sandra, ia melambaikan tangan dari dalam mobil. Sandra masuk ke dalam rumah, dia melihat obat-obatan yang diberikan Evan lengkap dengan makan malamnya. Dia tersenyum..baru kali ini ada lelaki yang melakukan hal manis berturut-turut, pikirnya, tidak sadar dia tersenyum lagi.
"Ah..aku melantur sepertinya, " ujarnya pada diri sendiri.
Esok paginya, Sandra terkaget mendapati Evan sudah menunggu di parkiran depan rumahnya.
"Selamat pagi," sapanya,
Evan tampak tampan sekali dengan kemeja warna biru tua lengan panjang, digulung sampai siku dan celana kain berwarna gelap, rambutnya kini tersisir rapih. aroma parfum ikut mendukung penampilan tampannya hari ini.
"Pagi, dokter ada apa kesini?"
"Jeput dokter dong, dokter yang baik harus memberi pelayanan prima ke pasiennya, ", candanya yang membuat Sandra tersipu.
"Ayo masuk, kemarin kan dokter bilang ada operasi pagi, jadi saya tanya bagian penjadwalan dokter operasinya jam berapa, biar saya bisa jeput," jelasnya.
Sandra benar-benar tidak bisa berkata-kata, dia tidak menyangka Evan ingat semua kata-katanya kemarin. Sandra masuk ke dalam mobil mengikuti Evan, entah mengapa dia merasa berbunga-bunga. Pagi ini terasa menyenangkan.
ditunggu komentar..saran dan kritik nya ya..jangan lupa bintangnya..
semoga suka dengan ceritanya..