"Ya. Dari Salma. Dan bahkan ketika mulai pertama kalian saya pertemukan, ketika saya berjalan kebelakang mobil menutupkan bagase, saya sempat mendengar engkau setengah berbisik karena kaget menyebut nama Salma. Dan saya juga mendengar Salma memanggilmu "Uda". Saya gembira kalian saling kenal. Tapi saya jadi kaget takkala saya datang lagi ketempat kalian berdiri, kalian justru bersandiwara seperti tak saling kenal. Maka tak ada jalan lain yang bisa saya ambil selain mengikuti permainan kalian. Tidak, saya tidak berprasangka buruk. Engkau sahabatku. Salma isteriku. Dan kedua kalian sama-sama saya hormati. Sama-sama saya cintai. Saya menanti perkembangan. Dan malam harinya, Salma bercerita pada saya. Dia ceritakan segalanya. Saya jadi terharu…saya harus minta maaf padamu. Karena saya tak pernah menyangka, bahwa saya akan memperisteri gadis yang dicintai sahabat saya…"
Nurdin terhenti. Si Bungsu merasakan dirinya dibasahi peluh. Dia jadi pucat. Namun akhirnya menaik nafas dan menunduk. Dia jadi merasa sangat hormat pada Salma. Ternyata dia isteri yang jujur.
"Apa saja yang diceritakan Salma…?" tanyanya perlahan. Dia berharap, bahwa gadis itu hanya becerita garis besarnya saja.
"Dia menceritakan semuanya. Tentang pakaian dan perhiasan yang engkau berikan. Yang dia pakai malam itu. Saya yang menyuruhnya memakai pakaian itu. Bukan dengan niat menyiksamu. Tapi saya ingin melihat isteri saya menghargai pemberian orang yang pernah dia cintai. Dan dia juga bercerita tentang cincin ini…" Nurdin menunjuk pada cincin di jari manis si Bungsu.
"Cincin ini dia berikan sesaat sebelum engkau meninggalkannya dahulu bukan? Dan Salma juga mengakui dengan jujur, bahwa dia masih tetap mencintaimu. Sampai anak kami lahir. Saya tak merasa cemburu Bungsu. tidak. Saya malah merasa berdosa. Kalau saja dahulu saya tahu…"
Nurdin terhenti dan memandang laut. Si Bungsu menarik nafas panjang. Dia merasa bulu tengkuknya merinding. Ternyata tak ada lagi rahasia antara dia dengan Salma dimata sahabatnya ini.
Namun si Bungsu merasa lega. Sebab sebelum dia minta diri untuk pergi, dia telah ceritakan hal sebenarnya pada temannya ini. Kalau saja dia tak menceritakannya, tentu Nurdin akan berprasangka yang tidak-tidak selamanya.
Sebaliknya Nurdin benar-benar tidak berbohong ketika tadi dia berkata bahwa baik terhadap si Bungsu, maupun terhadap isterinya, dia sama-sama mencintainya.
Ucapan itu tidak sekedar pemanis. Itu memang keluar dari lubuk hatinya yang paling dalam. Dia memang mencintai isterinya itu sepenuh hati. Betapa dia takkan mencintainya, perempuan itu mencintai lelaki lain, namun itu adalah masa lalunya. Bukankah yang penting bukan masa lalu. Melainkan masa sekarang dan yang akan datang?
Nurdin berpendirian, dia tak kawin dengan masa lalu isterinya. Dia kawin dengan isterinya saat dia temui. Dan kalaupun isterinya punya masa lalu yang indah dengan lelaki lain, buat apa dia cemburui? Bukankah dia juga punya masa lalu yang indah dengan seorang dua gadis, yang tak sampai dia nikahi karena tak jodoh?Masih untung isterinya hanya punya masa lalu yang indah. Bagaimana kalau masa lalu isterinya adalah hitam dan berlumur dosa? Kalaupun hal itu terjadi, Nurdin tetaplah Nurdin. Dia adalah lelaki yang fragmatis. Dia akan tetap mencintai isterinya itu. Sebab, baginya memilih isteri bukan untuk menggali lagi masa lalu. Kalau lelaki telah memilih isteri, dan perempuan telah menetapkan seorang suami baginya, maka mereka hendaklah kawin secara utuh baik fisik maupun rohaninya.
Kalau masa lalu pasangannya indah, maka kewajibannya untuk berbuat lebih indah, atau sekurang-kurangnya sama indahnya dengan masa lalu isteri atau suaminya itu. Barangkali kadar keindahan dan kebahagian itu berbeda. Namun kebahagiaan bukankah tidak hanya berstandar pada materi?
Dan kalau masa lalu pasangannya hitam dan bernoda, maka dia hendaklah berusaha sekuat mungkin untuk membersihkannya. Itulah konsekuwensi sebuah pernikahan bagi Nurdin. Konsekuwensi logis dari sebuah pilihan.
Dan itulah yang dia lakukan terhadap isterinya. Yang kebetulan dalam hal ini adalah Salma. Perempuan yang punya masa lalu yang indah dengan seorang pemuda. Dan pemuda itu justru adalah si Bungsu. seorang lelaki yang telah bertanam budi padanya, pada perjuangan kemerdekaan dan pasukannya di Pekanbaru dahulu.
Dia memang mencintai kedua orang ini, seperti dia mencintai diri dan tugasnya. Nurdin memang tak munafik dalam hal ini. Dan dia tak khawatir bahwa Salma akan meninggalkan dirinya. Dia tak khawatir karena dia tahu akan kesetiaan perempuan itu. Selain itu, dia tak khawatir karena dia tahu bahwa dia telah berusaha sekuat dayanya untuk membahagiakan perempuan itu. Baik lahir maupun bathinnya. Dan dia juga tak khawatir karena dia orang yang beriman. Artinya, kalau Salma tetap juga meninggalkan dirinya, maka dia yakini hal itu semata karena Takdir!Dan siapa orangnya yang akan mampu menolak datangnya Takdir.
Demikian Nurdin berpendapat. Dalam hal ini, tentu saja si Bungsu jauh tertinggal. Sebab dia tak pernah sempat berfikir kesana. Selama ini dia hanya memikirkan bagaimana membalas dendamnya. Dan dia juga berfikir bagaimana menolong orang dari aniaya dan perbuatan sewenang-wenang pihak lain.
Dia lebih banyak memikirkan orang lain. Sehingga tak punya kesempatan untuk memikirkan dirinya sendiri. Dan ketika dia mulai memikirkan dirinya, ternyata dia dinanti oleh kekecewaan. Itulah dirinya kini. Seorang pahlawan samurai yang menundukkan puluhan ahli samurai lainnya. Seorang pahlawan dihati rakyat. Namun hidupnya sepi.
Dia tersadar ketika tangan Nurdin memegang tangannya di atas meja.
"Betapapun Bungsu, engkau tetap sahabat saya…dan tetap pulalah menjadi sahabat Salma.
Sebuah perkawinan hendaknya menjadi tali pengikat untuk memperbanyak kenalan, sanak famili dan keluarga. Perkawinan tidak menjadi kampak pemutus hubungan antara yang satu dengan yang lain. Barangkali ini mudah saya ucapkan, karena bukan saya yang disakiti. Melainkan engkau. Namun, demi Tuhan, kalaupun saya yang disakiti saya akan bersikap begitu….sekali lagi maafkan saya karena tak mengetahui bahwa engkau mencintai Salma. Dan tetaplah jadi sahabat kami…."
Dan Nurdin memang bersungguh. Kedua lelaki ini memang bukan sembarang lelaki. Banyak pertempuran telah mereka lalui. Bahkan sampai kini mereka juga sedang bertempur. Bertempur dengan perasaan. Dan justru terkadang pertempuran tanpa bedil inilah yang lebih berat.
Si Bungsu balas menggenggam tangan sahabatnya itu.
"Engkau banyak mengajar saya tentang hidup ini kawan. Insya Allah, dalam hidup saya tak pernah ada rasa benci dan dendam. Sedang pada orang lain saya mengalah. Apalagi pada seorang sahabat. Namun kepada engkau saya tak perlu mengalah Nurdin. Karena engkau tak pernah berbuat apa-apa menyakiti hatiku. Tentang Salma, bukankah itu soal takdir?
Saya bangga dia telah menceritakan segalanya padamu. Saya tahu sejak dulu, dia gadis yang jujur dan berhati mulia. Engkau adalah saudaraku. Dan dia juga"
"Terimakasih, sahabat…!"
Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Nurdin. Dan alangkah lega dan lapangnya perasaan mereka setelah itu.
Beberapa kelasi turun dari motor tempel ke dermaga. Beberapa perempuan mengikutinya. Ada Cina yang menanti di luar dermaga, kemudian masuk ke mobil yang menanti. Kapal-kapal berlabuh jauh dari dermaga. Membuang jangkar agak ditengah teluk. Kelasi yang turun naik ke kapal harus memakai sampan atau dengan motor tempel.
"Kita pulang…" kata Nurdin setelah melirik pada beberapa lelaki yang turun menggandeng beberapa perempuan muda. Si Bungsu tegak mengikuti Nurdin. Mereka memanggil sebuah taksi. Masuk, dan pulang!
Namun begitu taksi itu akan membelok keluar dari pelabuhan, serentetan tembakan bergema. Kaca samping taksi yang mereka tumpangi berderai hancur. Terdengar pekik tak menentu. Ada suara deru mesin mobil menjauh. Ada rintihan di samping si Bungsu, segalanya begitu cepat terjadi. Hampir-hampir tak ada waktu untuk berfikir. Dan si Bungsu merasakan darah meleleh di bahunya. Tapi dia yakin, darah itu bukan darahnya. Tatkala mobil itu tadi akan membalik, yaitu beberapa detik saja sebelum peluru memberondong, ada firasat tak sedap menyelusup ke hati si Bungsu. Naluri yang amat tajam terhadap bahaya yang mengancam, segera saja secara otomatis. Hanya saja, dalam mobil dengan Nurdin begini dia tak tahu bahaya apa yang akan menyerangnya. Perasaan tak sedap itu menyebabkan dia menoleh ke belakang. Ada sebuah mobil datang dari belakang. Firasatnya jua yang menyuruhnya untuk membungkuk.
Namun saat itulah berondongan peluru itu menghantam mobil mereka.
Dan dia tahu, darah yang membasahi bahunya adalah darah Nurdin. Dia Bangkit. Nurdin terkulai. Tubuhnya berlumur darah. Orang-orang di restoran dekat dermaga pada tegak kaget. Tak ada yang berani mendekat. Nampaknya mereka takut terlibat.
"Ke Konsulat….antarkan saya ke Konsulat Indonesia.." Nurdin berkata sambil tetap terguling di pangkuan si Bungsu. sopir taksi itu menjalankan taksinya.
"Apakah tidak ke hospital?" tanya sopir sambil melarikan mobil.
"Tidak. Ke Konsulat saja…" kata Nurdin terengah.
"Nurdin… ada apa..? si Bungsu yang memegang kepala temannya dipangkuannya itu bertanya kaget. Nurdin menghela nafas. Nampaknya dia sangat kesakitan.
"Kau…kau lihat perempuan dan Cina-cina yang turun dari kapal tadi..?" Nurdin balik bertanya sambil menahan rasa sakit.
Si Bungsu mengangguk. Dia ingat semuanya. Nurdin memegang bahu si Bungsu.
"Bungsu, dengarlah…." Dia coba mengumpulkan tenaga, "kalau nyawa saya tak bisa ditolong, ada dua hal yang saya minta engkau melakukannya untuk saya, Bungsu. maukah engkau…?"
Si Bungsu mengangguk. Dia tak perlu bertanya apa permintaan temannya itu. Apapun yang diminta sahabatnya ini pasti akan dia lakukan demi menyenangkan hatinya. Nurdin kelihatan agak lega melihat angguknya itu.
"Terimakasih. Saya senang engkau mau melakukannnya untuk saya. Pertama, engkau lindungi Salma dan anak saya. Hanya pada engkau mereka saya percayakan…." Nurdin terhenti, nampaknya dia berusaha mengumpulkan sisa tenaganya.
Mobil dilarikan kencang menuju konsulat Indonesia. Meliuk-liuk dan berusaha mencari jalan pendek. Namun pada saat itu, si Bungsu jadi kaget mendengar permintaan temannya itu. Tapi suara Nurdin segera memintas kekagetannya:
"Jangan menolak Bungsu. kalau engkau tidak mau menikahi Salma, maka anggaplah dia sebagai adikmu. Namun percayalah, aku akan sangat berterima kasih, kalau engkau mau menikahinya. Percayalah, dia seorang perempuan berhati mulia…. Dan, permintaanku yang kedua, ini sebenarnya bukan tugasmu, … ini merupakan tugas konsulat dan pemerintah Indonesia…"
Nurdin terhenti lagi. Agak lama baru dia menyambung.
"Saya sengaja membawamu ke daerah pelabuhan itu tadi, dan saya sengaja tak memakai mobil konsulat, sebab kedatangan kita kesana merupakan rangkaian tugas rahasia.
Perempuan-perempuan Indonesia yang kau lihat turun dari kapal tadi Bungsu, adalah perempuan-perempuan yang diselundupkan dari Indonesia. Dan Cina-Cina yang menyertai mereka, adalah agen-agennya. Ada sebuah sindikat Internasional yang mengorganisir perdagangan wanita-wanita. Yang juga melakukan jual beli wanita dari Indonesia. Bungsu, sudah setahun kami mengintai langkah mereka. Jakarta telah berkali-kali mengintai, tapi mereka selalu lolos.
Dan saya sudah hampir bisa mencium jejak mereka di Singapura ini. Namun datanya belum saya kirim ke Jakarta. Bungsu, padamu saya minta tolong, kalau engkau ke Jakarta, bawa dokumen tentang sindikat itu. Saya bukan tak percaya pada beberapa petugas di Konsulat Indonesia disini, namun saya lebih percaya padamu. Saya yakin, dokumen rahasia itu akan aman di tanganmu. Bungsu, jangan sampai orang di konsulat tahu, bahwa dokumen itu ada padamu….minta dokumen itu pada….pada Salma…" suara Nurdin lenyap.
"Nurdin…!"
Tak ada jawaban.
"Nurdin!" si Bungsu mengguncang bahu Letnan Kolonel itu. Namun tubuhnya tak bergerak.
Saat itu sedan membuat tikungan tajam. Kemudian berhenti mendadak.