Sang Ratu memberi perintah pada para bawahannya sebelum berjalan ke tangga di belakang singgasana.
"Melty... Aku pergi."
"Oh, um... Baik."
Melty menatapku sebelum menjawab.
"Terimakasih sudah melindungiku...."
Dia melanjutkan, tapi dia berkata sangat pelan hingga hampir seperti bisikan. Mungkinkah dia mengatakan, "Maaf karena gak jadi diriku sendiri"?
Aku nggak tuli... tapi dia harus lebih keras. Jadi aku menyuruh dia mengatakannya lagi.
"Huh? Apa itu?"
"Haaaah. Kalau aku terus bersamamu, aku gak akan pernah aman—jadi ini melegakan."
"Apaan itu?"
Dia pikir dia itu siapa? Oh ya... seorang Putri.
Melty berpaling pada Raphtalia.
"Woi, jangan abaikan aku!"
"Nona Raphtalia. Terimakasih sudah melindungi aku. Aku akan berkerja bersama bunda untuk melakukan apapun yang kami bisa untuk membangun kembali desamu. Harap nantikan itu."
"Ya. Terimakasih."
"Sepanjang waktu aku bepergian bersamamu, aku sangat memikirkan bahwa aku ingin negeri ini menjadi tempat yang aman untuk ditinggali manusia dan demi-human. Aku akan merubahnya. Aku janji."
"Woi, aku belum selesai bicara! Melty!"
"Naofumi—bisa diam tidak, kau berisik sekali."
Apa-apaan itu? Sebelum aku bisa balas teriak, dia sudah menghadap Filo. Aku tetap diam.
....Karena Melty yang berkehendak kuat sudah meneteskan air mata.
"Ada ap, Mel?! Apa kamu sakit?"
"Tidak sungguh... Tidak, aku baik-baik saja—jadi jangan kuatir padaku, Filo. Hei, Filo. Aku gak bisa... Aku gak bisa bersamamu lagi."
"Apa kamu mau pergi ke suatu tempat, Mel?"
Filo tau ada sesuatu yang salah. Dia memasang wajah sedih.
"Melty tinggal di dunia yang berbeda dari kita. Dia gak bisa terus ikut kita seperti sebelumnya."
Kami gak bisa mengajak ratu masa depan untuk berpetualang bersama kami.
"Apa itu benar?"
Filo tampak seperti dia mau menangis juga.
"...Ya."
"Kita gak bisa berjumpa lagi?"
"Tidak, kita akan berjumpa lagi kapanpun. Tapi aku gak bisa ikut bersamamu lagi."
Melty berbalik untuk menatap ratu.
Sang ratu mengangguk dalam diam.
"Jadi... kita berpisah?"
"Ya. Tapi, Filo, aku bisa bertemu kamu kapanpun kamu datang ke istana."
Suara Melty bergetar saat dia berbicara.
Melty betul-betul terpengaruh oleh perjalanan kami. Segalanya berubah setelah kami bertemu.
"Tidak! Aku... Aku mau bersama Mel! Master!"
"Kau mendapatkan apa yang awalnya kau inginkan. Melty aman. Kau gak boleh meminta lebih dari itu."
"Tapi...!"
"Filo, kami gak boleh egois."
"U....."
Filo menggosokkan tangannya, sangat marah. Melty memegang tangannya.
"Aku tau memang tidak lama... tapi aku gak tau. Aku merasa seperti aku sudah lama mengenalmu."
"Mel...."
"Aku sangat sedih meninggalkanmu, Filo. Tapi ada sangat banyak hal yang menunggumu yang hanya kamu yang bisa melakukannya. Dan begitu juga aku, ada hal-hal yang menungguku disini, hal yang cuma aku yang bisa melakukannya."
"Tapi... tapi aku ingin bersamamu, Mel! Huwa....."
"Filo."
Filo mulai menangis, dan Melty mengulurkan tangan untuk menyentuh wajahnya.
"Tidak apa-apa. Kalau kamu ingin bertemu aku, aku ada disini. Aku akan menunggumu, Filo, karena kamu adalah temanku. Sahabatku!"
"Meski kita tidak bersama, kamu akan selalu jadi temanku, kan?"
"Tentu saja! Tak peduli kemana kita pergi, aku akan selalu jadi temanmu."
"Janji?"
"Janji."
Kami bepergian bersama untuk waktu yang lama, tapi Filo dan Melty telah betul-betul dekat. Pada awalnya, Filo itu egois dan rakus. Tapi Melty telah mengajari dia apa itu persahabatan—ada untuk orang lain.
Filo telah mendapatkan seorang teman baik—inilah persahabatan.
Aku memutuskan bahwa, saat gelombang telah usai dan menghilangkan. Aku akan memberikan Filo pada Melty.
Melty akan memperlakukan dia dengan baik, dan aku tau bahwa Filo akan baik untuk Melty juga.
Mereka berdua adalah teman baik.
Kami melihat mereka berdua mengucap perpisahan, lalu Raphtalia meraih tanganku dan menggenggamnya.
Aku tidak mengatakan apa-apa, tapi aku menggenggam balik tangannya. Segalanya berjalan dengan baik.
Aku merasa seperti aku akhirnya sampai di titik permulaan.
Kalau dipikir lagi, setelah aku difitnah, dikucilkan, dan didiskriminasi... gak ada yang berjalan baik padaku.
Tapi semuanya telah berubah.
Aku akan sama seperti para pahlawan lain... atau malah lebih baik.
Dan musuhku yang perlu dikuatirkan sudah berkurang satu. Tapi musuh utamanya tetaplah gelombang, dan itu sama sekali gak berubah.
Tetap saja, aku harus percaya bahwa segalanya telah lebih baik daripada yang sebelumnya. Aku ingin mempercayai bahwa itu lebih baik.
"Yah....."
—Aku mempercayainya.
Menatap teman-temanku, aku mempercayainya
***