Satu hari terlewati seperti sebuah mimpi, dan nggak lama setelah itu, malam datang. Raphtalia, Filo dan Melty tidur di sebuah sarang besar yang dipersiapkan para Filolial untuk mereka.
Sama seperti malam kemarin, Fitoria tetap bangun untuk berbicara denganku empat mata.
"Apa yang mau dibicarakan?"
"Tentang apa yang kita bicarakan kemarin malam..."
"Sialan, kau sungguh keras kepala. Apa yang mustahil tetaplah mustahil."
Pagi tadi dia serius mencoba membunuh kami. Aku sadar bahwa berkat upaya Filo kami bisa selamat.
Tapi kenapa dia begitu kuat? Gimana caranya dia menjadi sekuat itu hingga bisa mempermainkan Filo seperti sebuah boneka? Dia cukup kuat untuk menghadapi keempat pahlawan sekaligus.
"Apa kau benar-benar... mencoba berteman dengan mereka? Apa kau mencobanya?"
Aku nggak segera menjawab. Kalau aku nggak memikirkan jawabanku, dia mungkin akan membunuhku.
Motoyasu sudah jelas memusuhiku. Aku nggak yakin apa yang dipikirkan Ren atau Itsuki.
Sejak kami kabur membawa Melty, kami belum bertemu lagi.
Gak mungkin aku tau dimana mereka berada, tapi aku ingat bahwa saat terakhir kali kami meninggalkan mereka, mereka tampaknya mulai curiga tentang apa yang dituduhkan padaku.
"Apa kau pernah mencoba membersihkan namamu?"
Dia menyadari bahwa aku nggak betul-betul melakukan sesuatu.
Terutama mengenai tuduhan pemerkosaan yang dibuat Lonte itu, aku lebih memprioritaskan kemarahanku karena aku betul-betul yakin nggak ada peluang seseorang akan mempercayai aku.
Aku memberitahu mereka bahwa aku difitnah, dan mereka gak mempercayai aku. Itu sebabnya aku nggak mempercayai mereka. Tapi kalau aku bisa menunjukkan bukti, akankah mereka mengubah pikiran mereka?
Kami nggak cukup dekat untuk duduk berbicara. Mereka tau segala sesuatu tentang dunia ini, dan mereka tau bahwa aku gak tau apa-apa—tapi mereka tetap membiarkan aku sendiri dan nggak berupaya untuk menolongku. Kenapa aku harus mendatangi mereka?
Yang mereka mau cuma bermain di dunia mereka dan bertindak kejam.
Mana bisa aku tau apa yang mereka pikirkan?
Aku memikirkannya sebelumnya. Aku mencoba membayangkan apa yang Ren pikirkan.
Dia tau bahwa semua orang panik karena aku dituduh memperkosa Lonte itu. Ren gak tau banyak soal si Lonte, tapi dia tau kalau Lonte itu cantik.
Siapa yang harus dia percayai? Pria yang dituduh atas kejahatan itu, atau wanita yang menyatakan sebagai korbannya?
Kalau aku jadi dia, dan aku nggak betul-betul tau apapun tentang masing-masing dari mereka, aku akan memihak wanita yang menyatakan sebagai korbannya.
Itu adalah hal yang serupa dengan yang kudengar saat di dunia asalku. Suatu ketika di kereta, seorang wanita memegang lengan seorang pria dan berteriak, "Pria ini menyentuhku!"
Meskipun pria itu nggak menyentuh si wanita, semua orang yang ada di kereta akan segera menatap dia dengan tatapan lain, curiga. Meski dia bisa membuktikan bahwa dia difitnah, posisi sosial pria itu akan selamanya rusak.
Apa yang Lonte itu lakukan padaku adalah hal yang serupa dengan itu.
"Haaaaa....."
Kemarahanku mulai mereda, meski cuma sedikit.
Sama seperti aku gak tau apa-apa tentang Ren atau Itsuki, mereka juga gak tau apa-apa tentang aku. Begitu pula dengan Motoyasu.
Yah, Motoyasu jelas-jelas cuma mikirin perempuan.
Aku merasa seperti aku menyadari sesuatu yang penting.
Kalau Ren dan yang lainnya memahami apa yang telah terjadi, maka itu mungkin layak untuk dicoba dan berbicara dengan mereka. Kalau kami bertemu lagi.
Yah, aku akan mencoba berbicara kalau aku ketemu mereka.
Kalau semuanya berjalan baik, kami mungkin bisa menghasilkan sedikit perubahan.
Tentu saja, perubahan akan mustahil sampai Lonte dan Sampah itu dihukum.
"Apa kau ingat pembicaraan kita yang sebelumnya? Kemana aku harus membawamu setelah kita meninggalkan tempat ini?"
"Ya."
"Aku berencana untuk mengantarmu ke suatu tempat yang tidak jauh dari para Pahlawan Suci."
"Kau ikut juga, kan?"
Kalau dia sekuat ini, dia mungkin bisa meluruskan kesalahpahaman.
Prioritas utamanya adalah bahwa para pahlawan harus bekerja sama. Mempertimbangkan itu, sepertinya itu adalah sebuah permintaan yang wajar.
"Aku gak akan mengganggu urusanmu lagi. Tunjukkan padaku kalau ada alasan buatku untuk peduli padamu."
"Egois sekali."
"Itulah masalahnya. Aku belum menemukan suatu alasan untuk menghargai para Pahlawan saat ini. Satu-satunya dari kalian yang sudah kutemui yang memiliki potensi adalah Filo. Buktikan kalau aku salah."
Dia jelas-jelas menganggap dirinya sendiri diatasku, tapi kalau dia berpikir bahwa dia melakukannya demi kebaikan dunia, maka dia mungkin betul-betul membunuh para pahlawan karena pertikaian mereka.
Aku nggak betul-betul bisa mengatakan dia salah.
Tapi aku masih punya perasaan bahwa dia mungkin akan menyelamatkan dunia dengan menghabisi orang-orang yang saling bertikai.
Sebenarnya mungkin aku— atau bukan aku, tapi kami... para pahlawan... mungkin kami salah tentang seberapa serius ancaman tersebut.
"Selain itu, aku punya banyak hal yang membuatku selalu sibuk."
"Misalnya?"
"Seperti menyelamatkan dunia dari gelombang. Gelombang gak cuma datang ke tempat-tempat dimana manusia tinggal."
"Apa ada jam pasir selain ditempat yang dihuni manusia?"
Fitoria mengangguk. Lebih baik aku nggak tau itu. Jadi bukan cuma peradaban manusia yang terancam?
"Aku bertugas di area-area itu. Aku akan senang kalau kau membantuku, tapi kau harus menjadi lebih kuat terlebih dulu."
Jadi maksud dia adalah bahwa dia rela repot-repot menemui kami dan menguji kami... ketika dia punya waktu.
Dia ingin mengetahui apakah kami cukup kuat untuk menghadapi apa yang akan datang. Kalau kami gak cukup kuat, dia akan membunuh kami.
"Jika kau bisa, cobalah berbicara dengan mereka. Dunia tak punya waktu untuk pertengkaran kecil dari para Pahlawan."
"Kau membuatnya terdengar seperti para pahlawan selalu bertengkar."
"Aku sudah melihatnya berkali-kali."
"Baik. Yang perlu kulakukan adalah memperbaiki hubungan, kan?"
"Ada lagi."
"Apa?"
"Meski satu dari para Pahlawan tidak ada saat gelombang datang, gelombangnya akan semakin kuat. Jika itu terjadi, maka para Pahlawan harus dibunuh agar Pahlawan baru bisa dipanggil. Itu dilakukan demi dunia."
Sialan.... Aku gak mau tau itu juga. Itu artinya bahwa bahayanya akan semakin buruk kalau ada salah satu pahlawan yang tewas.
Tapi kalau semua pahlawan terbunuh, maka para pahlawan baru bisa dipanggil. Apa-apaan itu.
Dia menyuruh kami untuk akur dan bekerja sama. Tapi kalau kami nggak melakukannya, dia akan membunuh kami.
Filolial Queen ini betul-betul tau caranya memberi perintah yang menjengkelkan.
Aku sedang berpikir secara mendalam selama beberapa saat, jadi Fitoria berdiri dan menoleh padaku.
"Aku tidak tau berapa banyak gelombang yang akan terjadi. Tapi akan ada waktu saatnya dimana semua kehidupan di dunia akan dipaksa untuk mengorbankan sesuatu yang besar."
"..."
"Pada saat itu para Pahlawan akan dipaksa mengambil keputusan. Aku akan menunggumu sampai saat itu."
"Keputusan?"
"Apakah kau akan bertarung demi dunia atau demi orang-orang. Jika kau tidak bisa akur dengan para Pahlawan yang lain dan mengabaikan tujuanmu, maka setidaknya bertahanlah hidup sampai saat itu. Jika kau memilih bertarung demi dunia, kau akan diharuskan membuat pengorbanan besar, tapi kau akan bisa memenuhi tujuanmu."
"Apa yang terjadi kalau aku memilih bertarung demi orang-orang?"
"Itu adalah sebuah jalur yang berat. Para Pahlawan di masa lalu menginginkan hal itu. Tetapi itu tak lagi bisa dilakukan. Itu adalah sebuah jalan dimana kau tidak bisa berjalan sendirian. Kau tak akan pernah berhasil."
"Hmmm.... Seberapa banyak yang kau ketahui? Katakan padaku segalanya."
"Aku sudah banyak yang lupa. Tapi aku ingat satu hal. Menyelamatkan dunia dan menyelamatkan umat manusia bukanlah hal yang sama."
Dunia dan penduduknya itu berbeda.
Dari cara dia mengatakannya, sudah jelas bahwa dia berada di pihak dunia. Dia nampaknya sangat acuh dengan apa yang terjadi dengan manusia. Maka apa maksudnya bertarung demi dunia? Aku tau yang dia maksudkan adalah melawan gelombang, tapi aku nggak bisa memahami sisanya.
Terlepas dari itu, ada saat ketika dia ingin bertemu kami lagi.
Itu mungkin setelah gelombang terakhir. Aku bertanya-tanya...apa yang harus kupilih?
Meskipun itu demi orang-orang, kalau aku bisa melakukan sesuatu untuk melindungi Raphtalia dan yang lainnya, aku mungkin akan memilih menolong orang.
"Jadi, tolong cobalah akur dengan para Pahlawan yang lain."
"Aku cuma bisa bilang aku akan mencobanya. Aku nggak tau bagaimana mereka akan bereaksi, tapi kau memberi kami hadiah-hadiah itu. Setidaknya aku akan berusaha."
Dia memberi Filo mahkota, dan memberiku sebuah perisai. Aku yang harus menurut.
"Kau melewati ujian. Aku punya harapan yang lebih besar padamu daripada para Pahlawan lain."
"Kenapa?"
"Pahlawan Perisai yang membesarkan Filolial Queen yang baru tidak mungkin orang yang jahat."
"Sayangnya aku orang yang buruk."
Aku mengatakannya tanpa berpikir.
Maksudku... Aku membeli seorang gadis kecil sebagai seorang budak dan memaksa dia bertarung demi aku.
Pastinya aku bukanlah orang yang baik.
"....."
Fitoria menatap langit dan menghela nafas dalam-dalam.
"Pikirkan apa yang kau mau untuk saat ini. Namun jangan lupa bahwa kita terhubung melalui Filo."
Kalau Filo gagal melewati ujiannya.... dia akan membunuhku.
Dia sangat mampu melakukannya. Terlebih lagi aku terluka.
"Baik."
"Pahlawan Perisai, kurasa kau memiliki kekuatan untuk memperbaiki hal dengan para Pahlawan lain. Dan sejujurnya... mereka hanya terlalu lemah. Dengan keadaan sekarang ini, aku tidak akan ikut campur. Kau harus mengurusnya sendiri."
"Apa itu begitu susahnya?"
"Memang. Dan kalau kau harus menggunakan Perisai itu..."
Fitoria mengulurkan tangannya ke arah armorku.
Aku tiba-tiba merasa lebih ringan.
Inti naga yang dimasukkan kedalam Barbarian Armor-ku sepertinya berubah. Sekarang itu tampak seperti sebuah simbol Taoist ying-yang.
Barbarian Armor +1 (Perlindungan Dewa Burung)
defense up
resistensi benturan (medium)
resistensi api (besar)
resistensi angin (besar)
resistensi bayangan (besar)
pemulihan HP (sangat kecil)
magic up (medium)
agility up (medium)
pembentukan pertahanan sihir
resistensi kontaminasi spiritual
pemulihan otomatis
"Apa ini?"
"Itu akan membantumu menahan Rangkaian Terkutuk. Tetap saja, itu tidak akan membuatmu sepenuhnya aman.... Jangan gunakan Perisai itu jika kau bisa menghindarinya."
"Akan kulakukan apa yang aku bisa, tapi kau nggak harus menahan nafasmu. Tentang ini ataupun tentang berdamai dengan para pahlawan lain."
"Tolong usahakan...."
Fitoria mengeluarkan senyum yang paling tulus yang pernah kulihat saat dia mendekat dan bersandar padaku.
"Kau berat. Menjauhlah."
Tapi Fitoria nggak menunjukkan tanda-tanda menjauh.
"..."
Dia terus bersandar padaku dalam diam.
Apa yang dia lakukan? Dia terlihat seperti anak kecil yang hendak menangis.
Kenapa? Itulah pikiran pertamaku. Kenapa? Apa yang dia mau?
Lalu aku terpikir alasan-alasan. Dia bilang bahwa seorang pahlawan lah yang membesarkan dia.
Dimana pahlawan itu sekarang? Entah dia telah kembali ke dunia asalnya, atau dia sudah lama tewas.
Apa dia menganggap aku seperti orang tua barunya sekarang? Apa dia melihat pahlawan lama-nya dalam diriku.
Gak ada yang bisa ku perbuat tentang itu.
Aku menempatkan tanganku pada kepalanya. Saat aku melakukannya, dia membenamkan kepalanya pada bahuku dan memelukku.
Sepertinya satu-satunya alasan dia harus terus bertahan adalah janji yang dia buat dengan sang pahlawan di masa lalu. Apa itu yang dia lakukan?
Dia berjanji untuk melindungi dunia. Berapa tahun lamanya dia melakukannya?
Kalau berpikir tentang beberapa lama dia berjuang demi dunia, aku merasa setidaknya yang bisa kulakukan adalah menerima permintaannya.
Di sepanjang hidupnya, berapa banyak orang yang dia temui dan bekerjasama dengan dia? Di dunia ini? Dia pasti sudah berkali-kali mengalami kekecewaan dan keputusasaan. Apa itu sebabnya dia nggak mempercayai siapapun selain para pahlawan?
Dia adalah seorang cewek yang agak kikuk. Dia sangat kuat, namun itu kemungkinan karena dia berusaha begitu keras.
Saat seorang gadis kecil memintamu melakukan sesuatu, sangat sulit untuk bilang tidak.
Aku akan melakukan apa yang aku bisa.
Pada akhirnya nafas Fitoria menjadi semakin dalam, dan aku menyadari dia sudah tertidur di bahuku. Dengkurannya terdengar persis seperti dengkuran Filo.
Suatu hari nanti, setelah aku pergi, akankah Filo bersandar pada bahu pahlawan lain dan tertidur? Saat aku berpikir tentang hal itu, kelopak mataku semakin berat, dan gak lama aku juga tertidur.
* * * * *
"Makasih banyak!"
Melty dan Filo melambaikan tangannya dengan riang.
Pagi menjelang, dan Fitoria mengatakan bahwa itu mungkin sudah saatnya kami melanjutkan perjalanan. Dia memberi isyarat pada kami agar naik ke kereta.
Setelah kami semua naik ke kereta, Fitoria menteleport kami kembali ke tempat dimana kami bertarung melawan Tyrant Dragon Rex, dan kami semua turun dari kereta. Apa para pahlawan lain ada didekat sini?
"Apa para pahlawan lain ada disuatu tempat dekat sini?"
"Aku merasakan adanya reaksi dari sekitar sini..."
Fitoria menatap kereta. Ini bukanlah tanda-tanda yang bagus.
Beberapa saat berlalu. Lalu Fitoria berubah ke wujud Filolial normalnya kemudian mengangkat sayapnya dan pergi.
"Itu adalah sebuah pengalaman yang menarik, kan, Tuan Naofumi?"
"Memang. Baiklah, Filo..."
"Uh huh?"
Oh, aku lupa menyebutkan bahwa Fitoria memberi Filo sebuah hadiah perpisahan.
Itu adalah sebuah kereta baru. Kereta itu terbuat dari kayu, meskipun kualitasnya tidaklah sangat bagus.
Segalanya menjadi betul-betul rumit. Kenapa dia memberi begitu banyak beban pada pundakku?
Filo Lebih suka kereta yang kubeli, tapi sudah gak ada pilihan lain selain terima apa adanya.
Filo berubah ke wujud Filolial Queen dan mulai menarik kereta.
"Ayo berangkat!"
"Oke!"
"Ya!"
"Kita bisa melakukannya, kan Filo?!"
Kami sudah jauh melenceng dari jalur, tapi kami sudah kembali ke jalan yang benar sekarang. Kami menuju ke perbatasan barat daya.
"Aku gak nyangka akan sampai sejauh ini..."
Kami sampai di perbatasan. Dari tempat kami berada, kami bisa melihat bangunan kecil yang seperti benteng dimana para penjaga mengawasi perbatasan sambil berpatroli di atapnya.
Nggak cukup banyak orang yang melintasi perbatasan, dan ada para penjaga yang memeriksa isi dari kereta-kereta.
"Sialan. Mereka terus mengawasi dengan ketat."
"Karena mereka mencari kita, kan? Setidaknya jumlah penjaganya lebih sedikit daripada yang ada di perbatasan timur laut."
"Memang benar...."
Motoyasu berdiri di dekat perlintasan perbatasan. Iblis maniak api juga ada bersama dia.
Aku berharap Motoyasu pergi ke tempat lain. Dia betul-betul gak pernah mau mendengarkan aku.
Atau begitulah yang kupikirkan, lalu kata-kata Fitoria terngiang kembali. Mungkinkah itu adalah asumsiku sendiri yang mencegah kami dari berdamai?
Terlepas dari itu, Lonte itu juga ada disana—dan gak mungkin dia akan mendengarkan aku.
Aku menaruh harapan kecil bahwa mereka mungkin akan mendengarkan Filo, Melty atau Raphtalia.
Kalau kami mencari perlintasan lain sekarang, itu akan membuat kami berkeliaran selama setidaknya beberapa hari. Dan selain itu, gunakan kami tepat berada didepan kami.
Masalah utamanya adalah Motoyasu. Kami lah yang palinh banyak bertikai sampai sejauh ini. Kalau dia nggak mendengarkan apa yang harus kami katakan, maka kami janua harus menerobos.
Betul—kami hanya perlu menerobos.
"Melty, tujuan kita ada disini. Kita harus menerobos, apapun yang terjadi. Meski begitu, aku akan mencoba berbicara pada Motoyasu."
Aku tau kalau Melty memiliki semacam sifat yang histerik, tapi itu penting untuk memastikan bahwa kami semua sepaham dan sepemikiran.
"Oke."
"Huh? Apa itu?"
"Apanya yang apa?"
"Kupikir kau akan bilang padaku untuk nggak melakukannya karena itu akan membuat kita terlihat jahat."
"..."
Dia berpaling dan menghela nafas karena frustasi.
"Kalau negeri ini berperilaku begitu gegagah, maka perlakukan kasar diperlukan."
Aku tau apa yang dia maksudkan. Dia berpikir tentang bangsawan yang sangat menginginkan kami mati sampai-sampai dia melepaskan segel dari seekor monster kuno. Dia membakar wilayahnya sendiri untuk menghabisi kami.
Melty penuh tekad. Itu bagus.
Memaksakan melintasi perbatasan mungkin akan menghasilkan kehancuran yang lebih sedikit daripada terus-terusan kabur.
"Baiklah. Ayo bergerak! Apa kalian siap?"
"Pasti."
"Yup!"
"Waktunya beraksi."
"Baiklah!"
Aku mengangkat tanganku, dan Filo mencondongkan badannya ke depan, berlari dengan kecepatan penuh sambil menarik kereta.
Kami berlari lurus kearah perlintasan perbatasan.
"Itu si Iblis Perisai!"
Sapaannya semacam itu...
Aku berencana untuk berkompromi dan mencoba membicarakan semuanya. Dan begini cara mereka menyapa?
Aku mempertimbangkan kembali pendekatanku setelah membicarakannya dengan Fitoria. Tapi apa aku salah?
"Berhenti!"
Sebelum perlintasannya, terdapat semacam tikar yang digelar. Tikar itu dipenuhi dengan paku-paku yang berdiri. Kereta kami gak akan bisa melewatinya.
Tapi Filo gak menunjukkan tanda-tanda melambat.
"Mereka datang!"
Motoyasu mengacungkan tombaknya ke arah kami.
Dia adalah pecinta wanita. Dia nggak akan menyerang Filo menggunakan tombaknya... kan?
Tombak miliknya mulai bersinar.
"Myne!"
"Oke!"
Lonte itu mulai merapal sebuah mantra.
"Zweite Fire!"
"Air Strike Javelin! Dan...."
Saat Myne selesai merapal mantranya, Motoyasu mengangkat tombaknya yang bersinar dan melemparkannya kearah kami.
"Skill Kombo, Air Strike Fire Lance!"
Sebuah tombak yang terbuat dari api terbang ke arah kami.
Sial!
Aku segera melompat ke punggung Filo dan milai menhekuaykan skill milikku sendiri.
"Air Strike Shield! Second Shield!"
Dia Air Strike Shield muncul di udara dan menghentikan tombak api milik Motoyasu.
Tapi perisai-perisai itu gak mampu sepenuhnya menghentikannya. Tombak itu memantul dan terus terbang ke arah kereta. Filo melompat menjauh dari kereta untuk menghindarinya. Aku berbalik dan melihat Raphtalia dan Melty berpegangan tangan dan melompat dari kereta tepat waktu.
Apa Motoyasu mengeluarkan skill-skill pada kami tanpa ragu-ragu sekarang?
Selain itu, apaan itu? Sihir dan skill bisa digabungkan menjadi skill kombo?
Kurasa begitu. Itu seperti pedang sihir.
Apa dia menahan diri sepanjang waktu ini? Apa itu sebabnya mereka gak menggunakannya sampai sekarang?
"Apa yang lu lakuin?!"
Aku berencana mencoba berbicara dengan dia sebelum kami kabur, tapi dia cuma berlari dan mulai menyerang kami.
"Myne!"
"Aku tau!"
Putri Lonte itu menatap para prajurit.
Saat dia melakukannya, sebuah sangkar sihir terbuat dari energi mulai berderak dan berdesir, muncul disekitar kami.
"Apa?!"
"Apa.... Apa ini?!"
"Apa yang terjadi?"
Sangkar itu sangat besar, panjangnya sekitar 40 meter. Sangkar itu tampak terbuat dari listrik.
Apa itu.... sihir? Ataukah itu terbuat dari sesuatu yang lain?
"Akhirnya kami bisa nemuin elu, Naofumi. Kali ini lu gak akan bisa lolos."
"Motoyasu....."
Dia menatap kami, terlihat sangat songong.
Apa maksudnya itu? Sikap masa bodo-nya yang biasanya sudah hilang.
"Naofumi, ini adalah perangkat sihir bernana Lightning Cage."
Melty menatap sangkar itu dan menjelaskan fungsinya.
"Itu adalah sebuah perangkap yang dipasang di area tertentu. Itu dirancang untuk menjebak para wizard dan para pengguna sihir."
"Untuk para wizard? Apa gunanya?"
"Itu dimaksudkan untuk mengurung targetnya didalam."
Sekarang itu masuk akal. Mereka sudah melihat kami melarikan diri menggunakan kecepatan Filo sebelumnya, jadi mereka ingin bertarung di area yang sepenuhnya tertutup.
"Aku bisa menghancurkannya, tapi itu butuh waktu."
"Gimana cara normal untuk keluar dari kurungan ini?"
"Kau membutuhkan kunci dari orang yang memasangnya."
Aku turun dari punggung Filo dan menatap Motoyasu.
"Apa kamu akan bertarung?"
"Yah aku ingin membiarkan sesuatu terlebih dahulu. Tapi kayaknya pertarungan sudah gak bisa dihindari lagi."
Raphtalia menghunus pedangnya.
"Raphtalia, kamu fokus saja pada pertahanan. Menjauhlah kalau kamu bisa."
"Tapi aku...."
"Aku ikut bertarung?"
"Ya. Kalau memang sudah gak bisa dihindari."
Motoyasu lemah terhadap cewek-cewek cantik. Dia akan menyerang tanpa ragu-ragu, tapi aku akan mengasumsikan bahwa dia berpikir kami menghindarinya.
"Melty, bisakah kau fokus pada menghancurkan kurungannya?"
"Aku akan mencobanya.... tapi aku nggak bisa janji."
"Baiklah kalau begitu—Raphtalia, kamu fokus melindungi Melty saat dia mencoba menghancurkan kurungannya."
"Baik!"
Setelah aku selesai menetapkan peran mereka masing-masing, aku berjalan kearah Motoyasu.
"Motoyasu, dengerin gue."
Itu mungkin karena percakapanku dengan Fitoria, tapi aku mulai mencurigai bahwa Motoyasu sudah ditipu oleh Lonte itu.
Kalau nggak begitu, maka dia nggak akan repot-repot mencoba menyelamatkan Raphtalia dariku.
Dia mungkin agak lola, tapi untuk saat ini aku akan menganggap bahwa dia nggak betul-betul berniat untuk menjebakku.
"Lu pikir lu bisa mencuci otak gue pake Perisai Pencuci Otak punya lu?!"
Astaga... Dia sudah berhasil diyakinkan kalau Perisai Pencuci Otak memang betul-betul ada.
Sejujurnya, itu adalah kekurangan dia bahwa dia gampang sekali dicuci otak.
Tapi dia adalah Pahlawan Tombak. Kalau aku bisa mempercayai apa yang kubaca dalam The Record of Four Holy Warriors, maka Pahlawan Tombak seharusnya memiliki hati yang loyal.
Loyalitas dalam hal ini jelas-jelas berarti bahwa dia nggak akan meragukan orang-orang yang dia anggap temannya.
Dan putri Lonte serta raja Sampah itu ada dibelakang dia. Kalau dia mempercayai orang-orang yang dia sebut teman tanpa keraguan, maka dia cuma orang idiot.
"Tuan Motoyasu! Kita harus bergegas menyelamatkan Melty dan korban pencucian otak lainnya dari Iblis Perisai!"
Lonte itu selalu saja menyiramkan bensin ke api. Seberapa busuknya wanita ini?
"Gue gak bakal nahan diri lagi."
"....Gue juga."
Setelah aku dipanggil kesini, aku harus menahan kebodohan Motoyasu di hari kedua, lalu di hari pertama bulan kedua.
Pemikiran akhir dari semua itu nampaknya cukup masuk akal.
Sialan! Begini lagi, jatuh ke pola yang sama lagi. Kenapa aku gak belajar?!
"Dengerin gue. Apa para pahlawan punya waktu buat bertikai diantara mereka sendiri? Dimana Ren dan Itsuki? Kalo lu gak mikirin alasan yang bagus karena lu mengerahkan semua waktu lu buat ngejar gue, maka elu bertindak kek orang bego!"
Kalau dia sudah diyakinkan kalau aku ini jahat, maka aku akan mengalihkan pembicaraan pada Ren dan Itsuki—karena mereka gak mengejar aku.
Kalau kami membicarakannya baik-baik, mungkin Motoyasu akan mulai mencurigai yang sebenarnya.
"Meskipun mereka mati, gue gak akan mempercayai apapun yang lu katakan!"
"Huh?"
Mati? Apa yang dia bicarakan?
Ren dan Itsuki? Kami? Siapa? Apa?
"Woi Motoyasu. Apa yang lu bicarain? Siapa yang mati?"
"Begitulah cara lu menipu Ren dan Itsuki juga! Begitulah cara lu membunuh mereka!"
"Apa? Apa yang lu katakan? Jelasin!"
"Lu coba nipu gue! Jangan harap gue dengerin elu! Gue tau semuanya! Setelah monster itu dilepaskan dari sebuah kota dimana lu berada, lu menyelinap ke belakang Ren sama Itsuki terus membunuh mereka!"
Apaan yang terjadi di Melromarc saat kami bersama Fitoria?
Satu-satunya pemikiran yang bisa kupikirkan adalah bahwa Ren dan Itsuki pergi melihat segel yang dibuka. Mereka begitu dekat dengan kebenarannya sehingga seseorang membunuh mereka.
Aku gak tau apakah itu si Sampah atau Gereja, tapi seseorang mencoba memfitnahkan semuanya padaku, dan mereka mengatakan hal itu pada Motoyasu!
"Lu salah! Pikirin lagi! Gue gak punya alasan buat bunuh Ren ataupun Itsuki!"
"Diem. Gue gak percaya sama lu. Gue udah muak nahan diri! Meskipun seorang cewek harus menjadi Perisai yang baru, gue musti mengotori tangan gue buat membalas dendam Ren sama Itsuki!"
Percuma saja. Motoyasu sudah percaya dengan teguh kalau aku sudah membunuh para pahlawan yang lain.
Sialan. Seseorang telah membebankan itu padaku.
Fitoria, aku minta maaf. Para pahlawan sepertinya sama sekali gak peduli tentang menyelamatkan dunia.
Dari semua pahlawan yang diperlukan untuk menghadapi krisis yang menimpa dunia.... entah gimana... cuma dua saja yang tersisa.
Dan melihat sikap Motoyasu, dia gak akan puas sampai aku mati juga.
Tapi aku gak boleh mati disini.
Aku mengganti perisaiku menjadi Chimera Viper Shield dan menghadap Motoyasu.
Motoyasu memiliki si Lonte dan dua cewek dalam partynya. Ada para prajurit yang keluar dari perlintasan perbatasan. Kerangkeng itu membuat mereka gak bisa ikut campur secara langsung—tapi itu juga mencegah kami melarikan diri.
Adapun di pihakku, Filo dan aku berdiri di barisan depan. Melty berada di belakang berusaha menghancurkan kerangkengnya sedangkan Raphtalia melindungi dia.
"Semuanya, ayo balas dendam!"
"Motoyasu, lu gila. Sudah waktunya lu menyadarinya."
Baik. Semuanya sudah berbeda sekarang.
Melty gak bisa bertarung, tapi aku masih punya Filo dan Raphtalia.
Kalau aku betul-betul menggunakan perisaiku, kami gak akan kalah.
Akhirnya, kami akan menyelesaikan seluruh masalah ini.
"AAAAHHHHHHHH!"
Kami berlari masuk kedalam pertempuran demi masa depan.
***
"Filo, kau hadapi Motoyasu, dan..."
Saat pertempuran dimulai, aku memberi Filo perintah.
Motoyasu bilang dia gak akan menahan diri—meski melawan wanita. Matanya dipenuhi kebencian. Dia menyiapkan tombaknya.
"Aku, putri selanjutnya, adalah sumber dari segala kekuatan. Biarkan seluruh alam semesta mendengar kata-kataku dan patuhilah. Hujankan api pada musuh! Zweite Fire Squall!"
Saat perapalan sombong Lonte itu selesai, hujan api sihir berasal dari langit muncul.
"Naofumi! Filo!"
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan! Dengarkan kata-kataku dan patuhilah! Hentikan hujan yang menghujani mereka! Anti-Zweite Fire Squall!"
Melty menghentikan upaya menghancurkan Lightning Cage agar dia bisa merapal mantra gangguan pada hujan api itu.
Tapi dia gak bisa sepenuhnya menetralisir efek mantra milik Lonte itu, dan api terus menghujani kami.
Seluruh area terbakar. Itu tampak seperti lautan api. Beruntungnya, cuma sebatas di barisan depan saja yang terkena efeknya, jadi cuma aku dan Filo saja yang kena.
"Itu benar. Aku gak akan membiarkanmu menendang Tuan Motoyasu kali ini."
Lonte itu berlari menyerang kami sekarang, merapal mantra tanpa ragu-ragu.
Tapi Melty juga handal dalam sihir.
Tetap saja, level Lonte itu lebih tinggi.
"Filo! Apa kau baik-baik saja?!"
"Ya! Aku gak apa-apa!"
Filo gak menerima damage yang signifikan dari api itu.
Adapun untukku... Sebelumnya aku baik-baik saja saat para wizard kerajaan memutuskan untuk menyerangku dengan api. Jadi kali ini juga gak masalah buatku.
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kataku dan patuhilah! Berikan hujan berkah! Zweite Squall!"
Melty memanggil hujan lebat untuk melindungi dirinya dan Raphtalia.
"Ha! Tuan Motoyasu, kau cuma perlu fokus pada Iblis Perisai itu! Aku akan mengurus burung ini dengan sihirku!"
Si Lonte dan para cewek lain di party Motoyasu mulai merapal mantra.
"Aku maju duluan!"
Filo masa bodo dengan perapalan itu. Dia menyerbu kearah Motoyasu.
"Tunggu, Filo!"
Dia gak boleh lari sembarangan kayak gitu—kami gak tau apa yang menunggu kami!
"Wing Tackle!"
Sebuah bola angin besar muncul dan terbang ke arah Filo yang masih berlari kearah Motoyasu.
"Hoh!"
Dengan sebuah kepulan asap, Filo berubah wujud menjadi manusia sambil berlari. Dalam sekejap dia memakai sarung tangan dan berlari untuk mencakar Motoyasu.
"Ugh...."
Motoyasu memutar tombaknya vertikal dan memblokir serangan Filo.
Sekarang aku paham. Fitoria mengajari Filo bagaimana bertarung dalam wujud manusia, dan Fiko menggunakan itu untuk menghindari serangan!
"Rasakan iniiiiiiiiiiiiiii!"
Cakar Filo menebas Motoyasu dengan cepat. Itu seperti cakar-cakaran. Agility Filo yang tinggi membuat serangannya begitu cepat hingga sulit ikuti. Memang dia sudah sangat cepat, tapi trik yang diajarkan Fitoria pada dia telah menunjukkan efek yang jelas. Dia lebih kuat.
"Maaf, Filo!"
Motoyasu menyiapkan tombaknya dan mengeluarkan sebuah skill pada Filo.
"Shooting Star Spear!"
Aku gak akan membiarkan dia melukai Filo semudah itu! Aku melompat ke tengah diantara dia dan Filo dan memblokir serangan itu dengan perisaiku.
Tombak milik Motoyasu mulai bersinar terang, dan membentuk sebuah tombak cahaya. Dia melemparkannya pada kami.
Tombak energi itu terpecah dan meluncur dari atas.
"Ugh?!"
Aku menggunakan bagian terkeras dari perisaiku untuk memblokir serangan itu.
Dampak dari serangan itu sangat kuat. Aku merasakannya melalui perisaiku.
Tulang-tulangku berderak. Aku seperti bisa mendengarnya. Apa dia menggunakan serangan terkuatnya? Apa yang dia mau?
Yah, kalau ini adalah pertarungan yang sebenarnya, kurasa nggak ada alasan bagi dia untuk menahan diri.
"Lu suka itu? Gue masih punya lagi! Chaos Spear! Rising Dragon Spear!"
Motoyasu mengeluarkan skill secara terus-menerus. Chimera Viper Shield punyaku bahkan gak punya kesempatan untuk melakukan serangan balik Snake Fang-nya.
Sialan! Dia begitu percaya diri! Level miliknya pasti sangat tinggi.
"Myne! Semuanya!"
"Aku tau! Zweite Fire!"
"Zweite Air Shot!"
"Api dan angin—dan gabungan skill punyaku. Skill kombo! Air Strike Burst Flare Lance!"
"Ugh!"
Setiap tempat di tubuhku yang gak ditutupi perisaiku kesakitan.
Aku bahkan gak mau berpikir tentang apa yang akan terjadi kalau Barbarian Armor punyaku gak memiliki resistensi api dan angin. Apa aku selamat karena perlindungan Fitoria?
Aku gak mau melihatnya ataupun menerimanya... tapi aku gak bisa mengabaikan darah yang merembes melalui celah armorku.
Aku butuh sihir pemulihan... Tapi Motoyasu gak akan memberiku waktu untuk menggunakannya.
"Shield Prison!"
Sebuah kurungan perisai muncul disekitar Motoyasu.
"Windmill!"
Motoyasu memutar tombaknya dengan sangat cepat. Perisai-perisai yang membentuk kurungan semuanya terlempar.
Sialan... Kekuatan serangannya jelas-jelas sudah melampaui kemampuanku untuk bertahan dari serangannya.
Waktu cool down untuk skill-skill miliknya sudah habis, dan dia mulai mengeluarkan skill-skill satu persatu pada kami lagi.
Mustahil memenangkan pertarungan ini kalau kami cuma bertahan saja sepanjang waktu.
"Master!"
Filo menyilangkan tangannya dan berlari kearah Motoyasu.
"Jangan mengganggu!"
Motoyasu memutar tombaknya dan menyerang Filo menggunakan gagangnya.
Tapi sebelum serangannya kena, aku berhasil merapal mantra.
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kataku dan patuhilah. Lindungi dia! First Guard!"
Terdengar suara dentuman, dan tampaknya sihir yang ku keluarkan tepat waktu. Gagang tombak Motoyasu terpantul dari Filo sebelum bisa mengenai Filo.
Beruntungnya kami mengetahuinya dalam pertarungan melawan Fitoria bahwa pakaian manusia milik Filo memiliki tingkat pertahanan yang tinggi.
Dikombinasikan dengan mantra pertahananku, defense milik Filo menjadi sangat tinggi.
"Sialan!"
"Aku gak akan kalah!"
Dalam keadaan yang sangat waspada, Filo mengayunkan cakarnya pada Motoyasu disaat dia tengah memperbaiki posturnya.
"Sial! Aku gak akan membiarkan kau menyentuhku!"
Motoyasu menghindari serangan Filo. Dia bergerak untuk menyerang balik, tapi Filo sudah melompat mundur dan merapal sebuah mantra.
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kataku dan patuhilah! Serang dia dengan tornado ganas! Zweite Tornado!"
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan—biarkan seluruh alam semesta mendengar kata-kataku dan patuhilah! Hilangkan tornado itu!"
"Kami adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kataku dan patuhilah! Hilangkan tornado itu!"
"Anti-Zweite Tornado!"
Karena sihir gangguan dari mereka bertiga, tornado milik Filo menjadi tak lebih dari angin sepoi-sepoi.
Filo mulai berkonsentrasi lebih keras lagi. Aku memegang lengan Motoyasu agar dia gak bisa bergerak.
"Lepasin gue!"
"Jangan harap! Filo!"
"Baik! Haikuikku!"
Filo menjadi kabur, bergerak dengan sangat cepat. Dia tiba-tiba berada di belakang Motoyasu. Aku masih memegang dia.
"Ugh..."
Terdengar suara cabikan, dan cakar Filo mencabik-cabik dia lagi dan lagi.
"Jangan harap itu udah cukup buat ngalahin gue!"
Motoyasu membebaskan diri dari peganganku dan memutar tombaknya, menyiapkannya. Dia menusuk lurus kearah mataku.
Dia cepat. Aku memiringkan kepalaku tepat sebelum ujung tombak itu mengenaiku.
"Ha!"
"Wahhh!"
Seorang prajurit terjebak di dalam kurungan bersama kami, dan Raphtalia mengalahkan dia.
Para prajurit mencoba menyerang setiap kali mereka menganggap bahwa Melty dan Raphtalia telah menurunkan kewaspadaan mereka. Mereka selalu salah. Mereka berdua tidaklah sebodoh itu. Mereka berdua sudag pasti bisa melindungi diri mereka sendiri... Tapi berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikannya?
Apa yang harus kami lakukan? Kalau kami bisa mengalahkan Motoyasu, kami akan punya peluang untuk melarikan diri. Tentu saja kami masih harus menghadapi Lonte dan yang lainnya.
Semuanya tampak buruk. Ini hanya masalah mana yang akan habis duluan, pertahananku atau sihir milik Lonte itu.
"Huh?!"
Lonte dan teman-temannya meminum air sihir untuk mengisi sihir mereka yang telah berkurang.
Ini buruk. Apa itu artinya aku harus bertahan sampai mereka kehabisan ramuan sihir?!
"Hebat juga lu, Naofumi. Apa gini cara lu membunuh Ren sama Itsuki?!"
"Udah gue bilang gue gak ngelakuin itu! Dengerin gue!"
Motoyasu menggunakan skill-skill begitu cepat hingga dia terengah-engah. Tetap saja, aku mulai menerima banyak damage!
Aku merasakan darah yang keluar dari tubuhku.
"Selain itu, gue nggak jadi kuat karena alasan alasan-alasan yang lu pikirin. Gue ngalamin saat-saat yang susah! Gue gak kayak elu, tuan 'gue tau segala sesuatu tentang dunia'. Gue gak coba untuk jadi badass!"
Sejak aku dipanggil ke dunia ini, aku menghabiskan begitu banyak waktu untuk mencoba begitu banyak hal yang berbeda, melawan begitu banyak monster yang berbeda.
Aku terang-terangan kalau mengenai metode yang mungkin membuatku lebih kuat. Aku berusaha membuka perisai dan kemampuan sebanyak mungkin. Tapi... tapi pada akhirnya... Apa pengguna perisai betul-betul gak punya peluang?
"Bodoh!"
"Apa?"
Motoyasu mengalihkan perhatiannya. Lonte itu meneriakkan nama Motoyasu. Aku mengikuti tatapannya dan melihat apa yang dia tatap.
Pedang sihir menembus bahu salah satu anggota partynya.
Woi—itu akan membuatnya lebih sulit bagi mereka untuk menahan bombardir sihir.
Raphtalia juga memperhatikan. Menyadari bahwa kami berada dalam masalah, dia meninggalkan posisinya dibelakang dan datang untuk membantu kami.
Adapun untuk Melty... dia masih berusaha menghancurkan Lightning Cage. Setiap kali seorang perajurit mendekat, dia menggunakan sebuah mantra untuk menghempaskan prajurit itu.
Tapi masih saja ada prajurit yang berusaha mendekat.
"Putri! Awas!"
"Mel!"
"Ugh!"
Melihat bahwa Melty hampir dikepung, Filo segera berubah ke wujud Filolial Queen-nya dan bergegas membantu. Dia melemparkan para prajurit seolah mereka adalah mainan. Dia gak menggunakan Haikuikku, tapi gerakan dia tetap sangat cepat. Itu berkat pertarungan melawan Fitoria.
"Tuan Naofumi! Berhentilah memperhatikan Filo—kamu membuat dirimu sangat rentan terhadap serangan!"
"Sial!"
Lonte itu sangat marah karena dia kehilangan seorang anggota party. Dia menghunus pedangnya dan mengayunkannya pada Raphtalia.
"Kita sudah pernah bersilangan pedang sebelumnya. Kau gak bisa mengalahkan aku!"
Hantaman pedang mereka sangat keras dan tajam. Tapi Raphtalia menepis semua serangan Lonte itu.
Ya—itu bagus. Aku hanya berharap bahwa Melty bisa menemukan cara untuk menghancurkan kurungan ini.
"Myne! Sial!"
Motoyasu berputar untuk berlari kearah Lonte, tapi aku menghentikan dia.
"Motoyasu, dengerin gue. Segala yang terjadi adalah karena konspirasi yang dibuat oleh Lonte, si putri, dan Church of Three Heroes. Kami gak membunuh Ren atau Itsuki!"
"Gue gak percaya sama elu! Minggir!"
Aku mencobanya lagi dan lagi, untuk meyakinkan dia. Tapi Motoyasu gak mau dengar. Ini bukanlah loyalitas. Ini adalah kepercayaan buta! Dia terlalu keras kepala untuk mendengarkan.
Apa yang harus kami lakukan? Aku gak bisa menyerang, dan kalau Filo mulai menyerang, maka gak akan ada yang melindungi Melty. Sudah pasti, dia akan datang kalau aku memanggil dia...
"Tuan Naofumi!"
Raphtalia memanggil aku. Ekornya mengembang. Dia punya sesuatu yang betul-betul ingin dia sampaikan padaku.
Itu dia—Motoyasu barusan sudah menunjukan caranya padaku.
Motoyasu memperhatikan Myne. Aku melewati dia dan menyelaraskan nafasku dengan nafas Raphtalia.
"Aku adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kataku dan patuhilah. Sembunyikan kami! First Hiding!"
Aku berkonsentrasi dan berfokus pada Raphtalia, dan saat dia merapal mantranya, sebuah nama skill baru muncul di bidang pandangku.
Jadi begitu cara kerjanya...
"Hiding Shield! Change Shield!"
"Apa yang kau lakukan pada Myne? Paralyze Spear!"
Motoyasu mengeluarkan sebuah skill pada Raphtalia. Tapi...
"Apa?!"
Sebuah perisai muncul didepan Raphtalia. Ya, itu adalah skill kombo kami.
Hiding Shield. Itu adalah sebuah skill yang menghasilkan sebuah perisai sihir tak terlihat. Aku menggunakan Change Shield untuk mengubahnya menjadi sebuah perisai yang memiliki efek serangan balik.
Aku memutuskan untuk menggunakan Soul Eater Shield yang memiliki efek serangan balik memakan jiwa.
"Ugh!"
Soul Eater Shield menggigit Motoyasu, berubah menjadi sebuah bola sihir dan terbang kearahku.
"Itu mencuri SPku!"
Aku memang menginginkan efek itu. Efek pemakan jiwa mencuri SP miliknya.
Aku gak tau berapa banyak SP yang dimiliki Motoyasu, tapi ini seharusnya bisa membuatnya sedikit lebih mudah buat kami.
"Jangan remehkan Tuan Naofumi."
Kata Raphtalia sebelum menghilang menggunakan Hide Mirage dan bergerak menjauh tanpa terlihat.
"Dimana dia?!"
"Tuan Motoyasu! Serahkan dia padaku!"
Lonte itu berusaha membatalkan sihir Raphtalia, tapi Raphtalia sudah jauh.
"Jangan harap semudah itu!"
Motoyasu merendahkan tombaknya dan menyerbu kearahku layaknya seekor babi hutan.
"Rasakan ini!"
Motoyasu melihat bahwa aku lega karena Raphtalia lolos. Dia mengeluarkan sebuah skill kearahku. Dari cara dia bergerak, aku mengasumsikan itu adalah Shooting Star Spear.
Armor baruku yang telah ditingkatkan membuat pandanganku lebih baik... tapi bisakah aku melakukannya? Aku mengulurkan tangan... dan memegang gagang dari tombak yang bersinar itu.
"Idiot! Apa lu barusan memegang Shooting Star Spear punya gue?!"
"Elu yang idiot, pake skill yang sama lagi dan lagi! Gue bisa baca setiap gerakan lu, bego!"
Efek serangan balik Chimera Viper Shield, Snake Bite (medium), diaktifkan dan menggigit Motoyasu.
"Ugh... Tubuh gue..."
Akhirnya, dia keracunan.
Motoyasu melakukan gerakan yang rumit dan entah gimana menghasilkan penawar racun dari tombaknya.
Gimana caranya dia melakukannya?
"Gak akan gue biarin!"
"Ha! Coba aja hentikan gue!"
Aku mendekat pada dia dan mencoba merebut obat itu, tapi aku terlambat. Dia sudah meminumnya saat aku mencoba mencari tau darimana obat itu berasal.
"Heh... Jangan harap racun itu bisa jadi masalah besar buat gue."
Baiklah, tapi gimana caranya aku mendapatkan penawar racun dari tombak itu? Aku sama sekali gak paham.
"Racun gak mempan? Apa itu yang lu katakan? Sayang sekali gue harus bilang kalo gue udah melihatnya berhasil berkali-kali."
Filo menyerang begitu cepat hingga Motoyasu kesulitan menjawab.
"Serius nih, tenanglah dan dengerin gue! Kami gak ngelakuin apa-apa sama Ren dan Itsuki! Harus berapa kali gue bilang sama elu kalau itu semua adalah konspirasi—dan wanita yang ada dibelakang elu adalah dalangnya!"
"Kenapa juga gue harus dengerin elu? Gue percaya pada temen-temen gue!"
Teman? Kurasa yang dia maksudkan adalah "wanita".
Meski begitu—aku berusaha. Bisa dikatakan aku memang menepati janjiku pada Fitoria.
Dan aku gak mencoba menggunakan Shield of Rage.
"Baiklah, yah, gue berusaha sabar sama elu. Gue mencoba membicarakannya. Gue gak mau ngelakuin ini."
Aku mengangkat perisaiku. Kalau aku gak mencoba melakukan sesuatu, situasinya akan semakin memburuk.
Kalau Melty gak bisa menghancurkan kurungan itu, maka pasukan pendukung akan terus bermunculan sampai mereka mengepung kami. Kalau kami nggak kabur sebelum itu terjadi, itu sama artinya dengan akhir dari kami.
"Jangan lupa Filo!"
Memanggil Raphtalia untuk meminta dukungan dia.
"Menilai dari gimana kau menyerang, kau pasti sadar."
"Ugh...."
"Melty."
"Apa?"
"Apa kau paham?"
"....Ya."
Aku cuma punya satu ide.
Aku akan menggunakan sihir milik Raphtalia untuk membuat sebuah perisai tak terlihat, dan aku akan memasangnya dimana Motoyasu bergerak. Perisai itu harus punya efek serangan balik, dan Filo serta Melty akan menggabungkan sihir mereka untuk melukai dia.
Kalau kami terus menggunakan sihir, mereka akan mengganggu dan menghentikannya. Tapi akankah mereka bisa menghentikan ini?
"Teman-teman lu pengguna sihir api dan angin. Gue yakin elu menyadari kalo gak satupun sihir itu yang efektif terhadap gue, kan?"
Aku gak yakin apakah yang perlu disyukuri, tapi kayaknya perlindungan Fitoria memberi kami kesempatan melawan Motoyasu.
"Dan tentunya elu menyadari kalo gue masih punya kartu as yang belum gue pake?"
Motoyasu sudah melihat Shield of Rage sebelumnya.
Dia mengalami kesulitan melawannya—dan dia tau aku belum menggunakan perisai itu.
Jadi apa yang akan terjadi kalau aku menggunakan Shield of Rage sekarang?
Yah, Filo akan menggila... tapi itu bukanlah masalah besar.
"Masih belom!"
Motoyasu dengan cepat mengacungkan tombaknya padaku.
"Air Strike Javelin!"
Tombak itu meluncur kearahku.
"Ya, benar!"
Aku menangkapnya. Ada dentuman logam saat tombak itu menyentuh jari-jariku, dan aku merasakan sedikit rasa sakit.
Aku memegang tombak itu, tapi saat aku merenggangkan peganganku, tombak itu terbang kembali ke tangan Motoyasu.
"Mel."
"Baik. Filo, selaraskan dengan aku!"
"Oke!"
Melty menyelaraskan nafas mereka dan mulai merapal sebuah mantra.
"Kami adalah sumber dari segala kekuatan. Dengarkan kata-kata kami dan patuhilah...."
"Combo Magic?!"
Lonte dan teman-temannya pucat.
Apa itu? Tunggu... aku membaca tentang itu di buku sihir. Beberapa sihir yang sangat kuat membutuhkan kerja sama dari wizard atau witch lain.
Kombo sihir adalah salah satu dari tipe-tipe itu.
Setidaknya itu membutuhkan dia yang, tapi mereka bisa menggabungkan kekuatan mereka untuk membuat mantra-mantra yang lebih rumit.
Tingkatan diatas kombo sihir disebut sihir upacara. Sepertinya itu adalah sebuah sihir berskala sangat besar yang digunakan dalam perang. Itu sangat kuat... atau begitulah yang kudengar.
"Hancurkan mereka dengan sebuah badai yang ganas! Typhoon!"
Melty dan Filo menggerakkan tangan mereka bersama-sama, dan sebuah tornado kecil muncul dari titik pertemuan tangan mereka. Tornado itu memang kecil, tapi tampak sangat kuat, dan dipenuhi hujan dan es. Tornado itu meluncur kearah Motoyasu dan partynya.
Mereka nggak akan bisa menghentikannya. Mereka harus menahannya.
"Sial! Aku akan melindungi kalian!"
Motoyasu bergegas berdiri didepan anggota partynya. Dia memegang tombaknya secara horisontal dan menerima tornado itu secara langsung.
"Arghhhhhhh!"
Dia nggak bisa menahan kekuatannya, dan dia terlempar berputar-putar ke udara.
Tapi kemudian tornado itu menghilang. Mungkin sihir milik Filo dan Melty gak cukup kuat untuk membuatnya bertahan lama.
Motoyasu jatuh dengan keras, tapi kemudian dia kembali berdiri.
"G..Gue gak boleh kalah. Gak boleh kalah dari elu... Kalo gue kalah, maka Putri Melty, Raphtalia... Filo... mereka semua akan jadi milik elu."
Berpikir dia betul-betul mempercayai keadilannya, bertarung sampai seperti ini, membuatku merasa seperti dia memiliki suatu kualitas yang mungkin betul-betul terpuji.
Tapi, woi.... gimana bisa aku yang jadi orang jahatnya?
Motoyasu tidaklah segitu bodohnya sampai menganggap aku adalah bos level menengah dalam game kecil miliknya, kan?
Itu membuatku jengkel kalau berpikir tentang itu. Dia pikir dia itu siapa?
"Gue akan menyelamatkan mereka. Demi Ren dan Itsuki!"
"Dasar maniak perempuan.... Sungguh menyedihkan melihat lu kayak gini."
Kenapa dia gak mau mempercayai aku? Bukankah itu merupakan penjelasan yang lebih mudah daripada semua pencucian otak ini?
Kalau saja dia mendedikasikan tekad yang teguh itu pada sesuatu yang lebih penting..... Sayang sekali.
"Ugh...."
Kami gak bisa melakukan serangan akhir. Teman-temannya berdiri menghadang.
Tapi karena dia bertarung sampai segitunya dan gak menyerah meski dia sudah diambang tumbang... kurasa dia betul-betul merupakan seorang pahlawan dalam hal itu.
Tapi dia gak boleh cuma mempercayai dirinya sendiri secara buta dan terus bersikeras pada keadilan versi pribadinya sendiri.
"Menyerahlah. Lu gak bisa ngalahin kami. Yang kami mau cuman lu dengerin gue."
Kami ada di persimpangan jalan. Aku harus menemukan cara untuk membuat dia mau mendengar, atau ini adalah akhir dari semuanya.
....Kecuali kami bisa kabur.
"Melty, aku menghargai bantuanmu dalam pertarungan. Tapi kembalilah fokus dalam menghancurkan kurungan itu."
"Aku sudah melakukannya dari tadi!"
"Tuan Motoyasu! Kalau kita tidak mengalahkan Iblis Perisai sekarang, dia akan kabur! Kita harus mengalahkan mereka sekarang, atau kita tidak akan mendapatkan kesempatan lain untuk menyelamatkan Melty!"
"Aku tau itu!"
Kurasa Motoyasu dan anggota partynya gak tau kalau semua adalah sebuah konspirasi. Mereka betul-betul ingin membunuh Melty.
Itu menyedihkan. Musuh yang sebenarnya berdiri tepat disamping dia, dan dia gak tau itu.
Tapi Lonte itu gak kenal kata nyerah.
Aku menoleh pada Raphtalia dan dia mengangguk.
Aku ingin dia menggunakan Hide Mirage untuk menghilang dan membungkam Lonte itu.
Dia masih punya pedang sihir. Kalau dia bisa menggunakannya untuk menjatuhkan Lonte itu, kami mungkin masih punya kesempatan untuk melarikan diri.
Tapi aku gak bisa berpura-pura bahwa aku puas dengan itu. Sebagian dari diriku menginginkan dia mati.
Tetap saja, kalau aku ingin membersihkan namaku, aku gak boleh membunuh orang.
Kalau aku ingin mengurus Lonte itu, aku harus memastikan bahwa Sampah itu sudah ditangani terlebih dahulu.
Kalau aku gak melakukannya, aku gak lebih baik dari Sampah itu.
Tapi kalau aku ingin menyingkirkan seseorang yang menghalangi aku—aku harus mengorbankan mereka.
Apa itu benar? Tidak! Aku harus membuktikan ketidakbersalahanku!
"Aku belum kalah... Belum!"
Aku gak bisa menyebutnya kalau itu semacam kamikaze, tapi Motoyasu berlari kearahku sambil mengacungkan tombaknya.
"Filo!"
"Oke!"
Serangan berikutnya akan mengakhiri semuanya... Atau begitulah yang kukira. Sebelum mereka bisa saling menyerang, seluruh area dipenuhi dengan suara aneh.
Aku melihat sekeliling dan mendapati semua prajurit yang berdiri disekitar telah menghilang. Sesuatu sedang terjadi, tapi apa?
Aku mendengar tepukan berirama.... seperti seseorang sedang... bertepuk tangan?
"Ah... Seperti yang kuharapkan dari sang Tombak. Kau telah menunjukkan tekad yang menakjubkan. Terimakasih atas upayamu."
Seluruh area dipenuhi dengan hawa kehadiran yang begitu kuat yang mana rasanya hampir mencekik... Tapi apa itu?
***
ความคิดเห็นย่อย
คุณลักษณะความคิดเห็นย่อหน้าอยู่ในขณะนี้บนเว็บ! เลื่อนเมาส์ไปที่ย่อหน้าใดก็ได้แล้วคลิกไอคอนเพื่อเพิ่มความคิดเห็นของคุณ
นอกจากนี้คุณสามารถปิด / เปิดได้ตลอดเวลาในการตั้งค่า
เข้าใจแล้ว