Taksi itu berhenti di depan pagar sebuah rumah dua lantai dengan taman luas. Meri awalnya mau protes karena tidak di antar sampai di depan pintu rumah. Bukan karena manja tapi kakinya saat ini sedang terluka.
"tidak masalah, aku akan menggendongmu masuk" ujar ilham menenangkan meri yang sudah memasang wajah cemberut.
"ehem, ibumu pasti ada di dalam" meri mengatakan itu karena tidak ingin membuat ilham malu, bukan hanya ilham. Dia juga akan malu jika sampai ibu mertuanya itu melihat adegan ia sedang di gendong.
"tidak masalah"
Setelah membayar ongkos taksi, ilham turun lebih dulu dan membawa ratu di hatinya itu dengan gaya ala super hero menyelamatkan wanita cantik.
Cantik memang, karena saat ini cadar meri sudah tidak ada di tempatnya. Hanya tersisa jilbab yang lebih mirip lap kaki akibat debu yang menempel akibat ledakan.
Di dalam, mereka langsung mendapat tatapan dari para penghuni rumah, mulai dari pembantu hingga nyonya besar yang tak lain ibu ilham. Meri meminta di turunkan karena tidak sanggup menahan malu, tapi bukannya menurunkannya ilham justru memeluknya erat agar wajah meri tersembunyi di bahunya.
Nyonya besar yang biasanya meremehkan menantunya itu menganga menatap wajah menantunya walau hanya sekilas. Bukan karena adegan romantis di depannya, ia justru terpana melihat kecantikan alami dari menantunya itu.
"ibu" andre menyadarkannya.
"bagaimana bisa seorang dewi menjadi menantuku" gumamnya lirih namun terdengar jelas oleh ilham yang berada tak jauh darinya.
Andre yang mendengar itupun hanya tersenyum geli, jika seorang perempuan tua bahkan tersihir melihat kecantikan meri lalu bagaimana dengan dirinya yang jelas memiliki naluri kelakk-lakian.
Junior yang melihat ibunya masuk, langsung mengekor di belakangnya mengikutinya menaiki tangga dan masuk ke kamar ibunya.
"ibu"
"aww" meri meringis karena junior melompat ke kasur dan menindih dadanya yang sakit. "anak ibu baik-baik saja bukan?"
"Mmm" jawab junior menganggukkan kepalanya.
Tangan kecil dan ramping itu membelai lembut dahi meri yang tertutup perban. Ia seperti ingin menyalurkan energi untuk menyembuhkan luka di balik perban itu.
Setelah sesibsaling tatap dan saling belai itu, ibu dan anak itu tidur berdampingan menghabiskan malam dengan kebahagiaan berhasil keluar dari maut. Ilham akhir-akhir ini merasa tersingkir karena selalu ada junior yang tidur di samping meri. Mereka seperti berbagi wanita karena meri berada di tengah namun faktanya adalah meri selalu membelakangi ilham dan memilih memeluk junior.
Di tengah malam ia terbangun karena rasa nyeri di kakinya. Sangat wajar karena mungkin efek obat pereda rasa sakit yang ia minum sudah mulai habis.
Gelombang gelisah yang ia ciptakan di atas kasur itu membentuk sebuah riak yang juga menerpa orang yang tertidur di sampingnya.
"ilham.. Ilham.. Bangun" meri berbisik di telinga suaminya agar ia terbangun dan yang di bangunkan hanya bergumam.
"Mmm" jawabnya sedikit malas.
"kaki ku rasanya nyeri, dadaku juga mulai sakit lagi" keluh meri, walau ilham tidak menanggapi panggilannya dengan serius ia tetap yakin suaminya itu bisa mendengar suaranya dengan jelas.
Tubuh yang tadinya memunggunginya kini berbalik menghadapnya. Dengan wajah yang masih mengantuk, mata itu terpaksa terbuka karena mendengar kata sakit dari bibir yang ia jaga agar tak akan mengeluh selama berada di sampingnya.
"mau ku berikan obat pereda rasa sakit?"
"apa ada hal lain yang bisa meredakan nyerinya tanpa minum obat itu? Aku hanya takut ketergantungan. Dadaku juga sangat sakit" keluh meri sambil memegang dadanya.
"biar ku lihat"
Ilham merubah posisinya menjadi duduk dan mulai membuka piyama yang di kenakan meri untuk melihat memar di dadanya. Untuk pertama kalinya ia melihat tubuh itu dengan tatapan iba dan bukannya bergairah.
"aww sakit" meri menahan tangan ilham yang menekan sekitar daerah yang memar.
"besok pagi kita ke rumah sakit untuk melihat hasil pemeriksaanmu. Sekarang minumlah obat pereda rasa sakit dulu dan coba untuk tidur"
Walau sudah meminum obat pereda rasa sakit, kakinya tetap berdenyut membuat meri sulit untuk memaksakan tidurnya. Ia akhirnya duduk bersandar di kepala ranjang sambil memegangi betisnya berharap rasa sakitnya akan berkurang.
Ilham tetap terjaga menemani istrinya itu dalam keadaan mata berat bagai tergantung baterai di pelupuk matanya. Memaksakan diri, itulah yang selalu ia lakukan jika berhubungan dengan wanita pujaannya itu. Ketidakmampuannya tidak akan menjadi akhir untuk mewujudkan mimpi meri. Ia akan berusaha dengan mencari jalan lain untuk bisa mencapainya.
"bawa aku pindah ke kamar junior" ujar meri menahan sakitnya.
"kamar junior? Kenapa?" tanya ilham memicingkan mata. "kau sedang sakit jadi jangan meminta macam-macam"
"memangnya aku akan meminta apa?" meri memutuskan menggoda suaminya untuk mengalihkan pikirannya agar tidak fokus pada rasa sakit di dada dan kakinya
"hmm, bukankah kau berpikir untuk..."
"apa otakmu mesum terus tiap kali mendengar kata kamar?" potong meri.
"tentu.. Tentu saja tidak. Kau sedang sakit jadi mana mungkin aku berpikir hal seperti itu" kilah ilham.
"ahh, padahal aku berpikir untuk memintanya malam ini" kata meri dengan wajah di buat kecewa.
"ehem.. Aku akan mengikuti semua kemauan istriku" jawab ilham berubah pikiran mendengar ucapan meri.
"hahaha, kau sangat tidak konsisten"
Pada akhirnya ilhamlah yang kalah dalam permainan kali ini. Sangat jarang ia di kalahkan, tapi ia tidak keberatan kalah dari istrinya.
Mereka kembali tidur saat sakit meri mulai terasa reda. Saat terbangun, mereka sudah terlambat untuk sarapan. Tahu ibu mertuanya itu akan marah-marah, meri menunggu ilham agar bersama turun ke meja makan.
Dengan sebuah tongkat dan di bantu ilham, meri duduk mengelilingi meja makan yang sudah ada mertua, andre dan junior.
"makanlah yang banyak. Kau perlu energi untuk berjalan dengan satu kaki" nyonya besar rumah itu akhirnya buka suara.
Meri yang mendengar hal itu walau mertuanya itu tidak menatapnya tapi sangat jelas bahwa yang ia maksud adalah dirinya.
'dia berubah baik setelah melihatku sekarat' batin meri.
Keluarga itu menghabiskan sarapan dengan canggung namun jelas tanpa konflik. Itu pemandangan langka bagi para asisten rumah tangga melihat majikan mereka tidak menindas menantunya lagi.
Ilham membawa meri dan junior untuk kembali ke rumah sakit untuk medical check up. Saat tidak ada masalah yang perlu di khawatirkan, ia membawa keluarga kecilnya itu berkeliling dan kembali pada sore hari.
Tak banyak yang bisa meri lakukan karena ruang geraknya masih terbatas. Ia rasanya ingin kembali ke rumahnya secepat mungkin agar tak merasa risih karena hanya bisa diam di kamar.
Mereka baru lima hari di bali tapi meri sudah merasa bosan. Ia tidak cukup bebas karena itu bukanlah rumahnya di mana ia bisa bebas melakukan apapun sesuka hatinya.
Mertuanya sama sekali bukan wanita ramah yang akan mudah luluh karena perlakuan baik. Ia terkesan sebagai seorang wanita yang skeptis. Setaip informasi yang di berikan meri selalu di tanggapi negatif olehnya.
Hari ini, ia duduk di balkon kamar saat melihat ilham masuk ke kamarnya dan mengambil sesuatu di laci meja dengan terburu-buru. Melihat sesuatu itu bukanlah hal yang baik, meri menahannya.
"kau mau kemana?" tanya meri berdiri di depan pintu menghalangi ilham keluar.
"aku ada urusan sebentar. Tinggallah di rumah"
"jangan pergi. Aku mau kau menemaniku sampai aku tidur" pinta meri saat memeluk ilham dan merasakan bahwa ada senjata di pinggang ilham dan tertutup jaket kulit hitam yang ia gunakan.
"kenapa? Apa dadamu masih sakit?" ilham balas memeluk meri.
"tidak. Aku hanya rindu, sudah tiga hari bukan"
Itu rayuan yang paling di tunggu para suami kesepian namun menahan diri saat istrinya sedang sakit. Mendengar kali ini merilah yang meminta, bagaimana mungkin sebagai suami ia menolak.
Tubuh itu sudah berakhir di atas kasur. Masih terlalu sore untuk melakukannya tapi untuk menahan suaminya agar tidak pergi, cuma hal ini yang bisa ia pikirkan. Ia sengaja meminta bercumbuan dalam waktu lama sebelum benar-benar menyatukan dirinya.
"ahh.. Sakit" rintih meri karena ilham tidak sengaja mengenai kaki meri yang masih belum sembuh.
"maaf"
Tubuhnya mulai lemah meladeni suaminya yang sepertinya tak kunjung ingin menyelesaikan permainannya.
"apa masih lama?" tanya meri merasa sudah kewalahan.
"Mmm, bukankah kau memang mau seperti itu agar aku tidak pergi?"
Terkejut karena niatnya bisa do tebak dengan mudah, meri merasa sudah tidak ada gunanya membuka kaki di bawah suaminya itu. Toh setelah semua ini ia masih akan tetap pergi. Ia dengan sengaja mendorong dada suaminya itu menjauh dan akan bangun ke kamar mandi.
Telapak tangan besar itu menahan tubuh meri agar tetap berbaring, gerakan tubuhnya semakin intens dan mulai terdengar racauan yang tidak karuan dari bibir keduanya.
Tubuh lemah itu tumbang berbaring saling bersebelahan.
"aku mau kau melahirkan anakku" kata ilham setelah badai kenikmatan itu mereda.
"aku juga menginginkan hal itu" jawab meri terdiam sejenak. "apa terjadi sesuatu?" tanya meri curiga karena suara ilham terdengar sedang tertekan.