Lorong-lorong rumah sakit terlihat sibuk dengan pasien dan keluarga pasieng yang keluar masuk. Di hadapan pintu kaca terdapat sosok pria dengan jas dan kemeja putih di penuhi noda merah berjalan mondar-mandir. Dengan tangan yang terselip di saku celananya dan wajah cemas, ilham menunggu dokter keluar untuk meminta penjelasan.
Setiap detik berlalu seakan begitu lambat, membuat ilham semakin khawatir dan tidak sabar mengetahui keadaan meri di dalam. Dia menatap jam dinding dan pintu yang tak juga terbuka. Hingga satu jam menunggu akhirnya seorang dokter keluar.
"dokter charles, bagaimana keadaannya? Apa bayinya baik-baik saja?" ilham menyerbu dokter itu dengan pertanyaan.
"dia mengalami trauma dinding rahim karena terjatuh dengan keras, pendarahannya termasuk hebat karena syok yang ia alami memicu hormon penyebab kontraksi"
Mendengar penjelasan dokter di hadapannya itu, ilham sudah tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Rasanya ia ingin berbalik menghabisi pria yang menyebabkan keadaan meri dalam situasi serba salah. Waktu kehadirannya sangat tidak tepat dan salah tempat.
"dokter ilham. Kita harus memutuskan akan mengoperasinya sekarang dengan kemungkinan kehilangan salah satu bayinya atau menunda dengan resiko komplikasi pada ibunya. Apa kau sudah menghubungi walinya?"
"saya suaminya dok, biarkan saya menemuinya dulu. Anak dan ibunya sama-sama berharga. Jika saya memutuskan memilih menyelematkan ibunya dan kehilangan bayinya, dia akan sangat marah. Saya mengerti komplikasi yang mungkin terjadi, tapi bukankah itu masih bisa di minimalisir?" ujar ilham merasa tertekan dengan keadaan.
"dia hanya akan kehilangan satu bayi. Kehamilannya kembar, salah satunya menutupi yang lain karena itu salah satunya akan aman. Mereka seakan sudah saling melindungi sejak awal. Itu baik tapi karena ini kehamilan pertamanya dan di usia muda di tambah itu kehamilan kembar dengan situasi pendarahan seperti ini, komplikasinya akan sangat berbahaya. Saat kalian memutuskan menunda dan menunggu hingga waktu melahirkan, bukan hanya satu uang berbahaya tapi bisa jadi kita kehilangan ketiganya. Pikirkan baik-baik dan bicarakan dengannya. Dia mahasiswa yang cerdas, dia pasti mengerti semua resiko kejadian ini"
Dokter charles berlalu meninggalkan ilham setelah menepuk bahu rekan kerjanya itu. Ilham berdiri kaku di depan pintu dengan pakaian masih penuh darah, berusaha meyakinkan hatinya untuk membuka pintu dan mempertahankan sikap tenangnya.
Tangannya sudah memegang handel pintu saat seorang perawat berlari mendekatinya dan memberikan laporan bahwa pria yang juga mengalami kecelakaan bersama meri tidak dapat tertolong. Dia mengalami cidera berat di bagian kepala menyebabkan perdarahan otak. Tulang hidung dan lehernya juga patah akibat benturan keras dengan bamper mobil dan aspal jalanan.
Mendengar kabar kematian itu, lutut ilham seakan kehilangan tenaga. Ia lemas dalam keadaan bingung harus senang atau bersedih. Kematian itu menyingkirkan saingannya tapi bagaimana dengan meri yang masih merasa pria itu adalah harapan satu-satunya.
"dokter ilham, apa anda baik-baik saja?" perawat itu melihat ilham yang lemah dengan menyanggahkan tangannya pada pintu yang ada di depannya.
"saya baik-baik saja. Silhakan kembali bekerja" jawab ilham
"dok, pakaian anda. Apa anda ingin saya membawakan pakaian ganti kemari?"
Noda darah yang memenuhi lengan dan bagian depan jas putih itu nampak sangat mengerikan. Perawat merasa itu tidak akan baik karena ilham akan masuk ke ruang pasien yang mengalami pendarahan itu.
" oh, tidak perlu. Aku akan menggantinya nanti"
Setelah perawat itu pergi, ilham melepas jasnya yang terkena darah dan hanya memakai kemeja putih yang juga terkena darah walau hanya sedikit.
Keberanian yang ia kumpulkan saat melangkah masuk ke ruangan itu seakan menguap melihat meri terbaring di ranjang dengan wajah pucat seperti kertas dan menatap ke arahnya.
"aku baik-baik saja" meri membuka suara karena ilham hanya duduk menggenggam tangannya yang terasa dingin tanpa mengatakan apa-apa.
"kau tidak baik-baik saja. Kau pendarahan hebat dan mengalami trauma pada dinding rahim. Kau mengalami kontraksi dan.."
"aku akan tetap melahirkannya" potong meri, karena tahu apa yang akan di katakan ilham.
Dia memang masih berada di tahun kedua kuliahnya, tapi dia sudah cukup tahu mengenai kehamilan karena mempelajarinya sejak mengetahui ia hamil. Semua resiko yang akan dia hadapi sudah ia ketahui setelah mendengar kata trauma dinding rahim.
Kesadarannya saat mengalami pendarahan dalam keadaan terkejut memberinya pengetahuan bahwa dokter akan mengusulkan operasi cesar untuk melindunginya.
"ini terlalu beresiko. Kau hamil anak kembar pada usia muda dan situasi seperti ini. Tidak akan baik hasilnya jika kita menundanya, selamatkan saja salah satunya dan tempatkan dirimu pada posisi aman. Kau masih bisa memiliki anak lagi nanti"
Meri menggelengkan kepalanya dengan keras pertanda ia menolak tegas perkataan ilham.
"biarkan aku melahirkan keduanya. Pendarahanku sudah teratasi, aku baik-baik saja hanya bayiku yang bermasalah tapi bisakah kita menyelamatkan keduanya?"
Dokter jelas mengatakan bahwa menundanya akan menyebabkan komplikasi semakin parah dan bisa membahayakan meri, jadi bagaimana bisa ilham membiarkan meri mengambil resiko dengan nyawanya sebagak taruhan.
Melihat meri dengan pria lain mungkin akan menyakitkan tapi melihat meri terkapar tak bernafas jauh lebih menyakitkan. Ilham tak seberani itu untuk bertaruh dengan keajaiban.
"kali ini tolong dengarkan aku" ilham membelai wajah meri yang pucat dan meri menggenggam tangan itu seakan mencoba mengalirkan perasaan dan keyakinannya bahwa ia bisa melakukannya.
"aku akan menuruti perkataanmu, tapi biarkan aku mempertahankan keduanya. Katakan saja apa yang harus ku lakukan untuk mengurangi resiko komplikasiku. Aku juga tidak ingin mati muda, tapi aku juga tidak bisa menyerah dengan junior. Dia sama berharganya dengan nyawaku, dia kehidupanku"
Rayuan meri cukup ampuh untuk meluluhkan hati seorang pria seperti ilham. Mendengar meri bersikeras dengan wajah memohon seperti anak anjing, tekad ilham untuk meminta meri melakukan operasi segera meleleh bagai es terpapar panas.
"bisakah kau mengorbankan kuliahmu semester ini dan tinggal di rumah sakit selama dua bulan untuk memastikan kesehatanmu dan juga si kembar?"
Wajah yang tadinya cerah berubah mendung, meri merasa kedua permintaan ilham sangat berat dan tak akan bisa dia penuhi. Dia sejak awal sudah mengatur kuliahnya sedemikian rupa agar tak mengganggu kehamilan dan saat proses melahirkannya, begitu pula sebaliknya. Dia tak ingin kehamilan atau proses melahirkannya mengganggu jadwal kuliahnya.
Sejak memasuki semester baru, meri tak pernah bolos sekalipun karena dia akan mengumpulkan jatah bolosnya pada saat ia melahirkan nanti. Dia bahkan tidak khawatir jika ia akan melahirkan saat berada di kelas karena rumah sakit berdampingan dengan fakultasnya dan ilham selalu berada di rumah sakit itu.
"itu..." meri nampak ragu harus menjawab apa.
"jika tidak bisa maka ikutilah saran dokter. Terkadang kita harus mengorbankan satu untuk memperoleh satu hal lainnya. Itu mengajarkan agar manusia tidak bersikap serakah" ilham menasehati wanita di hadapannya itu dengan tatapan penuh kelembutan.
"ilham, kemarilah"
Ilham mendekatkan wajahnya ke meri karena merasa meri ingin mengatakan sesuatu lebih dekat.
Emmuah. Sebuah kecupan ringan mendarat di pipi ilham.
Tak ada senjata yang lebih ampuh saat menghadapi laki-laki dengan hati sekeras es itu selain sikap manis dan sedikit inisiatif. Itulah yang sedang dilakukan meri.
"aku mohon" ujar meri berusaha menjilat sikap lemah lembut ilham setelah mendaratkan ciuman di pipi pria itu.
"baiklah kau menang" jawab ilham putus asa dengan bibir membentuk lengkungan ke atas. Kecupan singkat yang mendarat di pipinya terasa begitu manis dan menghangatkan jiwanya. Jadi ia tak akan bisa menolak. "tapi kau harus bedrest di rumah. Aku akan mengurus jadwal kuliahmu agar bisa di lakukan di rumah. Selama dua bulan ke depan, kau di larang melangkahkan kaki ke dapur atau kamar mandi tanpa pengawasan. Maria akan datang besok dan akan menjadi pengawasmu di rumah selama masa bedrest mu itu. Ini bukan penawaran tapi perintah" lanjut ilham menekankan kalimat terakhirnya agar meri tahu bahwa itu adalah keputusan final dan tidak ada ruang untuk tawar menawar lagi.
"baiklah. Aku setuju, tapi bagaimana dengan pria itu?"
"dengan berat hati ku katakan bahwa dia meninggal do tempat sebelum sempat memperoleh pertolongan"
"APA?" pekikan suara meri seakan menembus gendang telinga ilham. "bagaimana bisa kau membiarkan dia tiada?" keluh meri.
"cidera pada otak. Patah tulang leher dan hidung. Dia tidak bisa di selamatkan. Jangan memikirkan dia atau itu akan memperburuk kondisimu"
"aku baru saja berpikir memiliki harapan bertemu dengannya lagi. Tapi sekarang orang itu pergi membawa semua harapanku" nampak kesedihan mendalam di wajah meri yang tercermin dalam kilatan bening bergenang di pelupuk matanya. "mengapa kau membiarkan dia mati?"
"meri, aku seorang dokter bukan tuhan"
Kekecewaan mendalam juga terpancar dari wajah ilham, dia merasakan bagaimana perasaan meri masih ingin bertemu dengan andre bahkan setelah andre mengirimkan surat cerai kepadanya dan dengan mudahnya menyerahkan meri kepada ilham.
Wanita di hadapannya itu sama sekali tak merasa harus membenci andre karena semua hal yang ia lalui. Dia hanya ingin menemukan andre dan memakinya karena mencampakkannya begitu saja. Setelah mengeluarkan semua racun di hatinya ia baru akan merasa lega dengan takdir yang harus ia jalani. Dia akan tetap berbahagia, itulah tekadnya sejak awal. Sesuai dengan apa yang andre inginkan di surat terakhirnya.