Baixar aplicativo
72.72% Wrong Feeling / Chapter 8: Chapter 8

Capítulo 8: Chapter 8

Tanpa terasa jam telah menunjukkan pukul 6 lewat sedikit. Akan tetapi, pertemuan antara Jayden beserta beberapa orang dari perusahaan ini masih berlangsung.

Cukup banyak hal-hal yang mereka bahas dalam pertemuan ini. Beberapa kali Jayden memberikan arahan, serta nasehat bisnis dan keuangan serta memberikan strategi jitu dalam masalah perpajakan di perusahaan ini.

Laura yang sempat mengalihkan perhatiannya pada meeting kali ini sempat menatap jam dinding di dalam ruang kerjanya. Wanita cantik inipun teringat oleh dua asistennya dan segera menelepon ke meja sekretaris agar para asistennya pulang lebih dahulu tanpa harus menunggu pertemuan ini selesai.

Sedangkan Anin yang kini berada di meja sekretaris, menerima telepon dari atasannya serta Mendapat arahan untuk pulang lebih dahulu dari boss mereka. Hal itu membuat Anin beserta Debby- rekan seruangan dengan Anin- menerima perintah Laura dengan senang hati. Pasalnya, semua pekerjaan mereka telah rampung sejak satu jam yang lalu. Kedua wanita itu segera membereskan meja kerja mereka dan bersama-sama turun ke bawah.

Saat berada di dalam lift, baik Anin maupun Debby sama-sama memesan ojek online untuk kembali pulang ke rumah. Sayangnya, hingga mereka sampai di lantai dasar, keduanya belum juga mendapatkan seorang ojol untuk mengantar mereka.

"Lah, pantes! hujannya lebat banget!" ucap salah satu di antara mereka ketika melihat hujan yang turun begitu derasnya usai keluar mereka keluar dari dalam lift.

Maklum saja jika mereka tidak tahu. Meskipun ruang kerja mereka berada di lantai paling atas, namun keduanya tidak pernah tahu dengan suasana diluar karena tidak tersedianya jendela di area ruang kerja mereka.

"Waduh, kalau begini gimana ceritanya kita berdua bisa pulang mbak?" keluh Debby, wanita bertubuh lebih tinggi dari Anin ini berseru dengan wajah muram.

Wanita yang lebih muda dua tahun dari Anin ini begitu was-was akan terjebak di sini dan tak bisa pulang ke kosannya. Kebetulan jalan menuju kos yang di tempati oleh Debby rawan banjir jika hujan deras seperti ini. Alhasil, wanita ini takut jika terjebak di sini hingga esok hari.

"Coba hubungi teman mu By, siapa tau ada yang masih diluar. Jadi kamu bisa minta tolong untuk di jemput. Ini aku juga nyoba hubungi suamiku dulu biar bisa di jemput," tutur Anin memberi solusi yang dibarengi dengan anggukan pelan dari Debby.

Keduanya pun kembali fokus pada ponsel masing-masing. Anin berusaha menghubungi Tendra suaminya namun selalu mendapat balasan dari operator.

Anin berdecik kesal, meskipun begitu ia tetap berusaha untuk tetap menelepon atau mengirim pesan teks hingga chat atau apapun itu ke nomor suaminya. Setidaknya Tendra mengetahui ia benar-benar membutuhkan bantuan sang suami di saat genting seperti ini.

Lama sudah Anin terfokus pada ponsel masing-masing, hingga tanpa wanita ini sadari ternyata salah satu teman Debby telah datang untuk menjemput rekannya itu.

"Mbak aku duluan ya. Maaf nggak bisa nemenin sampai Mbak dijemput," tutur Debby dengan raut wajah menyesal.

"Nggak apa-apa By. Gih balik, udah ditunggu tuh. Hati-hati!" sahut Anin yang tidak mempermasalahkan hal tersebut. Setelahnya, Debby pamit dan segera masuk ke dalam mobil milik salah satu kawan kosnya.

Setelah kepergian Debby, kini hanya tinggal Anin seorang diri. Kantor terlihat telah sepi, sepertinya para karyawan di gedung ini pulang lebih awal karena takut terjebak banjir di jalan. Netra Anin hanya menemukan satpam gedung yang masih terlihat disekitar sini.

Emosi Anin mulai naik karena sejak tadi suaminya sama sekali tidak bisa dihubungi dalam situasi seperti ini.

"Duh, bang Tendra mana sih? Hari udah makin malam, tapi sampai sekarang masih belum bisa dihubungi," celetuk Anin dengan nada gusar.

Pikiran negatif serta rasa curiga perlahan-lahan mulai muncul di dalam kepalanya. Apakah suaminya tidak khawatir saat melihat cuaca yang begitu buruk saat ini?

Andai lelaki itu sedang sibuk di kantor, apakah Tendra tidak sempat untuk bertanya tentang kondisinya saat ini? Atau setidaknya mengaktifkan ponselnya agar Anin dapat menghubunginya?

Apakah Tendra sudah tidak peduli lagi kepadanya? Ataukah suaminya kini terlalu sibuk sedang bersama wanita itu hingga melupakan dirinya?

Berbagai macam pikiran buruk tak kunjung berhenti merasuki akal sehatnya. Bahkan hatinya kini mulai diliputi berbagai macam perasaan was-was, kesal hingga sedih yang menumpuk menjadi satu. Hingga tanpa ia duga, pelupuk matanya mulai terisi oleh genangan air yang sebisa mungkin ditahan oleh Anin.

"Be positive Anin. Jangan pikir yang macam-macam!" gerutu Anin dalam hati sembari menggelengkan kepalanya kuat dan berusaha untuk berpikir positif. Lelah rasanya jika harus suudzon terus dengan suaminya yang tidak dapat ia hubungi.

Melihat hari yang semakin malam, bahkan suara orang yang salat di masjid tidak terdengar lagi, membuat Anin menyerah untuk menghubungi suaminya. Iapun beralih untuk menelepon sang adik dan berharap Narendra dapat menjemputnya kemari.

"Kenapa mbak?" kelakar Naren dari seberang sana.

Tanpa menunggu lama, suara Narendra langsung terdengar dari sambungan telepon.

"Kamu lagi dimana Na?" tanya Anin berusaha mengontrol suara dan perasaanya.

"Masih di kampus mbak lagi kerkom. Ada apa? Mbak masih di kantor?" sela Naren menduga-duga.

Mendengar balasan itu, Anin berjalan masuk kembali ke dalam gedung agar Naren tidak mendengar suara guyuran hujan yang setengah lebat dari sambungan telepon mereka.

"Oh nggak kok Na. Mbak udah di rumah. Cuma mau mastiin aja kamu lagi di luar apa di apart. Soalnya hujannya dari tadi lebat banget. Takutnya kamu diluar," sahut Anin sengaja berbohong kepada adik satu-satunya.

"Oh, kirain kenapa. Naren masih di kampus mbak. Paling juga kalau nggak bisa pulang, Naren nginap di kosan temen yang dekat kampus."

Anin mengangguk pelan mendengar jawaban adiknya.

"Ya udah kalau gitu. Kamu hati-hati ya. Uang masih cukup? Apa perlu mbak transfer?"

"Masih ada kok mbak. Ya udah, kalau gitu Naren tutup dulu."

Sambungan telepon itupun berakhir. Harapan satu-satunya yang Anin punya pun telah lenyap. Ia sengaja tak mengatakan yang sebenarnya kepada Naren karena dirinya tidak ingin mengganggu adiknya yang masih berada di area kampus dan sedang belajar bersama teman-temannya.

Kini satu-satunya harapan hanya menunggu hujan reda dan Anin berharap setidaknya hujan dapat berhenti sejenak agar ia bisa pulang.

Sembari menunggu hujan mereda, Anin menunggu di sofa lobby yang tersedia di dekat pintu masuk sembari menatap kearah luar betapa derasnya hujan turun disana. Meskipun ia berusaha untuk berpikir positif, namun perasaan curiga dan tidak nyaman terus saja menghantuinya.

"Mungkin bang Tendra lagi banyak kerjaan di kantor," gumam Anin meyakinkan dirinya sendiri untuk terus berpikir jernih.

Disaat ia masih sibuk meratapi hujan yang turun begitu lebat, suara pintu lift berbunyi tanpa Anin sadari, sosok Jayden keluar dari ruang sempit itu dan tanpa sengaja iris mata pria dewasa itu menemukan Anin yang sedang duduk termenung menatap kearah luar melalui dinding kaca transparan gedung ini.

Kening Jayden mengernyit heran menatap Anin yang masih berada di area kantor. Setau dirinya, sekitar satu jam yang lalu Laura telah menyuruh dua asistennya untuk pulang. Namun, mengapa Anin masih berada disini?

"Anin?" Jayden bersuara sembari menepuk pundak wanita itu pelan yang membuat Anin terhenyak dari lamunanya menatap kearah luar jendela.

Wanita itu berbalik badan dan menemukan sosok Jayden berdiri tepat di belakangnya. Anin refleks berdiri menyahut seruan Jayden yang tadi sempat memanggil dirinya.

"Eh, pak Adhitama. Sudah selesai ya meeting dengan ibu Laura?"

Jayden tersenyum kecil mendengar wanita ini masih mempertahankan tingkah formalitasnya ketika memanggil dirinya menggunakan nama belakangnya. Pria ini merasa tersanjung mendapati sisi santun Anin kepadanya karena keduanya masih berada di ruang lingkup kantor.

"Baru saja selesai. Kenapa kamu masih disini? Nggak pulang?" tanya Jayden penasaran.

"Ah, lagi nunggu hujan reda, setelah itu baru saya pulang," jawab Anin.

"Memangnya nggak bawa kendaraan?" Anin menggeleng lemah sembari memamerkan seringai miris di atas wajahnya membalas seruan Jayden.

"Kalau gitu bareng aku aja. Aku anter kamu pulang."


next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C8
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login