* * *
Nenek!" seru Wiro Sableng. "Antara kita tak ada silang sengketa, mengapa kau menyerang
aku sejahat ini?!"
"Kalau kau tak lekas berlutut dan minta ampun niscaya kau akan kukirim ke akherat!" teriak
si nenek jubah putih. Serangan ranting keringnya semakin menggila. Dalam waktu lima jurus saja
Pendekar 212 sudah terdesak hebat.
Sampai jurus yang kesembilan Wiro Sableng masih juga berkelebat dalam posisi bertahan,
sama sekali tidak balas menyerang. Inilah yang menyebabkan dia saat demi saat semakin terdesak
dan kepepet. Ruang gerak Pendekar 212 makin lama makin ciut. Ranting kering di tangan si nenek
laksana ratusan buah banyaknya dan menyerangnya dari puluhan jurus.
Hampir tiada terasa lagi, saat itu mereka sudah memasuki jurus ke empat belas. Dalam jurus
ini Wiro benar-benar dibikin mati kutu. Dia tak sanggup bertahan lebih lama. Dengan satu bentakan
nyaring Pendekar 212 segera pergunakan kedua tangannya untuk mulai balas menyerang. Tapi
justru pada jurus itu pula ranting kering di tangan si nenek membuat satu serangan yang sukar
dikelit.
"Breet!"
Robeklah pakaian Pendekar 212. Dadanya tergores luka. Rasa sakit dan perih serta merta
menjalari sekujur tubuhnya. Dan tubuh itu kini menjadi panas dingin. Nyatalah ranting kering di
tangan si nenek bukan ranting kering biasa, melainkan sebuah senjata sakti yang mengandung racun
luar biasa. Cepat-cepat Wiro ke luar dari kalangan pertempuran dan kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa panjang.
"Jangan harap kau bisa hidup lebih dari satu jam, pemuda keparat! Rantingku ini
mengandung racun yang jahat sekali!"
Wiro tetap tenang. Dia tidak yakin racun ranting si nenek akan menamatkan riwayatnya.
Sewaktu digembleng di puncak Gunung Gede, tubuhnya telah diberi kekuatan oleh Eyang Sinto
Gendeng, kekuatan yang membuat dia kebal terhadap segala racun yang bagaimanapun jahatnya.
Apalagi saat itu dia sudah kerahkan tenaga dalamnya.
Si nenek tertawa lagi.
"Selamat tinggal orang muda! Nasibmu ternyata sial di Pulau Madura ini! Nantikanlah saat
kematianmu di depan mata!"
Habis berkata begini si nenek segera putar tubuh dan berkelebat meninggalkan tempat itu.
"Manusia keriput! Tunggu dulu! Aku tak sudi kau pergi sebelum menerima sedikit
pembalasan hormat dariku!" teriak Wiro Sableng. Sekali dia melesat maka tahu-tahu tubuhnya
sudah berada dihadapan si nenek, menghalangi lari perempuan tua itu. Tentu saja kejut si nenek
bukan tanggung-tanggung. Matanya melotot membeliak.
"Nyalimu keliwat besar!" teriaknya. "Apakah mau mampus saat ini juga bedebah?!"
Wiro bersiul nyaring.
"Soal nyawa jangan diributkan perempuan keriput! Terima pukulanku ini!"
Wiro Sableng hantamkan tinju kanannya ke depan. Di saat itu pula si nenek sapukan
rantingnya ke muka. Maka tak ampun lagi tinju dan rantingpun beradulah.
Wiro kerenyitkan kening menahan sakit. Kulit tangannya kelihatan lecet sedang ranting di
tangan si nenek mental dan patah berantakan. Si nenek beringas sekali melihat ranting keringnya
dimusnahkan lawan. Dia melompat ke muka dengan sepuluh jari tangan terpantang.
"Cengkeraman Garuda Sakti" seru Pendekar 212 begitu dia mengenali jurus serangan lawan.
Sekali tubuh kena dicengkeram pastilah daging dan tulang-tulangnya akan hancur remuk. Cepat-
cepat Wiro menyurut mundur dan buat satu liukkan, kemudian hantamkan tangan kanan ke depan,
melepaskan "Pukulan Kunyuk Melempar Buah" yang disertai hampir setengah bagian tenaga
dalamnya.
Si nenek melengking penasaran sewaktu serangannya tertahan oleh satu gelombang angin
yang laksana satu gumpalan batu keras. Dengan kalap dia menyeruak dari samping dan begitu
pukulan Pendekar 212 lewat dengan serta merta dia lepaskan dua jotosan dan dua tendangan jarak
jauh. Empat serangan ini hebatnya bukan main. Debu dan pasir jalanan menderu.
Empat angin pukulan si nenek laksana air bah merambas tubuh Pendekar 212. Murid Eyang
Sinto Gendeng ini terpaksa melompat beberapa tombak ke atas. Sambil turun ke bagian yang aman
Wiro lepaskan "Pukulan Angin Puyuh".
Empat angin pukulan si nenek dan satu gelombang angin pukulan Wiro Sableng saling
bentrok menimbulkan suara letusan nyaring, menggetarkan tanah tempat berpijak. Si nenek
terpelanting sampai enam langkah sedang kedua kaki Wiro Sableng tenggelam ke tanah sampai
sedalam tiga senti.
Bukan main geramnya si nenek. Ternyata si pemuda memiliki ilmu yang tidak rendah
sebagaimana yang disangkanya. Dalam luapan amarah, nenek keriput ini segera cabut batang
belimbing di tepi jalan. Dengan mempergunakan pohon itu sebagai senjata dia segera menyerang
Wiro Sableng.
"Hebat!" seru Wiro sambil berkelit cepat. Pohon belimbing yang di babatkan si nenek
menderu menghantam pohon lain di belakangnya, membuat pohon ini tumbang bergemuruh. Dapat
dibayangkan bagaimana kalau batang pohon belimbing itu melanda tubuh Wiro Sableng.
Laksana memegang sebuah sapu lidi, demikianlah si nenek pergunakan pohon belimbing itu
untuk menyapu dan membabat lawannya. Wiro Sableng geleng-geleng dan garuk-garuk kepala.
Belum pernah ia menghadapi lawan yang demikian kalapnya seperti si nenek ini sehingga mau
mencabut sebatang pohon dan menyerang dengan pergunakan pohon itu sebagai senjata. Di
samping kagum, Wiro juga kepingin tahu siapa sesungguhnya manusia ini.
"Nenek, sesuai dengan peradatan dunia persilatan harap kau terangkan siapa nama atau gelarmu!" seru Wiro.
"Bakul kentut! Kau bisa tanya nanti pada cacing-cacing di liang kubur!" Dan si nenek
babatkan lagi pohon belimbing di tangannya.
"Buset!"
Wiro berkelebat cepat.
Si nenek penuh penasaran memandang berkeliling. Lawannya lenyap seperti ditelan bumi.
"Setan alas kau lari ke mana hati?!" teriak nenek-nenek itu.
Di belakangnya terdengar suara tertawa.
"Nenek-nenek kurasa matamu belum begitu kabur hingga tak tahu kalau aku berada di sini!"
Begitu putar tubuh begitu si nenek hantamkan batang belimbing ke pohon di belakangnya.
Kraak!
Pohon di tepi jalan patah dan tumbang. Wiro Sableng yang tadi memang melompat dan
berdiri di salah satu cabang pohon itu, berkelebat ke pohon lain dan berdiri di salah satu cabangnya
sambil tertawa-tawa mengejek.
"Setan alas! Apa kau kira aku tidak sanggup mengejarmu ke atas sana?!" teriak seraya
lemparkan pohon belimbing ke tepi jalan kemudian melompat sebat ke cabang pohon di mana Wiro
berdiri.
Tapi kemengkalannya jadi bertambah-tambah karena begitu ia menginjak cabang pohon,
Wiro Sableng sudah lenyap dari cabang itu. Dan bila dia memandang ke bawah maka dilihatnya si
pemuda berdiri bertolak pinggang di jalan kecil, cengar-cengir ke arahnya.
Si nenek sampai melengking nyaring saking gemasnya. Dia keruk satu jubahnya dan
berteriak. "Pemuda keparat! Terima ini!"
Selusin senjata rahasia yang berbentuk paku hitam melesat ke arah Wiro Sableng dalam
bentuk lingkaran. Wiro pukulkan tangan kanannya ke atas. Enam paku mental jauh sedang enam
lainnya amblas ke dalam tanah. Di saat itu pula si nenek sudah turun ke tanah kembali dan kirimkan
serangan berantai ke arah Wiro.
"Nenek! Ilmumu memang tinggi. Tapi aku tak begitu suka bertempur dengan orang lain
tanpa alasan! Apalagi kalau tidak tahu asal usul dan namanya!"
"Pemuda sialan, jangan jual kentut! Kau tak akan kulepaskan hidup-hidup!" hardik si nenek.
Kembali dia kirimkan selusin paku hitam dan susul dengan serangan berantai.
Pendekar 212 angkat kedua tangannya. Saat itu pertempuran sudah berjalan tiga puluh jurus
lebih. Wiro kini tak mau main-main lagi. Begitu kedua tangannya dipukulkan ke muka maka
gelombang angin yang laksana topan menderu. Inilah "Pukulan Benteng Topan Melanda Samudera" yang kedahsyatannya bukan saja membuat selusin paku hitam itu mental tapi juga
membuat si nenek terguling di tanah sampai enam tombak.
Belum lagi sempat bangun Wiro memburu tak kasih ampun. Dua tangannya melesat ke
pangkal leher si nenek, siap untuk menotok. Tapi lebih cepat dari itu si nenek keluarkan sebuah
benda berbentuk bola berwarna hitam. Bola hitam ini dilemparkan ke arah Wiro. Satu letusan
terdengar. Dalam kejap itu pula asap hitam tebal menggebu menutup pemandangan, Wiro Sableng
tak dapat melihat apa-apa dan cepat-cepat melompat ke samping. Tapi dia masih juga terkurung
oleh asap hitam yang gelap itu. Dia melompat sekali lagi, dua kali lagi dan barulah bisa keluar dari
kurungan asap hitam yang membutakan pemandangannya.
Beberapa saat kemudian ketika asap hitam itu sirna dengan perlahan maka si nenek sudah
lenyap dari tempat itu. Dan betapa terkejutnya Pendekar 212 karena di seberangnya kini berdiri tiga
manusia lain.