Baixar aplicativo
The Secret of Two Moons The Secret of Two Moons original

The Secret of Two Moons

Autor: musmusmus

© WebNovel

The Beginning of Everything

Tahun 2020....

Lampu tumblr memenuhi sisi pinggir kolam, tiang tembok putih, dan meja-meja yang berisi set minuman dan aneka jenis makanan dessert. Bukan hanya terang dengan berbagai macam warna, suasananya juga diselimuti oleh musik pop yang biasa didengar oleh kalangan anak muda. Musik itu membuat siapapun yang mendengarnya merasakan kesenangan di bawah rembulan langit malam. Salah satu dari mereka yang merasakan kesenangan itu, ada yang menyatakan cinta di tengah kerumunan.

"Ehem! Amrita. Mau ngomong, boleh ngga?"

Lelaki yang berpakaian kaos didobel dengan jas joklat senyum grogi di depan Amrita yang hanya berpenampilan dress hitam dan rambut di kuncir kuda. Amrita sudah menebak apa yang ingin dikatakan lelaki di hadapannya. Tapi dia berpura-pura tidak mengerti apapun.

Sambil meneguk minumnya, Amrita berkata, "Apa?"

"Kamu tau engga, kenapa sekarang bulan ada dua?"

Amrita reflek melihat bulan di langit dan kedua telinga tidak berhenti menerima suara siulan dan cuitan dari semua orang yang menontonnya.

"Fenomena alam?" jawab Amrita

"Salah." kata lelaki itu

"Lalu apa?" tanya Amrita lagi.

Siulan dan cuitan semakin terdengar keras. Amrita pun tidak luput dari colekan di punggungnya.

"Sikat Braay sikaaat!!" kompak kerumunan.

"Jawabannya itu karna bulan di atas sana telah menemukan cintanya. Seperti hatiku yang menemukan hatimu," kata lelaki itu. Sorak sorai tepuk tangan mengiringi siulan yang semakin keras. Dan pada akhirnya, Amrita mendengar sebuah kalimat yang sudah pasti terjawab. "Ta, mau ngga jadi pacar aku?"

"Terima! Terima! Terima!" sorak sorai para kerumunan.

Amrita menggelengkan kepalanya tapi bibirnya tidak dapat menahan cekikikan tawa. Amrita menaruh gelasnya di meja. Kemudian dia memegang pundak lelaki yang menyatakan cinta kepadanya, "Rey. Aku saaaaangat berterima kasih atas hatimu. Kau juga orang yang saaaangat perhatian. Tapi sayang, bentuk hati kita ngga sama....tetep temenan aja yuk" lembut Amrita.

Para penonton menyerukan suara kekecewaan. Amrita dapat membaca wajah Rey yang kecewa tapi tetap mempertahankan sebuah senyuman. Walaupun sebenarnya Amrita merasa bersalah, Amrita harus mengatakan hal yang jujur karena Amrita tidak mau menipu diri sendiri dan orang lain. Amrita tau kalau setelah ini pasti hubungannya dengan Rey yang tadinya begitu akrab akan menjadi canggung satu sama lain walaupun mereka satu rekan kerja.

Lalu tiba-tiba....

BOM!!

Sebuah pesawat menabrak tempat dimana Amrita dan teman-temannya sedang berpesta. Tubuh Amrita terpental dan terkena pecahan beling jendela hotel. Api berkobar dari ledakan pesawat dan percikan listrik menyeru kemana-mana. Tubuh Amrita yang terpental menjadi terpelungkup tertimpa reruntuhan bangunan. Wajah Amrita mengalir darah segar dari kepalanya. Secara perlahan, mata Amrita tertutup dan pandangan menjadi gelap.

xxxxxx

Tahun 1610.....

Di jalanan, banyak warga yang masih menggunakan baju kebaja dan rok kain batik coklat. Hampir motif kain batik mereka sama antara satu dengan yang lainnya. Mereka yang berlalu lalang baik itu berbelanja ataupun pulang dari habis mencuci baju di sungai, selalu berpapasan dengan bala tentara Belanda yang memegang pistol karena sedang berpatroli. Tidak ada satu pun orang yang melihat bala tentara Belanda yang tidak tunduk hormat. Karena jika mereka tidak tunduk hormat, kepala mereka akan dilubangi oleh sebuah peluru. Maka dari itu, bala tentara Belanda adalah pasukan yang paling menakutkan. Namun diantara pasukan yang paling menakutkan, ada seorang Pemuda Belanda yang bertunggang kuda. Pemuda itu berkulit putih porselen tapi tatapan matanya yang biru terkesan begitu tajam dan menakutkan. Disekelilingnya dijaga ketat oleh bala tentara Belanda yang terlihat seperti pasukan khusus untuk menjaga pemuda itu.

Kemudian pemuda itu melihat seorang kakek tua yang tidak sengaja menumpahkan air timbaannya dari sungat ke sepatu salah satu bala tentara. Bala tentara itu langsung menendang dan menginjak kakek tua itu.

Pemuda itu tidak berkutik. Bala tentara itu melepaskan kakek tua itu ketika pemuda itu melewatinya. Pemuda itu melirik tajam ke bala tentara itu.

"Goedenavond, Jonge Meester Reinier!" saut hormat bendera bala tentara itu.

Reinier membuang padangannya dengan sinis. Dia kembali memerintahkan kudanya melanjutkan perjalanan.

xxxxxxx

Di sisi lain....

Amrita membuka matanya. Kepalanya terasa sangat pening dan nyeri. Sambil memegangi belakang kepalanya, Amrita bangun dari tidurnya. Mata yang buram perlahan menjadi jelas. Amrita mendapati dirinya berada di sebuah kamar yang desainnya sangat tua. Semua furniture terbuat dari kayu. Tidak ada jendela. Amrita terheran-heran kenapa dirinya bisa ditempat seperti ini. Yang paling terheran, dirinya memakai satu set kebaya tua dan rambutnya tiba-tiba panjang dikepang dua, "Apa ini?" gumam Amrita.

Amrita tidak melihat sama sekali handphone dan tasnya. Tidak ada satu pun cermin juga di ruangan ini. Rasa herannya bercampur dengan rasa curiga. Terakhir kali dia ingat bahwa dia sedang berpesta dengan teman-temannya di salah satu kolam renang hotel. Dan kemudian tiba-tiba tubuhnya terpental dan dia melihat kolam renang porak poranda akibat ada sebuah moncong pesawat masuk menabrak bangunan hotel.

"Aku....hidup?" gumam Amrita.

Kejadian itu adalah sebuah malapetaka yang mengerikan. Amrita yakin kalau seharusnya dirinya sudah mati karena sebuah ledakan pesawat. Amrita buru-buru turun dari kasur. Berlari membuka pintu. Matanya membelak terkejut melihat seluruh wanita memakai satu set kebaya tua yang seragam. Sekeliling rumah ini juga terdesain gaya Belanda. Tidak ada satupun benda elektronik modern yang terlihat. Hanya sebuah telfon tua. Amrita buru-buru memakai telfo tersebut, menekan nomor ponsel ayah dan ibunya. Tidak ada satupun nomor yang dia bisa hubungi.

"Sumiyati." Seorang wanita lain yang berpakaian sama seperti dirinya memanggil dirinya Sumiyati, "Apa yang kau lakukan? Kita dilarang untuk telfon siapapun. Cepat taro telfonnya sebelum master melihatmu. Kau bisa dalam masalah tau."

Amrita sama sekali tidak paham apa yang dibicarakan, "Maaf. Namaku bukan Sumiyati. Namaku Amrita,"

Wanita itu malah terheran-heran, "Kau ini bicara apa? Sejak kapan kau ganti nama Amrita?"

Amrita semakin terkejut. Dia menaro telfon itu. Dia berlari ke pintu. Saat dia melihat sekeliling, dia berapa di sebuah kediaman yang mempunyai halaman depan yang luas. Di gerbang ada dua penjaga Belanda yang berpakaian jaman dahulu kala dengan topi kuno dan pistol kuno. Dan semua orang yang ada di sini tidak ada yang memakai pakaian casual.

"Permisi, aku mau tanya, tahun berapa ini?" desak Amrita, dia mencegat salah satu wanita lain yang mau keluar dari rumah membawa sebuah bakul.

"Ha? Tahun...." mata wanita itu melihat-lihat keatas seolah-olah dia sendiri bingung jawaban apa yang harusnya dijawab.

Karna greget sendiri, Amrinta menjadi kesal, "Haduh! Yasudah Lupakan tahun. Apa kau tau sudah berapa tahun ada orang belanda di sini?" desak Amrita lagi.

"Kayaknya udah hampir lebih dari tiga tahun,"

Amrita menarik nafasnya dalam-dalam. Mulutnya menganga. Matanya melebar. Amrita tidak mau percaya apa yang dia dengar tapi memang apa yang wanita ini katakan adalah kenyataan saat ini.

"Aku...kembali ke jaman Belanda...?" gumam lesu Amrita. Dia tidak mau mengakui tapi apa yang sedang terjadi memang nyatanya. Pikiran Amrita menjadi kacau balau. Saking kacaunya tidak menyadari semua orang yang melihat terheran-heran karena wajah Amrita memucat panik. Kaki Amrita pun sulit untuk digerakkan sehingga Amrita melangkah berat ke belakang. Nafas Amrita semakin sulit seakan-akan asma bersinggah di paru-parunya. Dia kemudian lari. Amrita kembali ke ruangan yang pertama kali dilihat tadi. Mengunci pintu dan langsung menjauhi pintu.

"ngga mungkin...bagaimana aku berakhir seperti ini? Bagaimana bisa aku kembali ke jaman penjajahan Belanda....?! engga. engga!...ini pasti mimpi. Aku harus cepet-cepet bangun dari mimpi ini..!" Amrita mencubit tangannya, "Ow!" Amrita merasakan sakit di tangannya, "yah...ini bukan mimpi.... Aku benar-benar time travel seperti di drama dan ada di jaman penjajahan Belanda...! Bagaimana ini...bagaimana ini...aku ngga bisa hidup disini...aku ngga mau hidup di jaman penjajahan...!" Amrita stress sendiri. Dia memegangi kepalanya. Amrita pusing. Jantungnya makin berdebar karna kepanikan.

"Oke....oke.....tarik nafas...keluarkan.....tarik nafas....keluarkan..." Amrita berusaha untuk tenang, "Oke...ini pasti ada jalan keluarnya. Aku pasti bisa survive...right....aku harus menerima hidup ini...." Amrita mulai menerima kenyataan, "ah tapi kenapa aku harus jadi babu? Di tv drama biasanya kan juga jadi seorang lady atau concubine. Kenapa aku malah jadi begini ish..!!" gerutu Amrita.

klik.

Tiba-tiba Amrita melihat seorang pria muda Belanda masuk ke kamarnya. Tubuh Amrita menegang dan tidak bisa memalingkan pandangannya dari pria muda Belanda itu. Mata hitam Amrita bertemu dengan mata hijau pemuda Belanda. Amrita bergulat sendiri dengan emosi ketakutan melihat pemuda itu. Tapi Amrita tetap berusaha untuk menekan rasa takutnya.

"Rupaya kamu sudah bangun. Aku pikir kamu masih pingsan," pemuda Belanda itu melihat meja kayu Amrita, "Obatnya belum kamu minum."

Amrita melihat memang ada obat yang dikemas dengan botol kecil gelap, "Uhmm maaf sebelumnya, apa aku sakit?" tanya Amrita

"Kamu pingsan dan kepala kamu panas sekali. Aku memanggil dokter untuk melihat kondisi kamu. Dokter bilang kamu kamu kelelahan saja,"

Perkataan bahasa indonesia yang sangat baku sedikit terasa aneh bagi Amrita. Biasanya Amrita berbincang bahasa inggris kalau bertemu orang luar, namun kalau Amrita memakai bahasa inggris, dirinya pasti dicurigai dan nyawanya terancam karena dunia saat ini adalah dunia zaman perang.

"Oh...begitu. Terima kasih banyak atas perhatian Anda," angguk sopan Amrita. Entah kenapa Amrita tidak bisa berhenti menatap tatapan mata hijau itu.

"Herold."

Seorang pemuda lelaki lain muncul. Kali ini pemuda itu mempunyai mata biru tapi mata biru itu mempunyai tatapan yang tajam sekaligus dingin. Indah sekaligus menegangkan.

"Oh Reinier. Je bent aangekomen," (Oh Reinier, kau sudah sampai?) kata Herold

"wat ben je aan het doen?" (Sedang apa kau disini) tanya Reinier

"Ze viel flauw. Ik wil gewoon naar haar kijken." (Dia pingsan tadi. Aku ingin lihat bagaimana kondisinya)

"geef niet veel zorg aan slaven. Ik wil niet dat ze door jouw zorg een verwende slaaf is geworden," (Jangan terlalu perhatian padanya. Aku tidak mau nanti dia menjadi babu yang tidak tau diri akibat dari perhatianmu itu)

Reinier dan Herold berbincang dalam bahasa Belanda. Untung saja Amrita menguasai beberapa bahasa asing termasuk Belanda akibat dari kesukaannya tentang bahasa dunia. Apa yang dibicarakan antara Reinier dan Herold sangat dimengerti apa maknanya. Amrita jadinya kesal dipandang tidak sopan seperti ini. Amrita pun membuat ucapan protes dalam bahasa Belanda.

"Maaf ya permisi. Maksudnya apa ya kalau aku engga akan tau diri kalau dikasih perhatian. Tidak sopan sekali Anda. Memangnya saya serendah itu apa?! Saya juga tau diri kok. Saya tau dimana harus menjaga sikap. Ish! Mentang-mentang orang Belanda bisa seenaknya bilang ngga sopan seperti itu!" omel Amrita sambil berkacak pinggang.

Reinier dan Herold melongo. Sepanjang tahun tidak ada babu yang bisa berbahasa Belanda selancar ini. Kosakata yang dipilih pun ada beberapa yang tidak pernah didengar sebelumnya.

"Kau...kau bisa berbahasa Belanda?" tanya Herold

"Kenapa emang? Ngga suka?! Ngga boleh babu sepertiku berbicara bahasa Belanda?!" gas Amrita.

"Ngga ada seorang pun babu di sini diajarkan bahasa kami." kata Reinier.

Amrita diam seketika. Reinier menaruh wajah curiga. Herold menaruh wajah terkejut. Mata Amrita langsung dipalingkan ke lantai dan ke sekeliling ruangan. Amrita mencibir sendiri dan mengutuk diri sendiri. Wajahnya merengut rengut kesal sendiri.

'Aishh....dasar bodoh. kenapa aku malah terbawa emosi?! Kalau aku bilang datang dari masa depan, mereka pasti akan menganggapku gila. Nyawaku semakin terancam yang ada. Ishh....bodoh kau Amrita! Bodoh!' gerutu Amrita dalam pikirannya.

Reinier mendekati Amrita. Amrita yang sadar kalau Reinier semakin lama langkahnya semakin dekat, Amrita berjalan mundur. Reinier terus membuat Amrita mundur ke belakang sampai tubuhnya menempel mentok ke tembok.

"M-mau apa kau..? Ja-Jangan dekat-dekat!" protes Amrita. Kali ini dia memakai bahasa Indonesia. Jantung Amrita berdebar. Wajah lelaki ini sunggu tampan luar biasa. Apalagi ditatap dengan mata biru yang tajam itu, membuat Amrita tidak bisa fokus akibat rasa terpana tercampur dengan rasa was-was. Jantungnya makin berdebar ketika wajah Reinier sangat dekat wajah Amrita.

"Kau. Siapa?" tanya Reinier dalam bahasa Belanda.

Amrita meremas rok kebayanya, 'Apa-apaan ini. Kenapa dia bertanya hal seperti itu? Apa dia tau aku bukan pemilik tubuh ini? Jangan....jangan sampai dia tau! Aku bisa dalam bahaya! Bagaimana ini....bagaimana aku harus menjawabnya...?!" pikir panik Amrita.

"A-Aku...." Amrita mencoba untuk memberikan jawaban yang masuk akal, "Otodidak!" saut Amrita dalam bahasa Indonesia.

"Apa?"

"S-Saya belajar sendiri. Bukankah tugas saya adalah melayani kalian bukan? J-Jadi karena seringnya saya mendengar percakapan Belanda, saya sering belajar sendiri. D-Dan juga saya selalu memperhatikan gerakan tubuh Anda semua setiap berbicara," karang Amrita. Walaupun dia tidak yakin dapat menyembunyikan rasa panik diwajahnya, setidaknya dia mencoba untuk percaya diri dengan omongannya.

Reinier tidak berkata apapun. Amrita tidak tau kalau dirinya berhasil meyakini lelaki Reinier ini atau tidak. Kemudian Reinier berbalik badan. Dia mengajak herold keluar. Padahal Herold masih terpagu melihat Amrita. Setelah Reinier dan herold keluar, nafas Amrita langsung lega dan kakinya melemas. Tubuh Amrita terperosot kebawah. Amrita merasa kalau dirinya baru saja lolos dari maut. Amrita memegang kedua tangannya yang bergetar. Mata Amrita pun mulai berkaca. Untuk pertama kalinya Amrita merasakan sebuah rasa takut sebesar ini.

xxxxxx

Di ruang tempat berkumpul Reinier yang dimana terhias sebuah lukisan kuda yang besar dan perabotan kayu, Reinier dan Herold duduk di depan jendela yang menampilkan pemadangan halaman belakang. Reinier meneguk teh yang disediakan dari para pelayan pribumi. Reinier terlihat santai dengan wajah dinginnya. Berbeda dengan Herold yang terlihat penasaran terhadap Amrita.

"Reinier, memangnya ada kemungkinan kalau bahasa kita bisa dipelajari lewat gerakan dan ucapan? Aksennya lancar banget. Dan ada beberapa kata yang belum pernah kudengar sebelumnya. Apa dia...benar-benar belajar sendiri?" tanya Herold.

"Mau darimana dia belajar, itu bukan urusanku. Dia hanyalah babu. Jika emang dia punya sesuatu yang disembunyikan, cepat atau lambat pasti akan terungkap," cuek Reinier tanpa mengalihkan pandangannya ke halaman belakang.

Meskipun Reinier sendiri berkata demikian, Herold tidak bisa berpendapat sama. Aksen dan kosakatanya jauh dari kata pemula. Bahkan terdengar seperti sudah terbiasa berbicara bahasa Belanda. Herold pun tidak pernah mendengar ada orang pribumi Indonesia yang bisa berbahasa Belanda selancar itu. Sekali pun Herold menemukan, orang itu adalah orang terpandang. Saking jarangnya ada orang pribumi yang tidak memiliki status sosial dapat berbicara bahasa Belanda, Herold harus menguasai bahasa Indonesia sedalam mungkin.

Sepertinya, Herold harus mencari tau sendiri bagaimana bisa seorang babu yang tidak mempunyai status sosial bisa berbahasa Belanda.

"Reinier, aku rasa sudah waktunya harus kembali. Sebentar lagi makan malam juga, jadi ngga bisa lama-lama di sini," kata Herold sambil bangkit dari duduknya.

"Oh yaudah. Maaf sempat kau jadi menunggu lama tadi karna aku keluar untuk berkeliling sebentar."

"Ngga masalah. Besok aku datang lagi untuk main seperti biasa," kata Herold.

"Datang saja kapanpun yang kau mau," kata Reinier.

xxxxxxx

Entah sudah berapa kalinya Amrita menghela nafas sambil menyapu. Saat ini Amrita sedang menyapu halaman belakang. Walaupun Amrita tidak sendirian, tetap saja Amrita berkeluh kesah karena dirinya tidak pernah melakukan pekerjaan menyapu halaman seluas ini.

Wuushhh!

Angin kencang berhembus. Kumpulan daun yang tadinya dikumpulkan Amrita berserakan kemana-mana lagi, "Aish! Ahelah!!" Amrita kesal sambil melempar sapu keras-keras ke atas rerumputan, "Baru aja disapu! Berantakan lagi berantakan lagi! Kalau seperti ini terus kapan kelarnya aku?! HISH!! Ahelah!! Ish!" Amrita menyetak-nyentakan kakinya dengan sebal dan tubuhnya bergerak-bergerak mengeluh kesal, "Haaaaaaaa.....aku mau pulang.....AKU MAU PULAAAAAAAANG!!" Amrita berteriak ke atas langit. Keluh kesahnya hilang sesaat dan digantikan dengan rasa malu yang besar ketika Amrita sadar kalau dirinya telah jadi bahan tontonan semua pesuruh yang ada dihalaman belakang. Saking malunya, Amrita menutup-nutupi jidatnya dan menundukan wajahnya. Berharap wajahnya bisa disembunyikan walaupun Amrita tau usaha ini hanyalah sia-sia.

Amrita kembali menyapu untuk menumpukan dedaunan yang berserakan. Tapi sekali lagi angin berhembus kencang, seolah-olah mengusili Amrita supaya pekerjaan tidak kelar. Amrita membusungkan dadanya kuat-kuat, dia menahan luapan emosi yang telah memuncak ke ubun-ubun. Lalu Amrita berusaha untuk menenangkan luapan emosinya.

Amrita pun melempar sapu sembarangan. Amrita menghela nafasnya kencang mungkin seolah-olah Amrita mempersiapkan energi dan semangat dalam dirinya. Baju kebaya berlengan panjang Amrita gulung sampai diatas siku. Kedua telapak tangannya saling memijat satu sama lain. "Mulai!" seru Amrita sendiri. Dia memungut daun itu satu persatu sampai tangannya penuh. Kemudian daun itu dibuah di tempat sampah. Amrita terus memungut daun pakai tangan sampai tidak ada yang tersisa.

Dan pada akhirnya, halaman belakang telah bersih dari daun-daun kering. TUbuh Amrita letih luar biasa. Leher Amrita dipatahkan ke kanan dan ke kiri. Pinggulnya di maju mundurkan ke depan belakang. Otot-otot lengannya di tarik kuat-kuat ke langit. Kepala Amrita menegok ke segala arah, "sepertinya ngga ada orang. Tiduran sebentar ngga akan ada yang tau ini," kata Amrita

Dia tiduran terlentang di atas rerumputan. Langit sore semakin berwarna oranye. Kemudian kedua tangannya dijadikan bantalan kepala. "Langit tetap ngga berubah ya....sekarang dan di masa depan...kalau sore pasti tetap oren...tapi kenapa....hidupku ngga bisa sama...?" Amrita merengek kesal dan meraung-raung kesal. "Au ah bodo," gerutu Amrita. Dia mentelungkupkan tubuhnya dan menaruh kepalanya di atas lipatan tangan sebelum memejamkan mata.

Kalau di sekitar halaman belakang memang tidak ada orang lagi selain Amrita. Tapi di balik jendela, ternyata Reinier melihat semua hal yang dilakukan oleh Amrita.

xxxxxxxx

Tubuh Amrita yang masih belum hilang letihnya, masih harus dibuat semakin letih lagi dengan membantu menyiapkan makan malam. Tapi untuk kali ini, Amrita tidak melontarkan rengekan ataupun keluhan seperti tadi sore. Amrita melongo melihat menu makan malam yang disiapkan untuk sang majikan. Amrita kira yang namanya ayam kecap adalah makanan yang ada sejak tahun 2000. Ternyata makanan kecap ini sudah ada sejak jaman Belanda. Mulai dari ayam kodok, semur daging, perkedel dan selat solo. Beberapa desert seperti Klappertaart dan Kue Cubit juga sudah ada di jaman Belanda.

"Wah, jadi benar ya semua makanan ini emang dari Belanda. Padahal makanan ini jadi khas Indonesia di masa depan," gumam Amrita. Kemudian Amrita membantu salah satu pesuruh yang tangannya penuh membawa makanan.

Saat majikan datang, Amrita tidak bisa melepaskan pandangannya. Amrita terpaku pada pria paruh baya yang umurnya hampir sekitar 30 atau 40 tahunan. Wajah yang tersebar meluas di sejarah Indonesia. 'ini dia! Ini dia! Johan van Oldenbarnevelt! Pendiri VOC yang masuk ke Indonesia? Waaah daebak!' pikir Amrita, 'aku ngga nyangka bisa melihat wajahnya secara langsung kayak gini. Rasanya aku sudah terjun dalam dunia drama,' lanjut pikiran Amrita.

Tatapan terkejut dan terkesima Amrita disadari oleh Johan. Amrita menjadi panik sendiri. Saking paniknya, muncul ide konyol dalam pikirannya, "Selamat makan malam Tuan Johan dan Tuan Muda Reinier!" hormat Amrita.

Walaupun tidak ada jawaban, Johan dan Reinier hanya melihat sekilas Amrita dan mengacuhkan Amrita. Berkat pengacuhan mereka, perasaan tegang Amrita sedikit plong dan sedikit bernafas lega. Karna bagaimaan pun, sejarah VOC yang sudah tercacat bukanlah sejarah yang membawa kebahagiaan.

xxxxxx

Di sebuah rumah bergaya jawa yang terpencing di tengah hutan, berkumpul beberapa pemuda dan paruh baya. Mayoritas berpakaian kemeja jaman Belanda dan terlingkar ikat pinggang yang tergantung sebuah golok. Mereka juga memakai blangkon khas jawa. Mereka semua berkumpul berbentuk lingkaran. Di tengah-tengah mereka, terbentang sebuah peta strategi, tampaknya mereka akan melakukan sesuatu yang berbahaya.

"Kita akan jalankan sesuai dengan tugas masing-masing. Dua anak Belanda itu sudah terlalu sering berburu di hutan semenjak mereka datang setahun yang lalu. Aku juga sudah mengamati ada sebuah titik yang sering diambil sama mereka untuk beburu. Setelah aku berhasil menyelamatkan Sumiyati, aku akan bergabung dengan kalian." kata seorang pemuda yang memiliki ikatan kain warna merah di lengannya.

"Sumiyati lebih baik dibawa dulu ke markas. Jangan khawatirkan kita. Jaga aja Sumiyati, kita pasti bawa dua anak Belanda itu," kata pemuda berambut keriting

"Iya itu aku setuju. Kaulah yang harusnya paling siaga. Kau bawa Sumiyati, yang jelas-jelas telah menjadi budak mereka seumur hidup. Kalau kau ketauan, maka bukan kau dan Sumiyati saja yang akan terancam, tapi keluarga dan sodara kita semua." kata pemuda yang berkepala botak.

"Yaudah. Tapi kalian harus hati-hati. Walaupun mereka cuman remaja, tapi mereka sangat mahir dalam berburu. Burung yang terbang saja bisa mereka tembak tanpa meleset. Kalau kita gagal menangkap mereka, kita ngga akan pernah bisa menaklukan Belanda dan pergi dari tanah air ini."

"Ya. Pasti. Kita pasti siaga banget."

Rombongan pemuda tersebut pun menekatkan niatnya untuk melaksanakan misi mereka esok hari.

xxxxxx

Makan malam sudah selesai. Perabotan sudah dicuci. Kini waktunya semua pesuruh mendapat waktu istirahat. Rasanya senang sekali Amrita bisa istirahat dan mandi. Yah walaupun kamar mandi yang dipakai Amrita jauh dari kata layak alias lantai terbuat dari semen dan menimba air sumur dulu sebelum mandi, setidaknya saat ini Amrita bisa tiduran dengan nyaman di kasurnya.

"Haaahh...sepi sekali. Hanya ada suara jangkrik. Ngga ada musik. Ngga ada internet. Ngga ada handphone. Dan ngga ada TV. Aku heran, bagaimana bisa mereka bertahan di situasi seperti ini? ngga ada apa-apa. Terlebih lagi....aku ada di dalam tubuh gadis yang bernama Sumiyati. Kira-kiranya wajahnya seperti apa ya? Apa aku jelek?" kata sedih Amrita sambil memegangi wajahnya. Kemudian tangannya dibentangkan ke samping, "Aku ingin sekali melihat rupa gadis ini," Amrita melihat seluruh tubuh Sumiyati, "Kalau dilihat-lihat, tubuhnya ngga buncit. Bentuk tubuhnya sih lumayan bagus. Jemari tangannya pun juga lumayan lentik. Apa di sini benar-benar ngga ada kaca?"

Dan tiba-tiba, sebuah ide gila kembali muncul di pikiran Amrita.

"Ini adalah kamar pembantu. Sudah pasti ngga ada kaca. Karna, siapa pula yang memperhatikan penampilan pembantu. Makanya pembantu disini semua pakaian sama dan gaya rambutnya pun cuman konde biasa. Satu-satunya yang paling memperhatikan penampilan adalah Johan dan Reinier. Benar juga! Kamar mereka!" seru semangat Amrita.

Amrita menunggu beberapa jam. Entah jam berapa, Amrita yakin kalau saat ini sudah waktunya dia mengendap ke kamar Reinier.

Kamar Reinier ada di lantai dua paling pojok. Perlahan dan pasti, kaki Amrita mengendap-ngendap ke kamar Reinier. Mungkin Amrita sudah setara dengan seorang maling yang mau merampok di tengah malam. Perlahan dan pasti juga Amrita membuka gagang pintu. Mengendap-endap seperti ini bukanlah hal yang pertama kali dia lakukan. Amrita selagi masih dalam tubuhnya yang lama, sering mengendap-endap ke kamar kakaknya untuk mengusili kakaknya yang sedang tidur.

Seperti yang Amrita duga, ada sebuah cermin di kamar Reinier. Walaupun tidak sejernih cermin di masa Amrita, wanita yang aslinya berumur 25 tahun ini dapat melihat sosok gadis Sumiyati.

'Oooh, wajahnya lumayan imut ternyata ya. Matanya benar-benar bulat. Pasti mirip ibunya. Tapi gaya rambutnya jelek sekali. Ngga ada poni. Hanya lurus, panjang dan rata. Tck. Ngga heran kalau jaman belanda dianggap orang-orang jaman dulu. Aku Ngga suka penampilannya...karna ini adalah tubuhku sekarang, aku bisa melakukan apapun. Fufu' pikir senang Amrita.

Amrita langsung mengambil gunting. Lalu Amrita menarik karet gelang di pergelangan tangannya yang selalu dijadikan ikat rambut. Amrita melihat ke arah kasur. Reinier sedang tertidur pulas membelakangi Amrita. Senyum senyum senang tidak bisa Amrita hapus dari bibirnya. Amrita pun mulai mengikat rambutnya dan memotong rambutnya sesuai dengan gaya yang diinginkan.

Amrita pun selesai memotong rambutnya. Amrita segera mengambil sisa potongan rambutnya dan membersihkan lantai sebersih mungkin. Setelah memastikan tidak ada satu helaipun potongan rambut yang tertinggal, Amrita langsung kembali mengendap keluar.

Klik.

"Jangan bergerak."

Tubuh Amrita menegang. Nafas Amrita seolah-olah sesak hampir mau berhenti. Amrita makin panik dan ketakutan ketika kepalanya bersentuhan dengan ujung pistol. Amrita tidak menyangka kalau Reinier terbangun dan melihatnya.

"Tunjukan wajahmu." perintah Reinier

Nafas Amrita kembali terburu cepat. Kaki dan tangannya lemas sampai semua potongan rambutnya kembali terjatuh ke lantai.

"Kubilang. Tunjukan wajahmu kalau tidak ingin kubuat lubang di kepalamu." tajam Reinier sambil menekan ujung pistolnya ke kepala Amrita.

Perlahan dan bergemetar, Amrita berbalik badan. Dengan rasa takut, pandangan Amrita menatap Reinier. Amrita menatap Reinier penuh keterkejutan dan ketakutan. Rambut Amrita dibuat segi sebahu dan berponi sealis ala korean style. Akibat dari itu Reinier sendiri melihat kaget Amrita.

Untuk pertamakalinya Amrita terlihat indah di mata Reinier.

TBC


PENSAMENTOS DOS CRIADORES
musmusmus musmusmus

Have some idea about my story? Comment it and let me know.

Load failed, please RETRY

Novo capítulo em breve Escreva uma avaliação

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C1
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login