Rataka menghela napas melihat bar nya berantakan, luar maupun bagian dalamnya.
"Astaga…aku baru saja merenovasinya."
"Apa ada maling masuk?" tanya seorang nenek penjual sayur yang lewat.
Rataka dengan ramah menjawabnya.
"Iya, Nek. Dia menghancurkan dinding pelindung dan membawa kabur sandraku yang penuh otot bisep." (Rowlett)
Nenek itu bingung dengan apa yang dikatakannya. Ia berpikir Rataka sudah gila.
"Kau harus berobat agar sembuh, Nak." kemudian nenek itupun berlalu dengan barang dagangannya.
Rataka hanya bisa menghela napas.
***
Di markas organisasi. Rowlett sedang tidur di kamarnya karena sedang kelelahan. Okta dan Genio berselisih di depan kamarnya
Aku yang akan mengurus Rowlett mulai sekarang. Okta merasa itu haknya karena Valen adalah bawahannya.
Kau tahu Rowlett akan menuruti semua perintahmu kan/? makanya kau memperlakukannya seperti ini?
Kau urusi saja urusanmu.
"Kau yang harusnya mengurus urusanmu. Aku juga tahu kau membuat Valen menjadi anak buahmu. Apa kau tidak berpikir kalau Ramon pasti akan tahu kelakuan licikmu itu? Kau berniat menjadi pengkhianat, huh?!"'
Genio menarik kerahnya.
Okta mendorongnya lalu pergi dar sana tanpa mengucapkan sepatah kata.
Genio masuk ke kamar Rowlett dan memeriksa telapak tangan kirinya yang terluka akibat kuku Taka yang ia tekan keras saat ia menghubungkan mantra dari Rowlett ke Valen, karena itu Rowlett tidak mendapatkan banyak pengaruhnya karena itu ditujukan untuk Valen.
Genio menghela naps sembari mengoleskan salep.
Tiba tiba Rowlett terbangun dan duduk.
"Kak Genio?" ia mengucek matanya. "Apa aku tidur lama sekali."
"Tidak kok. Tidur lagi tidak apa apa."
Genio memegang bahunya hendak menidurkannya kembali namun tiba tiba Rowlett merintih. Ia kaget,
"Ada apa?" Genio langsung membuka bajunya dan melihat bahu Rowlett lebam, begitu juga punggungnya yang lebam lebam.
Itu adalah akibat dari pertarungannya bersama Rataka saat itu.
"Si Valen sialan itu!" Genio tidak sengaja mengumpat di depan Rowlett. "Dia membiarkanmu terluka sampai separah ini! Tidak bisa kumaafkan!"
"Jangan salahkan Kak Valen, Kak. Aku kalah saat bertarung dengan musuh, mungkin karena aku yang kuat, dia sangat kuat."
"Apa dia orang yang mengurungmu?"
"Iya, orang itu. Kalau tidak salah Rataka namanya."
Genio menghela napas, ia menahan amarahnya, pada Valen maupun Rataka.
"Bagaimana bisa dia menyuruh Rowlett melawan Taka?! Apa dia gila?! Rataka bisa saja membunuhnya dengan mudah," batin Genio.
"Kak Valen kapan kembali, Kak?"
"Dia akan kembali kalau ingin. Tunggu sebentar ya. Aku akan meminta Kak Lily mengobatimu."
Lily adalah bawahan Genio sekaligus ahli medis kepercayaan organisasi.
***
Valen masih terbaring di rumah sakit, tangan kirinya di borgol dengan besi tepian ranjang. Di depan ruangannya terdapat dua petugas polisi yang menjaga.
Seorang dokter berbadan tinggi dan memakai kacamata kotak dan memakai masker putih hendak masuk ke ruangan. Polisi mencegahnya.
"Saya harus memeriksanya."
"Id card?"
Dokter itu menunjukkan id card yang tergantung di lehernya. Di id card tersebut terpampang foto dokter yang memakai kacamata yang sama dengan dokter itu. Jadi polisi tidak curiga.
"Maaf dokter, silakan masuk."
Dokter itu mengangguk dan masuk.
Perlahan lahan mata Valen terbuka, ia siuman. Dan betapa terkejutnya siapa yang berdiri di hadapannya.
"Okta?"
"Ssst!" Okta menaruh di telunjuknya di bibir.
Valen terkesiap.
"Ternyata kau benar, Ramon akan membunuhku dengan mantra kutukannya sebelum aku membuka mulut," Valen menyadarinya saat di persidangan. "Jadi, apa kau kemari untuk membunuhku?" Valen pasrah.
"Apa Rataka sudah tahu kalau Alfa setengah darah murni?" tanya Okta.
"Kenapa tiba tiba kau tanya itu. tidak ada yang tahu itu kecuali kita berdua, pilar nomor 1 dan Ramon."
"Baguslah."
Okta mengeluarkan cairan bius ke infus.
"Kau benar benar akan membunuhku?"
"Diamlah. Ini adalah obat bius. Kau akan kuberi mantra penyekat, bius ini supaya kau tidak kesakitan. Polisi masih belum tahu kalau kau sadar."
"Apa? Mantra penyekat?" Valen menelan ludah gugup. "Jadi mantramu itu membuat orang mati sejenak kan?"
"Kenapa? Kau takut?"
"ku akan mati dalam beberapa menit ke depan, bagaimana mungkin aku tidak takut."
"Kau tidak mati, itu hanya akan membuatmu berhenti bernapas. Aku akan mengambil jasadmu saat kau sudah masuk di ruang mayat."
"Kau janji membuatnya tidak sakit kan?" Valen masih takut dan gugup.
"Makanya diam dan biarkan bius ini membuatmu tidur. Setelah tidur, aku akan mengalirkan mantranya ke tubuhmu."
"Ba…baiklah. Oh ya, Terima kasih, sudah menyelamatkanku."
"Kau kira aku melakukan ini karena menyukaimu, cih! Aku cuma tidak mau kehilangan anak buahku. Oi, ingatlah, kau ini pengkhianat yang aku selamatkan, kalau sampai kau mengkhianatiku, Ramon yang akan turun tangan. Karena aku tidak sudi melenyapkan orang semacam kau."
Valen terdiam.
Okta adalah pilar yang bisa disebut paling tidak terpengaruh oleh pilar lain. Ia telah memiliki bisnis sendiri ketimbang mencari tumbal untuk Ramon. karena itulah ia tidak sering terlihat bersama Ramon padahal ia pilar nomor 2. ia juga jarang diberi perintah oleh Ramon, karena posisinya sebagai pemilik mantra penyekat adalah yang paling penting, karena itu Ramon tidak mungkin menaruh risiko dengan membahayakan Okta.
"Ramon tidak akan membunuhku entah apa yang aku lakukan. Arena dia yang membutuhkanku." batin Okta.
Setelah beberapa saat, ia keluar dan meninggalkan ruangan. Ia berjalan melewati koridor menuju tangga darurat dan keluar dari sana ke lantai bawah. Kacamata dan jas putih dokternya ia lepas dan dimasukkannya ke tong sampah.
Sementara itu dokter bersama rombongan suster lainnya melangkah seperti biasa menuju ruangan Valen. Mereka berhenti di depan polisi.
"Lho? Bukankah dokter sudah masuk tadi?"
"Apa maksud anda, kami baru akan memeriksanya."
Salah satu polisi melihat id cardnya dan terpampang foto yang sama, dengan berkacamata.
"Tolong buka masker anda," pinta polisi.
Dokter itu memakai kacamata dan sama persis dengan yang di id card. Polisi itu panik.
"Sial!"
Mereka membuka pintu dengan keras, dokter dan suster lainnya kaget lalu ikut masuk ke dalam karena dilihat dari ekspresi polisi yang nampaknya ada sesuatu yang tidak beres..
"Narapidana nya hilang!"
Kabar itu pun terdengar ke kepolisian, termasuk Asya dan Letnan. Asya yang berada di kantor ditelpon oleh petugas polisi penjaga tadi. Ia seketika berlarian di koridor dan langsung menuju ke rumah sakit.
"Tutup semua pintu masuk!" perintah petugas polisi melalui headset penghubung keamanan. "Cek cctv! Area lantai 3 bangsal 5 dan tempat parkir! Cepat!"
Seluruh petugas keamanan riuh berlarian di koridor dan membuat perawat dan pasien lainnya bingung. Ada yang berlari menuju ruang cctv dan ada ke tempat parkir dan menuju ke pintu masuk, namun tak ditemukan orang yang mencurigakan.
Asya berlari ke ruangan Valen dan tiba di sana, dokter dan suster juga masih di sana. Mereka nampak kebingungan karena napi nya hilang beserta ranjangnya.
"Apa yang terjadi sebenarnya? Sial!" Asya berteriak kesal sembari memegang kepalanya, ia mendecakkan lidahnya.
Drfft drfft drfft
Tiba tiba ponselnya berbunyi.
"Narapidananya…" kata seseorang dari seberang telepon.
"Apa? Ketemu? Dimana?"
"Tapi…"
"Jelaskan nanti saja. Aku akan ke sana."
Begitu mendapat kabar Valen telah ditemukan, Asya langsung berlari menuju lokasi. Dan betapa terkejutnya setelah sampai di sana.
"Maaf, Ketua Tim." petugas geleng geleng. "Dia sudah tewas ketika kami menemukannya."
"Tidak mungkin!"