"Apa?! bukannya apartemennya lumayan bagus, apa tidak ada kulkas?"
"Justru itu, Pak. Dia menghambur hamburkan uang sisa gajinya. Benar-benar boros."
"Astaga. Memalukan sekali putriku." Ayah memegang dahinya yang pening.
"Apa ini? Gara-gara dispenser elektrik kalian jadi sekutu? Berani-beraninya. Terutama kau Alfa. Teman macam apa kau!"
Alfa mengengeh.
Amy memukuli punggungnya dan meninju perutnya ringan. Alfa bukannya kesakitan malah merasa geli. Ia tertawa kecil, diikuti Amy yang masih marah namun sambil tertawa, serta umpatan umpatan khasnya.
"Dasar bocah bocah ini." Ayah tersenyum melihat keduanya yang ramai sendiri. Tiba-tiba ia teringat kembali kata-kata Rataka padanya bahwa Alfa lah yang membuatnya hidup layaknya gadis normal seperti biasa.
"Gara-gara pemuda ini putri semata wayangku menangisi pria lain selain aku, Haaah." batin Ayah sembari menghela napas panjang.
"Amy," panggil ayah tiba-tiba.
Amy dan Alfa berhenti tertawa dan menoleh bersamaan.
"Maukah kau membuatkanku kopi? Ayah akan mengerjakan kasus malam ini."
"Baik, Yah."
Amy bangkit dan melangkah menuju ke belakang, ke dapur.
Tinggal Alfa di sana bersama Ayah.
"Apa anakku benar-benar seboros itu?"
"Oh itu…tidak begitu kok Pak."
"Panggil aku Om saja. Lebih baik kalau ayah."
"Eh?" Alfa tertegun mendengarnya, dalam hati ia senang namun juga khawatir.
"Setelah semua yang terjadi, saya tidak pan…"
"Aku tahu kau tidak pantas." Ayah menekankan kalimatnya.
Alfa terkejut melihat air muka ayah menjadi lebih serius dari pada saat ada Amy tadi.
"Setelah semua yang telah kau lakukan. Semuanya."
Degh
Entah perasaan aneh apa yang menyelimuti Alfa. Ia merasa bahwa ayah Amy juga bukan orang biasa. Tatapan matanya barusan benar-benar tajam dan fokus. Ia merasa sedang berbicara dengan paranormal. Mungkin ia sama indigonya dengan Amy. Begitulah batin Alfa.
"Maafkan aku, Om. Maaf atas semua yang telah saya lakukan. Semuanya." Alfa juga menyadari kesalahannya.
Namun Holan melihat aura anak itu bersih dan putih. Seolah terlahir kembali, karena itu ia memiliki rasa kepercayaan yang tinggi padanya. Amy juga terlihat nyaman di dekatnya.
"Besok datanglah ke kantor polisi untuk memberi keterangan. Jika kau tidak datang polisi akan mendatangi kamar apartemenmu dan kemungkinan menggeledahnya untuk mencari bukti konkret."
"Apa maksudnya?"
"Seseorang melihatmu dan melaporkan peristiwa yang menimpa padamu pada hari itu. Kau koma berminggu-minggu. Jika kau meninggal, itu akan jadi kasus pembunuhan, karena kau masih hidup, ini menjadi kasus penganiayaan dan penyerangan. Kau carilah alibi dan alasan yang masuk akal yang bisa diterima polisi. Karena itu…"
"Baiklah. Aku paham maksud Om."
"Baguslah." Holan menyeruput tehnya. "Panggil aku ayah saja."
"Eh tidak tidak. Saya tetap tidak bisa melakukannya. Saya tidak mampu."
"Oke. Terserah kau saja. Oh ya berapa usiamu?"
"21 tahun."
"Lebih tua satu tahun dari Amy dan satu tahun lebih muda dari Dio. Oh ya, kudengar kau juga dekat dengan Dio, kakak Amy."
"Iya. Kami lumayan dekat."
"Kalau begitu aku percaya, karena Dio juga percaya padamu."
"Anu itu…apa Om tidak khawatir?"
"Apa?"
"Aku kemarin diserang, mungkin anda khawatir jika Amy mendapat hal yang buruk menimpanya gara-gara saya."
"Karena itulah aku memintamu datang ke kantor besok, kan? Agar aku cepat menangkap pelakunya."
"Tapi pelakunya…"
"Katakan saja besok pada petugas," Ayah melirik Alfa yang murung. Ia menyadari bahwa anak itu berpikir bahwa akan sulit menangkap pelakunya yang notabenenya bukan orang biasa. Namun Holan tak mau membicarakan hal itu lebih jauh, terutama di depan Amy.
"Ini kopinya, Yah," Amy meletakkan secangkir kopi di meja. "Jangan terlalu malam tidurnya. Ingatlah usia, bukankah ada banyak petugas polisi yang bekerja?"
"Iya. Ayah tahu."
Holan berdiri mendekati Amy lalu mengelus puncak kepala putrinya dengan lembut. Ia melirik Alfa.
"Istirahatlah yang banyak. Kau masih dalam rawat jalan kan?" kata Ayah pada Alfa. "Jangan memaksakan diri. Hubungi ayah jika kalian butuh bantuan, apapun itu termasuk finansial."
"Ayah…" Amy terharu.
"Terima kasih, Om."
"Lain kali mampir saja kalau luang. Kalau aku hanya pulang beberapa bulan sekali, tapi Dio selalu di rumah tiap weekend. Amy, jaga pola makanmu. Kakakmu adalah mata-mata terbaik yang kupunya. Aku ke ruanganku dulu."
Amy tersenyum simpul, diikuti Alfa yang bersyukur bahwa ayah Amy tak semenakutkan yang ia bayangkan.
"Bibi, bawa kopinya ke ruanganku." Holan meninggalkan ruang tengah dan melangkah menuju ruangannya di lantai atas.
Pelayan yang berdiri agak jauh mendekat ke meja dan membawakan kopi lalu mengikuti Tuan Holan di belakang.
***
Paginya, Amy membunyikan bel dan mengetuk pintu kamar Alfa. Namun tak ada jawaban. Sembari menguap lebar, ia masuk ke dalam tapi menemukan Alfa tidak ada. Ia panik dan kembali ke kamarnya lalu mengambil ponsel untuk menghubungi Alfa.
"Halo, Alfa."
"Amy, kau sudah bangun?"
"Ada di mana kau?"
Alfa menyadari Amy yang panik.
"Aku baik-baik saja, My. Aku sedang di luar sekarang."
"Ada urusan apa? Kenapa tidak memberitahuku? Apa kau menemui seseorang yang berbahaya?"
"Tunggu-tunggu. Hilangkan semua pikiran itu. Aku sedang ke pasar membeli bahan makanan dan juga nanti mau mampir supermarket. Jadi agak lama. Aku tidak ke tempat aneh aneh. Percayalah."
"Benarkah?"
"Amy. Maaf ya. Aku membuatmu khawatir. Aku benar-benar baik-baik saja sekarang. Oh ya, aku membuatkanmu omelette di mejamu dan susu."
"Apa?"
"Jangan hanya berdiri di depan kamarku. Coba periksa mejamu."
"Sialan kau! Ya sudah ku tutup. Belanja yang banyak. Aku mau snack dan es krim juga."
Klik.
Dengan nada jengkel, Amy menutup panggilanya.
"Bagaimana dia tahu aku berdiri di kamarnya? Aisshh." setelah itu Amy kembali ke dalam kamar dan mendapati di atas mejanya memang ada sepiring omelette dan segelas susu dingin. Ia yang tadinya cemberut sekarang senyum senyum sendiri.
Sementara itu Alfa ternyata berbohong. Ia tidak ke supermarket melainkan tengah berdiri di depan kantor polisi. Ia menghubungi Pak Holan. Dari seberang telepon Holan mengatakan agar langsung masuk saja. Karena semua orang sudah mengetahui kalau dia adalah korban penyerangan di gedung kosong.
"Permisi," Alfa menuju meja pengunjung paling depan.
"Iya, ada yang bisa saya bantu?"
"Anu…itu…saya…"
"Oh?" petugas itu mengenali Alfa. "Apa kau yang koma itu?"
"Iya itu saya," Alfa mengengeh.
"Ada apa?" terdengar suara perempuan dari belakang Alfa, ia menyeruput minuman kaleng di tangannya.
"Bukankah kau pemuda yang koma itu?" dia adalah Asya.
Alfa dan Asya saling memandang satu sama lain.