Lagi-lagi hari ini aku hanya bisa menatap Ginny bersama pemuda lain, dimana mata kucing imut berwarna biru saphir sedang beradu bersama pemuda yang terlihat cocok dengannya. Pangeran charming dan putri anggun bagaikan couple-goals yang di impikan setiap orang.
I mean, mereka tampak akur dan sweet. enggak ada sejengkal aib pada kelemahan mereka yang bisa ku rusak. Dan aku hanya seorang cecunguk kutu buku yang hanya bisa menggantungkan mimpi di langit. Shit bagaimana bisa mereka sekarang begitu mesra di hadapan sejuta mata umat. Sial!
Aku merutuk kepada nasib sialku , bukan sial lagi tetapi rasa menjadi pecundang. Selama hampir tiga tahun ini aku hanya mengamati Ginny dari jauh. Bukan aku tidak pernah mencoba tapi rasa minder dan gugup ku menjadi kerdil. Speechless!
And then.
Aku pergi meninggalkan mereka dengan rasa kecewa. Berbalik arah adalah cara terbaik untuk mengurangi rasa kesakitan yang ada. Setidaknya aku masih memiliki ibu dan adik yang bisa ku jadikan sandaran hidupku. Aku bisa apa?
Kelulusan semakin dekat, aku hanya harus merasa puas memandang Ginny. Tidak ada harapan dia akan melihatku. Rasa kecewa ini membakar seluruh rasa sendiku, aliran darahku. Aku hanya pergi dengan dia yang tidak akan pernah mengenaliku.
Berjalan lesuh menuju koridor, suara-suara yang riuh menjadi hening. Jalan ini menjadi luas seperti tol. Sambil mengempit buku dengan kedua tanganku. Buku adalah harta berharga bagiku dan tentu saja itu kenapa aku di panggil si paboo Jun Jun. Tidak ada yang salah mencintai sebuah buku. Buku adalah mata manusia, bagaimana kalian bisa menghardik buku adalah sesuatu yang membosankan.
Pada biasanya pagi ini, aku melakukan rutinitas yang sama. Para Geng-geng bodoh itu tentu saja ber ghibah rasa halal sambil tangan kiri memandang kaca berbentuk segi empat bermotif Hello Kitty dan satu tangan kanannya menyapu pipinya dengan satu ton bedak padat. Aigoo bagaimana seorang perempuan begitu ribet hanya untuk pergi belajar?
Team para lelaki tentu saja melakukan hal gila lainnya. Tentu saja aku tidak ingin bergabung dengan mereka semua. Kurasa itu jalan terbaik untuk memperbaiki kualitas hidup. Terserah apa kata mereka toh tidak ada satu pun dari mereka yang menyambung kehidupan seluruh keluargaku.
"Oppa bagaimana persiapannya?"
"Aigoo mana aku tahu."
"Sudah kubilang kan ini acara prom night terakhir!"
"Baik, aku akan cepat membereskannya."
"Seperti yang aku minta mengerti?"
"Kamu bawel seperti lansia saja sih."
"Katakan sekali lagi. Apa kau ingin melihatku jelek hah?"
"Otokke aku akan membelinya untukmu. Kau jangan marah lagi arraseo."
Sungguh menjijikan bagiku di pagi hari ini. Aku saja muak sekali melihat pemandangan yang mengerikan seperti ini.
Bagaimana mereka memaksaku untuk melakukan hal itu?
Aku bahkan tidak tertarik dengan acara Prom Night. Harus aku akui, tiga tahun lalu Prom Night terburuk sepanjang sejarah. Aku harus menelan lima puluh kapsul pahit, tidak ada satu perempuan pun memilihku. Aku harus bergabung pada sesama pria lain. Ya tentu saja itu membuatku merinding dan tidak nyaman. Dan tentu pasangan 'Pria-Ku' ikut merasa jijik dan malu. Kami lah pria-pria terpuruk saat itu. Klub yang di asingkan oleh para gadis-gadis sekolah.
And then mereka memintaku mengurus pemesanan cake. Shit mereka tahu ibuku membuka sebuah toko cake kecil di daerah Daegu dekat daerah tempat tinggal ku. Tentu saja mereka mengajakku ikut bergabung sebagai panitia hanya untuk meminta diskon. CATET DISKON!
'Arrrggggh apa-apaan ini bagaimana mereka bisa melakukan ini kepada temannya?' keluhku mulutku pedas seperti uke level sepuluh dalam batin.
'Aigoo sungguh menyebalkan.' gerutu ku sambil meremas kunci berbentuk tumbuhan kaktus.
MENYEBALKAN !!!
Haruskah aku membuang seluruh energiku?
Kenapa hari ini begitu sangat menyebalkan sekali. Shit apa aku harus bertelanjang dada hanya demi kegilaanku?
Ya bisa saja sih ingin bertukar tempat dengan pria brengsek seperti si Lee Jy. Setidaknya aku bisa bersama dengan gadis imut Ginny. Sial bagaimana aku bisa sepicik ini menukar keluargaku hah?
Manusia seperti apa aku ini? Norak!
Ya tidak apa-apa walau dari sendok perak tapi aku bukan manusia paling menyedihkan dimuka bumi ini hingga rela menukar seluruh jiwa dan rasa sakit semua orang.
Aku berjongkok sambil menjentik dahiku lalu mengingat dahiku segede lapangan futsal menurunkan harga diriku damn. Tidak salah amat sih dengan dahi futsal. Yang artinya aku bisa menampung daya serat pembiakan para manusia. At least jidat nonong dapat menyelamatkan bumi dari kepunahan. Ah sebenarnya sedang apa yang aku lakukan sih?
Aku kesal dengan mereka tapi aku enggak bisa menghajar para tengik yang usil yang ada pasti aku berada di peti mati dan di kremasi. Sial ternyata aku lebih pecundang dari sebelumnya.
STOP JUNJUN!
Sudah cukup gilanya dan mereka melihatmu dengan rasa miris. Ah lebih tepatnya 'gila'. See, look at you, kamu masih remaja epic yang masih menjadi beban hidup. Setidaknya kalo mau mati jangan bikin malu.
Di ruang kamar Jun melihat sekotak cake berbentuk karikatur bernada musik dan katus. Perasaan ini berbeda sebelumnya pada buatan ibu, cake nya begitu sangat unik. Ibunya JunJun selalu membuat cake berbentuk umum dan varian berbeda dari toko cake lainnya.
Melihat senyuman ibu ada guratan manis gulali di lesung pipiku. Wanita pertama yang ku cintai seumur hidupku yang mau bersedia menjadi akar untuk bunga tidak layu dan mati.
Aku memeluknya ada wangi butter yang masih tertinggal sela-sela bajunya. Aroma khas nya setiap hari demi menunjang pendidikanku dan adik Songkang. Andai ayah masih hidup pasti akan semakin bangga pada kehebatan ibu seperti ayah semasih hidup dulu.