Baixar aplicativo
48.48% Swords Of Resistance: Endless War [Indonesia] / Chapter 48: Bab 48, Puteri Yang Diculik

Capítulo 48: Bab 48, Puteri Yang Diculik

Kehadirannya benar-benar membuat terkejut orang-orang dari Klan 'Van den Bosch' yang tengah berkumpul di halaman depan dari sebuah rumah yang begitu besar dengan halamannya yang luas. Mereka tidak percaya bahwa perempuan yang dikira telah mati itu masih hidup. Simone mendatangi rumah orang tuanya yang terletak di Kota Den Haag, dengan ditemani anak tirinya, Charla yang secara kebetulan sedang berada di Kota tersebut.

"Jadi kau masih hidup, Simone," kata seorang lelaki berkumis yang mengenakan seragam miiliter dengan pangkat Kolonel. Dia adalah Herman Wilhelm Pieter van den Bosch.

"Kalian menatapku seolah-olah aku ini hantu. Aku ini masih hidup dan hanya ingin main saja. Apakah aku salah jika bertemu dengan keluargaku, setelah kita berpisah selama sembilan belas tahun?" tanya Simone kepada kedua Ayahnya beserta sanak keluarganya yang menatapnya dengan tatapan tidak percaya.

"Sebenarnya ini adalah rencana Alexandrine van den Bosch, mengingat kami adalah teman baik. Dalam acara keluarga yang sedang diadakan oleh klan Van den Bosch, dia memintaku untuk mempertemukan ibu tiriku dengan kalian semua. Lagian apa salahnya jika kita memperat ikatan Keluarga," kata Charla dengan rokok yang tertempel di bibir merahnya.

"Apakah benar kau itu anak Kanselir Leopold?" kata seorang lelaki berpakaian rapih dengan setelan jas berwarna hitam sambil menatap Charla yang mengenakan celana jeans panjang yang lututnya sobek-sobek, sepatu sneakers berwarna hitam, pakaian lengan pendek yang memperlihatkan tangan kanan, dan kirinya yang penuh tato.

Perempuan yang rambutnya dikuncir ponytail itu bersikap masa bodoh akan kelakuan dari Lelaki berpakaian rapih yang bernama Arjen Wilhelm Alexander van den Bosch, yang merupakan adik tiri dari ibu tirinya.

"Memang kenapa jika aku anaknya Kanselir? Kau pasti mengomentari penampilanku yang seperti ini, kan? Lagian ayah, ibuku, Tuan, dan Nyonya Stadtholder, beserta ibu tiriku tidak mempermasalahkan penampilanku," balas Charla sambil menghisap rokoknya.

Simone hanya tersenyum akan tingkah anak tirinya, sementara Arjen Wilhelm Alexander van den Bosch hanya menatap Charla dengan tatapan tajamnya.

"Meskipun dia penampilannya seperti itu, Charla adalah orang yang baik, paman. Dia adalah sahabat yang bisa diandalkan," kata perempuan berambut pirang pendek bergelombang yang mengenakan gaun berwarna biru. Dia adalah Alexandrine Margareth Saartje van den Bosch.

"Terima kasih, Charla, kau mau menjadi sahabat bagi puteriku," kata Kolonel Piter van den Bosch.

"Kalian berdua, silahkan duduk," kata seorang lelaki tua yang merupakan ayah dari Simone van den Bosch, Johannes Hendrik van den Bosch. "Jika kau masih hidup, ke mana saja kau selama ini?" tanya lelaki tua berkcamata itu pada anak perempuannya.

"Hidup sebagai orang yang merdeka yang tidak terikat dengan aturan yang mengekang!" tegas Simone. "Sepertinya kau masih sebagai lelaki tua yang menyebalkan, ayah."

"Jaga bicaramu pada ayah, sialan!" seru Arjen sambil menggebrak mejanya.

"Kau memang tidak tahu diri, Simone!" seru seorang lelaki berbadan tinggi ramping dan berpakaian rapih dengan kemeja dan celana panjang yang berwarna abu-abu. Dia adalah Lodewijk Henrick Wilhelm Karel van den Bosch.

Charla turut menggebrak mejanya dengan sangat keras, "Jangan hina, ibu tiriku, bangsat!" sepertinya Charla tidak kalah emosinya.

Charla segera berdiri dari kursinya, namun Simone menahan tangannya. "Tenanglah, Charla," katanya dengan suara yang lembut. "Aku baik-baik saja."

"Meskipun kau sudah tua, tapi kau tidak dewasa yah, paman," cibir Alexandrine.

"Diamlah dan tidak usah mengguruiku!" cerca Arjen sambil menunjuk keponakannya.

Alexandrine melipat kedua tangannya dan membuang mukanya.

"Kalian semua, tenanglah. Kita di sini bukan untuk ribut," kata Johannes Hendrik van den Bosch.

"Aku sudah tenang, hanya saja aku sedang memperingatkan kakakku yang durhaka!" sanggah Arjen.

"Arjen benar, Ayah," kata Karel.

"Kau tak perlu begitu, lagian apa yang Simone katakan itu benar. Aku memang ayah yang menyebalkan," kata lelaki tua itu tertawa miris. "Sepertinya kau telah menjalani kehidupan yang sangat keras, Simone," sambungnya seraya menatap sepasang mata biru anak perempuan satu-satunya.

"Lagian aku sudah terbiasa menjalani kehidupan yang keras. Mengingat aku merasa terasing dengan kalian," balas Simone dengan nada ketus.

"Kalau begitu, jangan pakai nama Van den Bosch lagi!" seru Arjen.

"Tindakanmu yang menjijikan telah mencoreng nama besar klan kita," seru Karel.

"Apa salahnya aku menjadi lesbian? Bukankah Belanda merupakan negara pertama di dunia yang melegalkan pernikahan sesama jenis. Seandainya dia itu bersikap lembut kepada anak perempuan dan tidak bersikap kaku dan sok relijius. Mungkin aku akan menjadi perempuan yang normal," balas Simone.

"Hentikanlah omong kosong kalian!" seru Kolonel Pieter van den Bosch. "Arjen dan Karel, tahan emosi kalian," katanya menatap kedua Adiknya. Sang Kolonel itu menatap Kakaknya, "Simone, aku minta maaf jika aku telah berbuat salah padamu di masa lampau, baik secara langsung maupun tidak langsung."

"Jangan khawatir," kata Simone dengan nada dingin. "Aku sudah memaafkan kalian semua. Walaupun itu semua membutuhkan proses yang cukup lama."

Para asisten rumah tangga yang mengenakan kebaya dan berkulit sawo matang berjalan sambil mengantarkan makanan menuju ke meja makan.

"Keributan kecil ini terjadi karena kita dalam keadaan lapar. Makanlah, mumpung masih hangat," kata Johannes Hendrik van den Bosch. Lelaki tua itu tersenyum ramah menatap seluruh orang yang hadir.

Para asisten rumah tangga menaruh berbagai macam makanan tradisional khas Belanda, seperti ayam panggang, waffer, roti, sup, sosis panggang serta beberapa botol wine untuk minum. Mereka semua berdo'a sebelum menikmati berbagai hidangan yang tersaji di meja dan mereka mulai makan menikmati setiap gigitannya.

Lima belas menit kemudian.

"Ah, jadi teringat masa lalu," kata Kolonel Pieter van den Bosch. "Sayang ibu sudah pergi dua tahun yang lalu."

"Kalian bertiga harusnya bersyukur, tidak seperti diriku yang tidak pernah bertemu dengan ibunya," celetuk Simone. "Aku benar-benar turut berduka cita atas kepergian ibu kalian bertiga. Semoga Tuhan memberikan tempat terbaik untuknya."

"Kita semua berkumpul di tempat ini sambil menikmati berbagai macam hidangan hangat yang lezat. Hanya saja saat itu kita meminum air putih, bukan wine," kata Karel.

"Kalian berdua berteman sejak kapan?" tanya Kolonel Pieter van den Bosch pada Puterinya.

"Charla adalah kenalanku waktu mengikuti kegiatan musim panas di Inggris dua tahun yang lalu. Dia membantuku ketika aku tersesat dan ditinggal oleh teman-temanku. Sejak saat itu kami sering berkomunikasi secara online," balas Alexandrine. "Bahkan dia tidak segan-segan datang ke asramaku dan membantuku belajar."

"Yah, kebetulan saat itu aku sedang ada perlu dengan temanku yang berasal dari Amsterdam. Jadi sekalian mampir," kata Charla.

"Charla, maukah kau nanti menemaniku belanja sekarang," pinta Alexandrine.

"Ok."

"Kami pergi dulu, yah," kata Alexandrine yang diikuti oleh Charla.

Setelah kedua anak perempuan itu pergi. Para orang dewasa di sana mulai berbicara serius.

"Kau tahu, Simone. Aku benar-benar sangat senang mengetahui kabar bahwa kau masih hidup. Jika ada waktu, aku ingin sekali bertemu dengan Athena," kata Johannes Hendrik van den Bosch.

"Aku tidak hidup dengan Athena. Dia hidup bersama dengan ibu tirinya di Berlin. Terlebih istri pertama Leopold sedang hamil tua, Athena selalu menemani ibu tirinya kemanapun pergi, dan dia sudah tidak sabar untuk menjadi seorang kakak," balas Simone.

"Sepertinya kalian cukup harmonis juga, walau harus terpisah oleh jarak," kata Arjen.

.

.

Charla dan Alexandrine tengah berbelanja di sebuah mall di Kota Den Haag. Alexandrine memiliki hobi yang unik, yaitu berbelanja di mall. Saking asyiknya berbelanja, kedua perempuan itu sampai lupa akan pertemuan keluarga yang tengah terjadi. Padahal pertemuan tersebut diadakan atas inisiatif dari Alexandrine. Kedua perempuan itu sedang berada di bagian yang menjual berbagai macam jenis sepatu. Terlihat Alexandrine sedang mencoba berbagai macam jenis sepatu, sementara Charla hanya duduk-duduk sambil memperhatikan teman Belandanya.

"Model mana yang akan kau beli?" tanya Charla yang tengah duduk.

"Entahlah, aku bingung," jawab Alexandrine sambil memegang beberapa jenis sepatu.

Sementara itu, dua orang perempuan tengah memperhatikan Alexandrine dan Charla dari arah sebuah restoran yang berada di dekat bagian tempat penjual sepatu.

"Sepertinya Dewi Keberuntungan sedang berada di pihak kita. Kita tidak perlu repot untuk mendapatkan Alexandrine, bahkan target datang ke sini bersama dengan anaknya Kanselir Leopold. Ini seperti kita mendapatkan sebuah emas sambil melempar batu yang mengenai dua burung sekaligus," kata salah seorang Perempuan berambut pirang kecokelatan dengan model rambut bob yang bernama Marijke van Dorth.

"Tapi kita wajib waspada dengan Charla, mengingat aku merasakan dia memiliki kekuatan sihir yang cukup besar," balas Perempuan berambut ponytail dan berkacamata bulat yang bernama Evelien Krooshoop.

"Jangan khawatir, Evelien," kata Marijke menenangkan kawannya. "Aku ini seorang wizard dan juga...." Marijke membuka tasnya dan mengeluarkan sebuah alat berbentuk seperti jam pasir. "Aku memiliki ini." Marijke menunjukkan jam pasir miliknya ke Evelien.

Ekspresi wajah Evelien terlihat biasa saja, namun dia merasakan ada hal yang sangat aneh, dan merasa bahwa di dunia ini hanya ada dirinya dan Marijke. Marijke hanya tersenyum menatapnya, sementara Evelien melihat ke sekelilingnya di mana Orang-orang diam mematung tanpa menggerakkan tubuhnya ataupun bernafas seolah-olah waktu telah berhenti berputar untuk selamanya.

Evelien baru sadar bahwa putaran waktu telah terhenti. Marijke berdiri dan memegang tangan Evelien, "Ayo, Evelien. Saatnya beraksi."

Marijke berjalan sambil menarik tangan Evelien yang turut berjalan mengikutinya. Mereka berdua berjalan menghampiri Charla dan Alexandrine. Marijke segera mengikat kedua tangan & kaki Alexandrine dengan borgol plastik, menutup kedua matanya dengan kain berwarna putih, dan membekap mulutnya dengan kain berwarna hitam. Sedangkan Evelien menusuk perut Charla dengan pisau belati.

"Ayo kita pergi, Evelien."

Evelien segera membopong tubuh Alexandrine dan mereka berdua segera pergi meninggalkan Mall The Passage Den Haag. Mereka berdua memasuki Mobil Mercedes-Benz C-300 berwarna hitam yang terparkir di halaman parkir di bawah Mall. Mobil berwarna hitam tersebut segera pergi meninggalkan Mall The Passage.

Setelah sepuluh menit terhenti, aliran waktu kembali normal seperti sedia kala. Orang-orang bergerak dan beraktifitas seperti biasa seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sementara Charla jatuh tersungkur dengan darah yang keluar dari perutnya. Pisau belati itu masih tertancap di perutnya dan orang-orang berteriak melihat adanya seorang perempuan yang jatuh tersungkur dengan perut bersimbah darah dan Pisau Belati yang masih tertancap di perutnya.

"Alexandrine..... Margareth.... Saartje... van... den... Bosch..... telah... diculik....." kata Charla dengan suara lirih.

Orang-orang bergerak dengan cepat dan segera membawa Charla menuju ke Rumah Sakit HMC Westeinde yang berjarak satu kilometer dari Mall The Passage.

Simone yang tengah asyik berbincang dengan ayah dan ketiga adik laki-lakinya dikejutkan akan sebuah panggilan dari ponselnya. "Aku ada panggilan dulu," kata Simone segera mengangkat ponselnya. "Hallo, dengan siapa, dan ada apa?"

"Ini aku, Viktoria Pfitzner, Kepala Konsulat Jenderal Prussia di Den Haag. Saat ini Charla tengah dirawat di Rumah Sakit HMC Westeinde dengan nomor kamar A17, setelah menjadi korban penusukan. Datanglah sesegera mungkin. Terima kasih."

"Baiklah, aku akan ke sana," kata Simone dengan nada terburu-buru. Simone segera berdiri dari kursinya, "Ayah, Pieter, Arjen, dan Karel, aku pergi dulu ke Rumah Sakit HMC Westeinde. Anak tiriku tengah dirawat di sana."

"Aku ikut, Simone," kata Kolonel Pieter van den Bosch. Mendengar kalimat yang dilontarkan oleh Simone membuat Kolonel Pieter van den Bosch mengkhawatirkan nasib Alexandrine.

"Baiklah, Pieter. Tolong antar aku ke Rumah Sakit HMC Westeinde," kata Simone dengan ekspresi wajah yang terlihat panik, khawatir dan ketakutan.


Swords of Resistance

Cerita dark fantasy yang wajib kalian baca dan koleksi.

next chapter
Load failed, please RETRY

Status de energia semanal

Rank -- Ranking de Poder
Stone -- Pedra de Poder

Capítulos de desbloqueio em lote

Índice

Opções de exibição

Fundo

Fonte

Tamanho

Comentários do capítulo

Escreva uma avaliação Status de leitura: C48
Falha ao postar. Tente novamente
  • Qualidade de Escrita
  • Estabilidade das atualizações
  • Desenvolvimento de Histórias
  • Design de Personagens
  • Antecedentes do mundo

O escore total 0.0

Resenha postada com sucesso! Leia mais resenhas
Vote com Power Stone
Rank NO.-- Ranking de Potência
Stone -- Pedra de Poder
Denunciar conteúdo impróprio
Dica de erro

Denunciar abuso

Comentários do parágrafo

Login