Karina tidak bisa fokus. Pikirannya terus tertuju kepada pria yang sebentar lagi akan menjadi suaminya itu.
Dirinya ingat betul bagaimana seorang Ken merawatnya kemarin. Karina dibuat terharu. Padahal, mereka baru saja saling mengenal.
"Bu Karina, bagaimana? Apakah Anda setuju?" tanya salah satu karyawannya dengan sopan.
Karina pun tersadar. "Ah. Setuju. Saya setuju sekali Pak Dimas." Berusaha tersenyum.
Padahal sesungguhnya dia tidak tahu apa yang disetujuinya itu.
"Rapat selesai sampai di sini. Terima kasih banyak atas waktu dan kerja samanya." Karina sedikit membungkuk dan akhirnya pergi.
Semua yang melihatnya juga menunduk memberikan penghormatan kepada Karina. Mereka benar-benar menyukai sosok sang Bos yang murah hati dan rendah diri tersebut.
Bisa dikatakan, jika para pekerja di perusahaan ini semuanya adalah orang lama. Bahkan, dari pertama kali perusahaan ini didirikan.
Mereka semua begitu betah dan bangga memiliki pepimpin yang kompeten, cantik, juga baik hati tentunya seperti Karina.
"Bu Karina memang selalu luar biasa. Aku sangat bangga bisa bekerja di sini."
"Benar katamu. Selain itu, Bu Karina sangat cantik. Benar-benar memanjakan mata saja. Andai saja Bu Karina mau menikah denganku."
"Haha. Mustahil itu mah. Sudahlah, lebih baik kita kembali bekerja."
***
Karina menghembuskan nafas kasar. Ia masih tak habis pikir jika Ken adalah orang yang memberikannya sapu tangan waktu itu.
"Bagaimana cara mengembalikannya ya? Dia pasti akan mengolok-ngolokku jika tahu wanita yang menangis histeris waktu itu adalah aku," ujarnya bimbang.
Karina sangat yakin, jika Ken pasti tidak mengenali dirinya. Secarakan, pria itu tidak bisa melihat.
Sangat disayangkan sekali. Pria setampan itu tidak bisa melihat dunia yang indah ini.
"Dia itu buta dari lahir atau bagaimana ya?" Karina mengetuk-ngetuk meja dengan jari-jarinya.
Karina akui, jika Ken adalah pria tampan yang pernah dilihatnya. Hanya saja, pria itu sedikit menyebalkan walaupun sebenarnya baik hati.
Tiba-tiba saja, ponselnya berdering menandakan ada panggilan yang masuk. Karina langsung menyambar ponselnya tanpa melihat gerangan yang meneleponnya terlebih dahulu.
"Halo?" ucapnya sopan.
"Keluar sekarang juga! Nggak pake lama!" sahut seorang pria di sebrang sana.
Kening Karina berkerut. "Anda siapa?" tanyanya begitu kebingungan.
"Suaranya mirip dengan Tuan Ken," batin Karina. Namun, dia tidak bisa menduga-duga begitu saja. Bisa saja dirinya salah kan?
"Heh gadis bodoh! Apa kamu lupa dengan suara tampanku ini Huh?!"
"Maaf Tuan. Anda pasti salah sambung," kata Karina hati-hati.
"Enak saja kamu Karina! Jangan membuang waktuku yang berharga ini. Kita harus ke butik sekarang juga."
Klik.
Sambungan telepon pun berakhir begitu saja. Karina benar-benar terkejut setengah mati. Ternyata dugaannya benar. Yang meneponnya tadi adalah Ken si pria menyebalkan.
Karina menarik kata-katanya yang mengatakan jika Ken adalah pria yang baik hati. Ken tak lebih adalah seorang pria menyebalkan yang semaunya sendiri saja.
"Pasti dia disuruh Mamanya untuk menjagaku kemarin. Huh! Dasar!" ujarnya sebal.
Dengan perasaan dongkol, Karina pun melangkahkan kakinya keluar dari ruangannya.
Untungnya, semua pekerjaannya sudah selesai. Suasana kantornya sudah sepi mengingat seluruh karyawannya yang hampir sudah pulang semua.
"Ah iya Wilda, saya pamit pulang dulu ya. Berkas yang semalam kamu minta ada di ruangan saya."
"Baik Nona. Hati-hati," kata Wilda yang bekerja sebagai asisten sekaligus sekretarisnya.
Wilda sudah bekerja sejak awal perusahaan ini didirikan. Hanya dirinya yang mempunyai kunci duplikat ruangan Karina.
"Iya. Terima kasih. Kamu juga segera pulanglah. Sudah sore," kata Karina lembut. Tak lupa senyum manis ia berikan kepada Wilda.
"Nona Karina memang berhati malaikat. Aku senang dirinya sudah putus dari orang seperti Adam. Dari awal, mereka sangatlah tidak cocok," ucapnya dalam hati.
Karina berlari-lari kecil ke arah parkiran.
"Maaf, saya terlambat Tuan Ken."
Ken kini tengah berdiri di depan mobil sambil menyilangkan tangan di depan dada.
"Kamu ini lamban sekali seperti siput!" hardiknya.
Karina menatap sosok Ken sebal. "Sabar Karina. Kamu tidak boleh emosi. Anggap saja di depanmu itu pria gila," gumamnya dalam hati.
Karina memaksakan senyumnya. Walau Ken tidak bisa melihat. Ada sosok Louis yang tengah menatapnya.
Ia sangat yakin, jika Louis akan mengadukan tingkahnya kepada sang majikan.
"Sekali lagi saya minta maaf Tuan. Saya memang lamban seperti siput."
Ken tersenyum puas. "Syukur dech. Kalau kamu sadar. Ayo cepat! Kakiku mati rasa karena kamu!" titahnya.
Dengan sigap Louis membukan pintu mobil untuk Ken.
"Cih! Lebay banget sich. Palingan dia hanya menunggu sekitar sepuluh menitan. Kalau kakinya mati rasa. Tandanya dia itu sudah tua!" batin Karina dongkol.
Seumur-umur, baru kali ini dirinya merasa begitu kesal. Rasanya, ia ingin mengumpat sosok Ken secara terang-terangan.
Padahal sejatinya, ia adalah sosok yang tenang. Sangat berbanding terbalik dengan sekarang.
"Ayo Nona. Silahkan masuk," ucap Louis sopan.
"Terima kasih," sahut Karina sopan.
Karina pun akhirnya duduk bersebelahan dengan Ken. Jika boleh, ia ingin duduk di depan saja rasanya.
"Kamu ingin pindah?" ujar Ken tiba-tiba.
"Ha?!" Karina menatap Ken tidak percaya. Ia merasa tak mengatakan hal apapun. Kenapa tiba-tiba saja pria menyebalkan itu menyuruhnya untuk pindah?
"Apa boleh Tuan?" tanya Karina hati-hati.
"Tentu saja," jawab Ken cepat.
Kedua bola mata Karina berbinar. Akhirnya, ia bisa terbebas dari sosok Ken yang hanya dengan auranya saja dapat mengintimidasi dirinya.
"Kamu boleh duduk di depan. Tapi di bangku supir," tambahnya.
Ekspresi wajah Karina langsung berubah. "Maksudnya?"
Ken menghembuskan nafas kasar. "Kamu ini bodoh sekali ya. Tidak seperti isu-isunya yang mengatakan kamu wanita hebat. Hebat apanya coba?! Bodoh yang ada!" sindirnya.
Karina tanpa sadar mengepalkan tangannya erat. Kepalanya begitu mendidih saat ini.
"Sana cepat pindah! Bukannya kamu ingin duduk di depan. Aku berbaik hati mengabulkannya. Seharusnya kamu berterima kasih."
"Louis, cepat pindah. Biarkan gadis ini yang menyetir!" titahnya.
"Baik Tuan."
Mau tak mau Karina pun keluar dan berpindah ke depan. Tepatnya menjadi seorang supir.
Karina melirik Ken dari kaca mobil dengan perasaan jengkel.
Louis yang melihatnya hanya bisa mengulum senyum.
"Menyetirlah dengan benar. Jangan sampai membuat mobil mahalku ini lecet!" ingatkan Ken.
"Baik Tuan," sahutnya malas.
"Bagus kalau begitu. Setidaknya walaupun kamu bodoh. Kamu masih bermanfaat untuk orang lain."
"Iya Tuan."
Rasanya Karina ingin menenggelamkan sosok Ken ke laut yang paling dalam saat ini juga.
Hello? Kata siapa dirinya itu bodoh. Selama ini, tidak ada orang yang mengatakan dirinya bodoh.
Ken adalah orang pertama kali yang mengatakannya. Dan jujur saja, Karina tidak terima akan hal itu.
"Ayo jalan! Kenapa hanya diam saja?" ucap Ken tak sabaran.
"Sabar Tuan," kata Louis sambil memegang tangan tuannya itu.
Karina menarik nafas sedalam-dalamnya. "Baik Tuan."
Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang.
Ken tersenyum samar. Dirinya begitu puas mengerjai sosok wanita yang sebentar lagi akan menjadi istrinya itu.
"Aku tahu ini memang sedikit berlebihan. Tapi, mengerjainya seperti itu benar-benar membuatku bahagia," ucap Ken dalam hati.