*BAB 4*
Xander mengepalkan kedua tangannya dengan sangat erat, hingga urat-urat tangannya terlihat begitu menonjol. Xander berusaha meredam amarahnya, ia tidak emosinya lepas begitu saja. Bukankah selama ini Nora selalu bersedia jika Xander menyuruhnya untuk tidur di kamar yang berbeda, namun kenapa malam ini tiba tiba wanita itu kekeh ingin tidur di kamar ini satu ranjang dengan Xander.
Nora ingin menghabiskan malam yang panjang di dalam pelukan Xander, tidur di atas lengannya yang keras, serta memeluk dada bidangnya. Hasil dari Xander yang rajin untuk berolahraga dan menjaga pola makan. Di sela-sela kesibukannya, Xander selalu menyisihkan waktunya untuk menjaga kebugaran tubuhnya dengan cara berolahraga. Xander tidak hanya memiliki wajah yang tampan, namun ia juga memiliki bentuk tubuh yang membuat para wanita jatuh cinta kepada dirinya. Tak sedikit banyak wanita yang langsung jatuh cinta pada Xander pada pandangan pertama.
"Nora. . " Ucap Xander dengan suara rendahnya, ia memejamkan kedua matanya agar tidak melampiaskan emosinya detik ini juga. Bahkan suasana kamar ini berubah menjadi dingin dan mencekam seketika.
Mendengar Xander mengucapkan namanya dengan suara yang sangat rendah, serta suasana kamar ini yang berubah, membuat bulu kuduk Nora meremang hingga berdiri.
"Ba-baik aku akan pergi ke kamar ku Xander." Ucap Nora dengan sangat gugup. Hanya dengan melihat tatapan tajam Xander saja sudah membuat nyali Nora menciut. Tatapan Xander sangat mengintimidasi lawan bicaranya.
Nora meninggalkan kamar ini dengan langkah terburu-buru, sembari mengeratkan kain yang menjadi penutup di tubuh telanjangnya.
Setelah kepergian Nora, Xander tidak langsung merebahkan tubuhnya ke atas ranjang. Ia justru berjalan ke arah ruang kerjanya. Kamar Xander memiliki dua lantai, namun lantai dua kamar ini tidak terlalu luas. Lantai dua kamar ini hanya berisi ruang kerja milik Xander saja. Ia sengaja membuat ruang kerjanya menjadi satu ruangan dengan kamar pribadi miliknya.
Kaki lebar Xander perlahan menaiki beberap anak tangga yang akan membawanya masuk ke dalam ruang kerja yang berukuran sedang, tidak terlalu besar serta tidak pula berukuran kecil. Sangat pas untuk ukuran ruang kerja pribadi di dalam kamar.
Tidak ada yang pernah memasuki ruangan kerja ini selain dirinya sendiri. Bahkan tangan kanan Xander yang merupakan orang kepercayaan Xander tidak pernah menginjakkan kaki di ruangan ini. Jika ada sesuatu yang harus mereka bicarakan, maka keduanya akan berbicara di ruang kerja pribadi Xander yang lain.
Xander menduduki kursi kebesarannya, tatapannya langsung tertuju pada bingkai foto yang memiliki ukuran sebesar telapak tangannya. Di dalam bingkai itu terdapat sebuah foto, seorang wanita dewasa yang tengah memeluk seorang anak laki-laki berusia 10tahun. Mereka terlihat begitu bahagia, bahkan anak laki-laki itu tidak sungkan untuk memperlihatkan senyuman manisnya di hadapan kamera yang memotret keduanya.
Saat itu mereka sedang merayakan musim dingin dengan bermain bola-bola salju. Rutinitas yang akan mereka lakukan setiap musim salju tiba. Tidak hanya itu saja, namun masih ada beberapa foto yang lainnya.
"Mom." Panggil Xander lirih, ia memandangi foto itu dengan tatapan sendu. Hanya disaat seperti inilah Xander terlihat begitu menyedihkan. Berada di ruangan ini seorang diri.
Foto itu merupakan, foto Xander dan Mommy nya.
"Aku akan membalas penderitaan serta rasa sakit mommy kepada wanita itu." Tatapan Xander berubah seketika. Ia mengepalkan kedua tangannya begitu mengingat bagaimana kelamnya masa lalu yang harus ia jalani bersama dengan sang mommy.
----
"Hai, apa kau sudah menunggu lama?." Tanya seorang gadis dengan nafas terengah-engah, ia sedikit berlari untuk bisa berdiri di hadapan laki-laki yang kini tengah menatap khawatir ke arahnya.
"Vee, apa yang terjadi?." Tanya laki-laki itu dengan meneliti keadaan Viollete, ia takut terjadi sesuatu pada gadis cantik itu.
"Huhh. . Huhh. . Aku tidak apa-apa." Jawab Violette dengan nafas terengah-engah, sembari menyentuh dadanya yang terasa sesak.
"Duduklah." Tangan laki-laki itu terulur untuk membantu Violette menduduki kursi yang ada di sampingnya.
"Terimakasih Jeff." Balas Violette dengan senyuman mengembang.
Jeffrey Alexander Philips, laki-laki yang tengah memiliki hubungan spesial dengan Violette. Mereka bukan sepasang kekasih, namun hubungan mereka cukup dekat, bahkan orang lain mengira jika mereka ada sepasang kekasih.
Sore ini mereka memutuskan untuk bertemu di salah satu restaurant & coffe yang mempertontonkan pemandangan laut dari jarak yang sangat dekat sembari menikmati matahari tenggelam. Tempat ini merupakan tempat favorit Jeffrey dan juga Violette. Mereka sering menghabiskan waktu berdua di tempat ini. Tempat yang tidak terlalu mewah, namun bisa membuat keduanya nyaman di tempat seindah ini.
Mendengar deburan ombak, serta menghirup udara segar khas laut yang menenangkan pikiran.
Usia Jeffrey 5 tahun lebih tua di bandingkan dengan Violette, jadi usia Jeffrey saat ini adalah 24 tahun. Meski begitu, tidak membuat keduanya saling merasa canggung. Mereka justru merasa nyaman dengan satu sama lain. Violette mampu mengimbangi kedewasaan Jeffrey, serta Jeffrey sendiri bisa mengatasi sifat Violette yang masih sedikit labil.
"Kau sangat cantik, Vee." Puji Jeffrey setelah meneliti penampilan Violette. Padahal gadis itu hanya menggunakan outfit summer floral dress berwarna biru muda sebatas paha di padukan dengan high heels berwarna hitam serta rambut yang terurai dengan indah.
"Kau selalu berkata seperti itu Jeff." Jawab Violette, Jeff adalah nama panggilan untuk Jeffrey.
"Aku berkata jujur Vee." Sedangkan Jeffrey memanggil Violette dengan sebutan Vee, entah mengapa laki-laki itu menggail Violette dengan sebutan Vee, padahal orang-orang terdekat Violette hanya memanggilnya dengan sebutan V saja. Tangan Jeffrey terulur untuk menggenggam tangan Violette yang berada di atas pangkuan pahanya.